Fungsi pokok Al-Quran yang kedua ialah bayyinah. Makna Bayyinah ialah bukti atau penjelas dari petunjuk itu sendiri. Sebagai penjelas, Al-Quran telah memuat penjelasan yang komplit dan komprehensif termasuk yang menyangkut aspek hukum, halal-haram, dan haq-bathil. Al-Quran juga telah banyak memberikan bukti konkrit kebenaran petunjuknya baik melalui ayat-ayat qauli maupun kauni.
Karena itu, pada pembahasan kali ini akan mengulas makna bayyinah dalam Al-Quran, dan bagaimana penafsiran ulama terhadapnya.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). (Q.S. al-Baqarah [2]: 185)
Baca juga: Surah al-Qadr Ayat 1, Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadr Menurut Fakhruddin Ar-Razi
Makna Bayyinah
Para ulama memaknai kata bayyinatin minal huda secara beragam dalam ayat ini. Penafsiran pertama disampaikan al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf dan al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib bahwa bayyinat adalah ayat-ayat (keterangan) yang jelas dan darinya mampu menunjukkan kepada kebenaran serta membedakan mana yang haq dan bathil (ayatin wadhihatin maksyufatin mima yahdli ilal haq).
Tidak jauh berbeda, al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menafsirinya dengan,
وَبَـيِّناتٍ فإنه يعنـي: وواضحات من الهدى، يعنـي من البـيان الدالّ علـى حدود الله وفرائضه وحلاله وحرامه
“Penjelasan-penjelasan dari petunjuk itu ialah menunjukkan kepada hukum-hukum Allah baik terkait kewajiban kepadaNya, maupun segala hal yang dihalalkan dan diharamkan-Nya”.
Lebih jauh, Ibn Katsir juga hampir sama dengan penafsiran al-Tabari, yakni
دلائل وحججاً بينة واضحة جلية لمن فهمها وتدبرها دالة على صحة ما جاء به من الهدى المنافي للضلال، والرشد المخالف للغي، ومفرقاً بين الحق والباطل، والحلال والحرام
“Bukti dan argumen, bukti yang jelas dan terang benderang bagi mereka yang memahami dan mentadabburinya, menunjukkan kesahihan apa yang dibawa oleh Al-Quran tentang tuntunan yang menafikan kesesatan, petunjuk (rasional) yang memunggungi kesesatan, pembeda antara yang benar dan batil, yang halal dan yang haram”.
Sedangkan al-Baidhawi menafsirkan kata bayyinatin minal huda, yakni turunnya Al-Quran bermakna bahwa ia diperuntukkan kepada manusia dengan segenap kemukjizatannya dan berisi keterangan-keterangan yang jelas, lagi terang benderang yang dapat memandu manusia menuju jalan kebenaran. Adapun Ibn Atiyyah dalam al-Muharrar al-Wajiz lebih mengkhususkan makna bayyinatin merujuk pada persoalan halal-haram.
Lebih dari itu, al-Khazin dalam Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil menjelaskan bahwa kata bayyinatin minal huda mengandung dua pemaknaan, yaitu di satu sisi Al-Quran berfungsi sebagai petunjuk dan penjelas bagi ayat-ayatnya sendiri, pada sisi yang lain ia berfungsi sebagai penjelasan antara perkara yang halal dan haram, haq dan bathil.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Tiba Ramadhan, Ini Hukum yang Belum Bayar Utang Puasa
Tidak hanya itu, bayyinatin minal huda, demikian kata Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan dan al-Syaukani dalam Fath al-Qadir bermakna sebagai keterangan yang jelas, terang benderang di mana dari keterangan itu mampu memandu manusia kepada kebenaran dan membedakan antara yang haq dan bathil.
Selanjutnya, corak penafsiran sufistik disampaikan oleh Ibn ‘Ajibah dalam al-Bahr al-Madid, ia menafsirkan bayyinatin minal huda adalah
وبينات أي: حججاً واضحة تهدي إلى تحقق الإيمان، وإلى تحقق الفرق بين الحق والباطل، وهو ما سوى الله، فيتحقق مقام الإحسان
“Bayyinat adalah dalil-dalil yang jelas yang mengarah pada keteguhan iman, memastikan perbedaan antara yang haq dan batil. Tidak lain semua ini bagi Allah bertujuan agar seorang hamba mampu mencapai derajat ihsan”.
Begitu pula Ibn ‘Arabi dalam tafsirnya, ia menafsirkan bayyinatin minal huda dengan
وبينات من الهُدى ودلائل متصلة من الجمع والفرق، أي: العلم التفصيلي المسمّى بالعقل الفرقاني – فمن حضر منكم في ذلك الوقت، أي: بلغ مقام شهود الذات
“Petunjuk yang bersambung (muttashilah) dari al-jam’u (Al-Quran) dan syariat Allah swt sehingga ia mampu membedakan. Makna membedakan (al-farqu) di sini ialah ilmu yang terperinci (tafshili), yaitu akal sehingga seorang manusia dapat mencapai derajat menyaksikat dzat-Nya (syuhud al-dzat).
Al-Quran sebagai Penjelas
Selain berfungsi sebagai hudan (petunjuk), Al-Quran menjelaskan dirinya sebagai bayyinah yaitu penjelas atas petunjuk-petunjuk itu. Penjelas itu, jika merujuk penafsiran ulama di atas, adakalanya ia bersifat hukum, tasawwuf dan keimanan.
Pertama, Al-Quran sebagai penjelas dari hukum. Maksudnya Al-Quran di sini juga berbicara persoalan syariat Islam yang berkaitan dengan hukum, seperti persoalan halal dan haram baik mulai dari makanan hingga perbuatan. Ini semua yang kemudian dikaji oleh para ulama hingga memunculkan produk ijtihad yang bernama “fiqih”.
Kedua, Al-Quran sebagai penjelas dari tasawwuf. Bagi ulama sufistik, seorang murid (istilah manusia dalam tasawuf) untuk dapat mencapai maqam ihsan harus memperhatikan aspek syariat Islam. Artinya ia juga harus memperhatikan syariat-syariat yang bersifat hukum misalnya, ia juga harus bersuci (thaharah) sebelum melakukan shalat, memperhatikan kesucian dan kebersihan, memperhatikan halal-haram. Bagaimana mungkin ia dapat mencapai derajat ma’rifat dan mukasyafah lantas mengabaikan syariat itu sendiri.
Baca juga: Ramadhan sebagai Bulan Pewahyuan Al-Qur’an Perspektif Ibnu Ishaq
Ketiga, Al-Quran sebagai penjelas bermakna memperteguh keimanan. Kehadiran Al-Quran tidak lain adalah mengokohkan fitrah manusia untuk bertahuid kepada-Nya. Dalam artian, pada hakikatnya manusia pasti membutuhkan suatu daya yang mampu membimbingnya menuju jalan yang benar dan menenangkan jiwanya. Itu semua hanya didapat melalui jalan keimanan. Dan Al-Quran adalah solusi dari semua itu.
Oleh karenanya, umat Islam hendaknya senantiasa berpedoman kepada Al-Quran guna membimbingnya menuju kebenaran dan menentramkan jiwanya sehingga ia selalu dalam naungan ridha Allah swt. Wallahu A’lam.