Makna Khalifah dan Tugasnya Menurut Para Mufasir

makna khalifah dan tugasnya
makna khalifah dan tugasnya

Salah satu hal yang tak habis-habisnya dibahas di setiap waktu adalah pembahasan tentang khalifah (pemimpin) dan khilafah (kepemimpinan). Khalifah dalam banyak tafsir tidak hanya mempunyai makna satu, pemimpin misalnya. Berbeda dengan penggunaan makna yang populer, yaitu pemimpin, makna khalifah menurut para mufasir lebih cenderung ke pengganti. Pengganti siapa? Ini juga masih beragam pendapat. Selain makna, para mufasir melanjutkan bahasan tentang tugas khalifah. Berikut penjelasan makna khalifah dan tugasnya.

Pengertian Khalifah

Pembahasan tentang makna khalifah dan tugasnya diawali penjelasan tentang pengertian khalifah kata khalifah terlebuh dahulu. Kata khalifah  dalam bahasa arab berakar pada tiga huruf yaitu kha’-lam-fa’ yang arti katanya berkisar pada makna ‘sesuatu yang berada di belakang dari sesuatu yang lain’. Ia adalah lawan dari kata quddam yang berarti ‘yang berada di depan’. Sebutan ‘khalifah’ untuk Abu Bakar adalah karena beliau datang setelah Nabi dan menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin kaum muslimin. 3 sahabat berikutnya yang kemudian melengkapi empat pengganti Nabi disebut khulafa’ rasyidun. Bentuk jamak dari khalifah adalah khalaif, sementara kata khulafa adalah bentuk jamak dari khalif.

Ta’ tanits pada kata “khalifah” dimaksudkan sebagai mubalaghah (menguatkan suatu makna) seperti kata ‘allamah yang artinya sangat alim. Kemudian kata jadian dari khalifah adalah khilafah yang menurut al-Asfahani dalam kitab Mufradat alfadhi al-Qur’an maknanya adalah sebagai berikut, arti khilafah adalah menggantikan orang lain, baik bersamaan atau datang setelahnya. Baik karena yang digantikan itu tidak ada karena meninggal atau tidak berdaya lagi ataupun juga karena tinggginya derajat orang yang menggantikan.

Baca Juga: Makna Khalifah dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 30

Quraish Shihab menyebutkan bahwa tentang makna khalifah dalam konteks Al-Qur’an, ulama berbeda pendapat tentang maknanya.

Pertama, ada pendapat bahwa manusia semenjak Nabi Adam menggantikan makhluk sebelumnya yaitu yang berjuluk al-Hinn dan al-Binn atau at-Thimm atau ar-Rimm. Kedua makhluk itu telah berbuat kerusakan di bumi, sehingga mereka diusir oleh Allah dan dibinasakan. Demikian papar Ibn Katsir dan Muhammad Abduh dalam tafsir mereka. Manusia adalah makhluk yang menggantikan mereka yang telah binasa itu.

Kedua, manusia dalam kiprahnya di dunia menggantikan manusia sebelumnya. Inilah yang bisa dipahami dari kata خَلَائِفُ الْأَرْضِ atau خَلَائِفٌ فِى الْأَرْضِ kita mengenal kaum-kaum terdahulu yang menghuni bumi seperti kaum Nuh, kaum ‘Ad, kaum Tsamud, dan lain-lainnya. Mereka yang telah tiada digantikan oleh generasi setelahnya seperti tersurat dalam Q.S. Al-A’raf [7]:69.

Ketiga, menggantikan Allah dalam melaksanakan titah-Nya untuk sekalian makhluk-Nya. Manusia dijuluki “khalifatullah” atau pengganti Allah. Hal ini bisa tercermin dari firman Allah Q.S. Shaad [38]:26 yang berbunyi:

 (يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ فِى الْأَرْضِ خَلِيْفَةً)

Hai dawud, aku telah jadikan kamu menjadi khalifah di bumi (syam)

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Anbiya’ Ayat 105: Manusia Sebagai Khalifah fil Ardh dan Makna Saleh Total

Tugas Khalifah dan Petunjuk Kekhalifahan

Quraish Shihab, dalam bukunya ‘Khilafah’ menyebutkan bahwa pengangkatan Allah terhadap manusia sebagai khalifah adalah bentuk penghormatan Allah kepada manusia sekaligus menguji manusia. Penghormatan karena manusia dipilih oleh Allah diantara seluruh makhuknya bahkan mengungguli malaikat untuk memimpin bumi, pengujian karena manusia punya kecendurugan membuat kerusakan di bumi.

Kedua hal di atas termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 30 tentang penunjukan manusia sebagai khalifah yang kemudian ditentang malaikat. Seperti dituturkan KH Akhsin Sakho Muhammad dalam bukunya ‘Keberkahan Al-Qur’an’, malaikat mempunyai alasan bahwa makhluk yang bernama manusia memiliki kecenderungan membikin kerusakan di bumi berdasarkan pengamatan mereka. Namun, lanjutnya, sebagaimana bunyi ayat tersebut, Allah sudah tentu lebih mengetahui terhadap kebijakannya. Allah tidak menyalahkan malaikat, karena Allah tidak menyangkal alasan mereka.

Quraish Shihab mengatakan bahwa tidak dijelaskan apa dan bagaimana tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Tetapi, Allah mengatakan dalam beberapa ayat bahwa manusia diperintahkan untuk memakmurkan bumi. Dalam hal itu, Allah memberikan petunjuk (هُدًى) untuk manusia guna melaksanakan tugas kekhalifahannya yang pada kenyataannya tugas khalifah itu berkembang.

Petunjuk itu sendiri (هُدًى) ada 3 (tiga). Petunjuk tingkat pertama adalah naluri yang fungsinya menciptakan dorongan untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan oleh tubuh. Petunjuk tingkat kedua, setingkat di atas naluri yaitu indra manusia yang mampu menjangkau apa yang ada di luar dirinya meskipun seringkali hasilnya bisa keliru, seperti bintang-bintang besar yang terlihat kecil oleh manusia. Dan petunjuk tingkat ketiga adalah akal. Potensi iniliah yang meluruskan kesalahan panca indra. Akal mengatur informasi yang diperoleh indra kemudian membuat kesimpulan-yang bisa berbeda dengan hasil informasi indra.

Maka bisa dikatakan bahwa untuk melakukan tugasnya sebagai khalifah, manusia senantiasa membutuhkan petunjuk dari Allah agar dia selalu berada di jalan yang semestinya dan benar-benar menjadi wakil Allah untuk memakmurkan bumi.

Baca Juga: Perjanjian Manusia dengan Allah Sebelum Lahir ke Dunia

Memakmurkan Bumi dan Membangun Peradaban

Thahir Ibn ‘Asyur, pakar Maqashid asy-Syari’ah dalam tafsirnya At-Tahrir wa at-Tanwir menuturkan bahwa firman Allah surah al-Baqarah ayat 30 mengisyaratkan kebutuhan manusia untuk memilih pemimpin yang berfungsi mengurusi sengketa antar manusia, dan dijadikannya Nabi Adam sebagai khalifah Allah adalah menjadi wakil Allah untuk memakmurkan bumi.

Memakmurkan bumi sebagaimana dimaksud di atas sudah ditegaskan oleh Allah dalam Q.S. Hud [11]:61 yang berbunyi:

يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ

Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagi kamu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu memakmurkannya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat lagi Maha Memperkenankan.

Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim mengatakan bahwa kata وَاسْتَعْمَرَكُمْ  artinya Allah menjadikan manusia sebagai orang-orang yang akan memakmurkan bumi. Lebih-lebih tambahan sin (س) dan ta’ (ت) yang menyertai kata ista’mara dalam bahasa arab memiliki arti perintah sehingga arti dari kata tersebut adalah bahwa Allah mewajibkan manusia untuk memakmurkan bumi.

Dengan kata lain, tugas memakmurkan bumi dari Allah untuk manusia adalah untuk membangun peradaban atau dalam bahasa arab disebut madani, apapun bentuk pemerintahannya. Sebab islam tidak menentukan sistem pemerintahan apapun. Membangun peradaban artinya mengelola bumi supaya menjadi tempat yang bermanfaat untuk manusia dan seluruh semesta alam sebagaimana dikatan bahwa Allah semata-mata mengutus Nabi Muhammad sebagai rahmat untuk semesta alam.

Islam sebagai agama yang penuh rahmat bagi semesta alam, melalui konsep khalifah yang prinsipnya adalah memakmurkan bumi dan membangun peradaban memiliki orientasi yang menekankan pada pemenuhan hak seluruh makhluk Allah dan mewujudkan kebijakan kepemimpinan yang berorientasi pada kemaslahatan, disamping manusia juga terus menerus menggali potensinya dalam mengelola dan memakmurkan bumi di manapun dan dalam bentuk negara apapun.

Wallahu a’lam