Islam – sebagai agama kemanusiaan – sangat memperhatikan kondisi sosial setiap elemen masyarakat, termasuk golongan fakir miskin dan anak yatim. Bahkan, yang terakhir, yakni anak yatim, memiliki posisi istimewa di dalam ajaran Islam. Ada banyak perintah, baik melalui Al-Qur’an maupun hadis, yang memuat anjuran menyantuni anak yatim dan menjaga hak-hak mereka.
Berdasarkan penelusuran penulis, dalam Al-Qur’an setidaknya ada 22 ayat yang berbicara mengenai anak yatim. Ayat-ayat tersebut berisi tentang anjuran menyantuni anak yatim melalui sedekah, melindungi hak-hak mereka seperti harta waris, menjaga keberlangsungan hidup mereka, larangan memakan harta mereka, dan memperbaiki taraf hidup mereka sebaik mungkin.
Hal serupa juga dapat ditemui dalam hadis nabi Muhammad saw. Sebagai seseorang yang pernah menjadi anak yatim, beliau sangat peduli dan perhatian terhadap mereka. Tak jarang beliau menyantuni anak yatim, baik dengan memberi perhatian lebih atau memberikan mereka berbagai kebutuhan hidup. Tindakan beliau ini selain merupakan ajaran Islam, itu juga merupakan manifestasi kepedulian pribadi.
Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 2: Cara Mengelola Harta Anak Yatim
Dalam banyak kesempatan nabi Muhammad saw turut memerintahkan para sahabatnya untuk menyantuni anak yatim. Misalnya, Imam Bukhari dalam Sahih al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d bahwa Rasulullah bersabda, “Saya dan orang yang memelihara anak yatim itu dalam surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya serta merenggangkan keduanya.”
Salah satu ayat Al-Qur’an yang berisi tentang anjuran menyantuni anak yatim adalah surah al-Baqarah [2] ayat 220:
فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْيَتٰمٰىۗ قُلْ اِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۗ وَاِنْ تُخَالِطُوْهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ ۗ وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَاَعْنَتَكُمْ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ٢٢٠
“Tentang dunia dan akhirat. Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, “Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!” Dan jika kamu mempergauli mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan. Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia datangkan kesulitan kepadamu. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 220).
Setelah turunnya ayat berkenaan larangan mendekati harta mereka kecuali dengan cara yang baik pada surah al-An’am [6] ayat 152 dan ancaman terhadap orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya pada surah an-Nisa [4] ayat 10, orang-orang menjadi takut dan sekuat tenaga berusaha menghindari harta anak yatim yang ada pada kekuasaan mereka (Tafsir al-Misbah [1] 471).
Imam al-Suyuthi bahkan menceritakan dalam Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul bahwa orang-orang saat itu sampai memisahkan makanan-minuman mereka dengan makanan-minuman anak yatim karena takut dianggap memakan harta mereka. Jika makanan dan minuman anak yatim tersisa, mereka menyimpannya, tidak menyentuhnya sama sekali – dan tak jarang – hingga menjadi basi
Peristiwa ini tentu membuat mereka gundah-gulana. Sebab, di satu sisi mereka tidak ingin dianggap memakan harta anak yatim, namun di sisi yang lain mereka tidak ingin kesulitan mengatur harta tersebut dan tidak ingin kejadian makanan-minuman basi terus terulang. Akhirnya, sebagian dari mereka memberanikan diri untuk bertanya mengenai persoalan ini kepada nabi saw (Tafsir al-Sa’adi: 99).
Lalu nabi Muhammad saw menjawab sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah [2] ayat 220, “Mengurus urusan mereka secara patut adalah lebih baik.” Maksudnya, mereka harus mendidik, bergaul, memelihara, dan mengembangkan harta mereka dengan sewajarnya. Sikap semacam inilah yang diinginkan oleh ajaran Islam terhadap para penanggung jawab anak yatim (Tafsir Ibnu Katsir [1] 578).
Sedangkan apa yang selama ini dilakukan, yakni memisahkan makanan mereka dengan makanan anak yatim adalah hal yang tidak lumrah terjadi dan tidak diinginkan. Tindakan tersebut sama sekali tidak mencerminkan hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Allah swt berfirman, “Dan jika kamu mencampuri (dalam makanan dan sebagainya) mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu.
Quraish Shihab menyatakan, melalui surah al-Baqarah [2] ayat 220 Allah swt ingin menegaskan kepada para pengasuh anak yatim untuk memperlakukan mereka dengan sewajarnya disertai dengan kasih sayang sebagaimana hubungan antara keluarga dan saudara. Jangan ada bias antara satu dengan yang lain seperti memperlakukan anak yatim secara berbeda (ke arah negatif).
Para pengasuh itu juga tidak perlu takut soal mencampur makanan mereka dengan makanan anak yatim atau hal-hal lain yang wajar dilakukan, karena pada hakikatnya mereka semua adalah keluarga dan saudara. Sesungguhnya Allah swt mengetahui siapa saja yang ingin bersikap sewajarnya dan siapa yang membuat kerusakan terhadap anak yatim seperti orang yang mengambil hak anak yatim.
Kisah Kepedulian Nabi Muhammad saw Terhadap Anak Yatim di Hari Raya
Berkenaan anjuran menyantuni anak yatim, ada satu kisah menarik tentang kepedulian nabi Muhammad saw terhadap anak yatim di hari raya. Kisah ini dapat ditemukan dalam kitab Durratun Nashihin karya Syekh Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubawi. Kisah tersebut adalah gambaran kecil bagaimana seharusnya umat Islam memperlakukan anak yatim.
Dikisahkan bahwa suatu hari raya Nabi Muhammad saw keluar rumah untuk melaksanakan salat Idul Fitri. Setelah itu beliau berjalan-jalan di sekitar kota Madinah. Di tengah perjalanannya, beliau menemui anak-anak yang sedang bermain dengan riang gembira. Namun di seberang mereka tampak seorang anak yang memakai pakaian seadanya dan terlihat sedang menangis tersedu-sedu.
Melihat hal tersebut, nabi Muhammad saw yang merasa iba kemudian mendekatinya dan berkata, “Anak, kenapa engkau menangis? Kamu tidak mau bermain dengan teman-temanmu?” Si anak menjawab dengan suara lirih, “Paman, ayahku telah wafat. Ia mengikuti Rasulullah berperang menghadapi musuh dalam sebuah pertempuran dan ia gugur dalam perang tersebut.”
Si anak terus bercerita tentang keadaannya, sedangkan nabi Muhammad saw mendengarkannya dengan saksama, penuh perhatian dan kasih sayang. Setelah mendengarkan cukup lama tentang rangkaian peristiwa dan nasib malang yang menimpa anak tersebut, nabi saw kemudian bertanya lebih spesifik kepada si anak kenapa ia hanya menggunakan pakaian seadanya dan sendirian di hari raya.
Si anak berkata, “Ibuku mengikah lagi. Ia memakan harta warisan peninggalan ayahku dan suaminya mengusirku dari rumahku sendiri. Kini aku tak memiliki apapun, makanan, minuman pakaian, dan tempat tinggalku telah diambil. Aku bukan siapa-siapa dan tidak memiliki siapa pun di sini. Ketika aku melihat teman-teman sebayaku merayakan hari raya bersama ayah mereka, aku menjadi sedih dan rindu ayah, karena itulah aku menangis.”
Mendengar penuturan si anak, hati nabi Muhammad saw terenyuh dan seakan remuk. Beliau baru saja menyadari bahwa ternyata ada anak-anak yatim – dari sahabat yang gugur membela agama dan rasulnya – yang terlantar dan mengalami nasib nan begitu malang. Anak ini mungkin hanya salah satu dari sekian banyak anak yatim yang terlantar akibat ditinggalkan orang tuanya.
Beliau lalu membungkuk (duduk) di hadapan si anak seraya memegangi kedua tangannya dan berkata, “Nak, dengarkan baik-baik, apakah engkau sudi bila aku menjadi ayah dan Aisyah menjadi ibumu, Ali sebagai paman, Hasan dan Husein sebagai saudara, dan Fatimah sebagai saudarimu? Apakah engkau sudi wahai ananda?” tanya rasul dengan penuh kasih sayang.
Mendengar tawaran itu, si anak langsung mengerti bahwa orang yang di depannya tiada lain adalah nabi Muhammad saw. Ia lantas menjawab, “kenapa tak sudi ya Rasulullah?” Beliau lalu membawanya pulang ke rumah dan memberinya pakaian terbaik serta wangi-wangian. Nabi juga mempersilakannya makan sebanyak-banyaknya hingga kenyang.
Baca Juga: Mengurusi Harta Anak Yatim, Perhatikan Pesan Surat An-Nisa Ayat 6
Setelah semuanya selesai, si anak kemudian keluar rumah dengan wajah riang gembira untuk bermain. Para sahabat yang melihat perubahan drastis si anak lantas bertanya, “Sebelum ini kau menangis, tetapi kini kau tampak sangat gembira. Apakah gerangan yang membuat suasana hatimu berubah secepat ini wahai anak kecil yang rupawan?”
Si anak menjawab, “tadinya aku lapar, tetapi lihatlah sekarang tidak lagi, aku sudah kenyang. Dulu aku tidak berpakaian, sekarang aku mengenakan pakaian bagus. Dulu aku sendirian (anak yatim), tetapi sekarang aku memiliki keluarga yang sangat perhatian. Rasulullah saw ayahku, Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudaraku, Ali pamanku, dan fatimah adalah saudariku. Dengan semua itu, bagaimana mungkin aku tidak bahagia?”
Dari surah al-Baqarah [2] ayat 220 dan kisah perhatian nabi Muhammad saw terhadap anak yatim di hari raya Idul Fitri, kita dapat memahami bahwa dalam Islam manusia diajarkan untuk memperhatikan dan menyantuni anak yatim dengan baik. Sebab, mereka adalah anak-anak yang rentan mengalami kekerasan, kecurangan, dan kesengsaraan. Tanpa perlindungan, mereka akan sulit untuk bertahan hidup apalagi bermanfaat bagi orang lain. Wallahu a’lam.