BerandaTafsir TematikMenyembelih Ego dan Sifat Kepemilikan di Hari Raya Kurban

Menyembelih Ego dan Sifat Kepemilikan di Hari Raya Kurban

Hari Raya Kurban atau biasa dikenal juga sebagai Hari Raya Iduladha bagi umat muslim, merupakan waktu yang sangat istimewa. Pada hari yang penuh makna ini, umat muslim di seluruh dunia merayakan dengan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk penghormatan kepada Allah Swt. sekaligus mengenang pengorbanan Nabi Ibrahim a.s.

Pada praktik penyembelihan hewan kurban yang dilakukan tersebut, terdapat makna yang sangat mendalam yang sering kali terlupakan, bahkan bisa jadi tidak diketahui oleh sebagian umat muslim. Makna tersebut berupa pesan moral tentang mengendalikan ego dan mengatasi sifat kepemilikan yang berlebihan. Ketika seseorang tidak mampu membeli hewan kurban, maka hal yang dapat dilakukan pada saat itu ialah berniat menyembelih atau mengurbankan sifat kepemilikan dalam dirinya.

Imam Ghazali mengemukakan bahwa manusia pada hakikatnya dapat dilihat dari empat aspek karakter utama; pertama, Al-Rubu’iyah yang mencerminkan sifat ketuhanan; kedua, Al-Syaithaniyah yang menandakan sifat yang cenderung ke arah kejahatan; ketiga, Bahimiyah yang menggambarkan sifat yang menyerupai hewan; dan terakhir, Sabu’iyah yang mengacu pada sifat yang buruk atau jahat.

Menyembelih Ego

Hal yang seringkali menjadi hambatan dalam hubungan di antara manusia adalah ego. Hari Raya Kurban mengajarkan kita untuk menyembelih ego, bukan hanya secara harfiah dalam menyembelih hewan kurban, tetapi bisa juga secara batiniah. Pada hari raya tersebut kita meniatkan diri untuk mengorbankan bagian dari diri kita yang terlalu merasa superior, egois, dan keras kepala.

وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ

Barang siapa yang menjaga dirinya dari kekikiran, maka itulah orang-orang yang beruntung (Q.S. Al-Hasyr [59]: 9).

Baca juga: Deskripsi Alquran tentang Nabi Ibrahim di Beberapa Surah

Ayat ini menunjukkan pentingnya untuk tidak terjebak dalam kekikiran atau egoisme, yang sering kali menjadi penghalang bagi seseorang untuk berbuat baik dan berhubungan harmonis dengan sesama. Disebutkan dalam Tafsir As-Shabuni, ayat tersebut menjelaskan bahwa barang siapa yang menjaga dirinya dari sifat kikir, maka dia akan sukses. Lafadz شُحَّ mengandung arti sangat kikir dengan disertai tamak (Shafwatu At-Tafaasir li al-Shabuni, juz 3, hal. 332).

Menyembelih Sifat Kepemilikan

Selain menyembelih ego, Hari Raya Kurban juga mengajarkan umat muslim untuk menyembelih atau membunuh sifat kepemilikan. Dengan berniat menyembelih sifat kepemilikan pada dirinya, umat muslim diingatkan bahwa semua yang dimiliki sebenarnya adalah amanah dan titipan dari Allah. Oleh karena itu, sifat kepemilikan yang berlebihan harus dihilangkan.

Mari simak kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. dalam surah As-Saffat ayat 102, sebagai berikut.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup bekerja bersamanya, (Ibrahim) berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam tidur bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (Q.S. AS-Shaffat [37]: 102).

Ayat ini mencerminkan ketundukan Nabi Ibrahim a.s. terhadap perintah Allah untuk menyembelih putranya, yaitu Nabi Ismail a.s. Hal ini mengajarkan kita tentang pentingnya kepatuhan dan pengorbanan yang sungguh-sungguh dalam memenuhi kehendak Allah. Perintah ini bukan sekadar ujian kesetiaan dan pengorbanan, tetapi juga untuk mengajarkan sebuah pelajaran mendalam tentang mengatasi sifat kepemilikan yang berlebihan serta mengendalikan cinta yang intens terhadap manusia.

Baca juga: Nilai-Nilai Sufistik dalam Penyembelihan Hewan Kurban

Sebelum menerima perintah dari Allah untuk menyembelih putranya, Nabi Ibrahim dikenal sangat mencintai putranya secara berlebihan. Kecintaan ini tergambar dalam bagaimana Ibrahim merawat dan membesarkan Ismail dengan penuh kasih sayang dan perhatian, karena Ismail adalah buah hati dari doa panjang dan harapan yang dikabulkan Allah bagi Ibrahim dan istrinya, Hajar.

Dengan menerima perintah tersebut, Nabi Ibrahim tidak hanya menunjukkan bahwa cintanya kepada Allah lebih utama dari segala yang lain, tetapi juga bahwa ia mampu melepas ikatan emosional yang kuat terhadap putranya sebagai bentuk pengorbanan dan pengendalian diri yang luar biasa. Ini adalah contoh nyata bagaimana seorang hamba harus siap untuk mengesampingkan rasa memiliki dan kecintaan yang berlebihan untuk taat kepada Allah sebagai prioritas utama dalam hidupnya.

Baca juga: Jangan Pernah Lupakan Sayyidah Hajar!

Kisah Nabi Ibrahim tersebut tidak hanya mengajarkan tentang pengorbanan dan kesetiaan kepada Allah, tetapi juga tentang pentingnya mengendalikan sifat kepemilikan dan cinta yang berlebihan terhadap manusia atau harta dunia. Ini adalah pelajaran berharga bagi umat manusia untuk selalu mengedepankan hubungan spiritual dengan Allah di atas segala hal lain dalam kehidupan.

Hari Raya Kurban tidak hanya sekadar perayaan ritual, tetapi sebuah kesempatan untuk menumbuhkan rasa pengorbanan yang tulus dan untuk mengatasi ego serta sifat kepemilikan yang mungkin menghalangi kedekatan dengan Allah dan sesama. Dengan merenungkan makna yang mendalam di balik kurban, kita dapat memperkaya makna hidup kita dan memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat. Semoga perayaan ini menginspirasi kita semua untuk menjalani hidup dengan penuh kepatuhan, keikhlasan, dan rasa persaudaraan yang lebih mendalam.

‘Alaa kulli haal, ‘Eid Al-Adha Al-Mubarrak. Wallahu a’laam bish shawwab.

Muhammad Sholikhul Hady
Muhammad Sholikhul Hady
Mahasiswa Sejarah & Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Jami‘ al-Baya fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad al-Ijiy

Mengenal Tafsir Jami‘ al-Bayan Karya Muhammad Al-Ijiy

0
Nama Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an dalam kajian tafsir di Indonesia memang tidak begitu atau bahkan tidak populer sama sekali. Hasil pencarian yang penulis...