Kitab yang berjudul Tanwirul Qari’ fi Tajwidi Kalamil Bari’ ini merupakan buah karya seorang ulama dari Nusantara yang cukup produktif. Diantara karyanya: Qowa’idul I’lal, ‘Izzul Adab, Fafirru Ilallah, dan lain-lain. Dialah Kyai Mundzir Nadzir, yang aslinya bernama Munhamir. Beliau lahir di dusun Sekaran, Kelutan, Kertosono, Nganjuk Kediri. Menurut sebuah artikel, makamnya berada di belakang Masjid Al-Huda Desa Ketami Kediri.
Skema Penulisan Kitab
Kitab ini terbilang unik dan langka. Selain isi temanya sangat penting, kitab ini adalah hasil “perkawinan” budaya Arab dan Jawa. Tembang Jawa berbahar rojaz yang ditulis dengan aksara Arab (pegon) ini berisi kajian kaidah ilmu tajwid dan hal-hal terkait Al-Qur’an. Beberapa penjelasan singkat terkait istilah khusus dan kosa kata lokal yang mungkin kurang familiar, seperti “datan” yang arinya sama dengan “supoyo” (supaya), ditulis di bawah garis.
Baca juga: Mengenal Enam Fungsi Angin dalam Al-Quran Perspektif Tafsir Ilmi
Sebagian kata yang tidak sesuai wazan juga diberi catatan. Misalnya, kata Qomriyah (قَمْرِيَّة) diberi penjelasan سكون الميم (mimnya dibaca sukun). Cakupan pembahasan kitab ini cukup komplet. Sebagaimana berikut ini: Sinahu Al-Qur’an Al-Karim, Hukum Nun Mati Lan Tanwin, Idhar Bi Kilmah, Hukum Mim Mati, Hukum Al Ta’rif, Wacan Idhar Lam Fi’il, terkait Idgham Mutamatsilain, Mutaqarribain dan Mutajannisain, Saktah, Qolqolah, Ro’ dan Lam Tafkhim dan Tarqiq, Idhar Halqi, terkait bacaan mad, macamnya sifat huruf, yaitu Al-Inhirof, At-Takrir, At-Tafasysyi, Al-Isthitholah, Ash-Shofir.
Selain itu, terdapat beberapa tabel berisi contoh bacaan dan keterangan terkait Al-Qur’an, seperti jadwal makhorijul huruf, sifat-sifat huruf, bacaan ghorib, rumus waqaf, berbagai versi pendapat terkait jumlah huruf, kalimat, ayat, surat Al-Qur’an, surat makiyyah dan madaniyah.
Menggali Wejangan Sang Kyai
Kyai Mundzir Nadzir juga menyisipkan beberapa wejangan penting di dalam kitabnya. Pada artikel ini penulis hanya menyebutkan sebagian, sekaligus mencoba menggali ‘ibroh atau pelajaran darinya. Wejangan-wejangan tersebut antaralain:
Wejangan 1: Jagalah Hati
Beliau mengakhiri muqaddimah-nya dengan berdo’a:
Dateng Allah kitho nyuwun tebih riya’ # ‘Ujub Sum’ah sampun ngantos dados bala’
Dicatatan kakinya beliau memberikan penjelasan sampun ngantos dados bala’, bahwa sudah maklum adanya manusia itu tidak lepas dari riya’. Walau begitu riya’ harus kita perangi. Adapun kalau masih saja terganggu riya’, maka kita minta kepada Allah SWT semoga riya’ kita itu masuk dalam kategori رِيَاءُ الْعُلَمَاءِ أَفْضَلُ مِنْ إِخْلَاصِ الْجُهَلَاءِ “Riya’nya ulama lebih utama daripada ikhlasnya juhala’ (orang-orang bodoh)” seperti saya, kata beliau mengakhiri penjelasannya dengan penuh tawadhu’.
Baca juga: Mengenal Enam Fungsi Angin dalam Al-Quran Perspektif Tafsir Ilmi
Wejangan 2: Tetaplah Ahlussunnah Wal Jama’ah
Tidak percaya dengan mu’jizat adalah salah satu penyimpangan akidah. Bahkan sadar atau tidak, terkadang dengan dalih ilmu pengetahuan berani menafsirkan ayat-ayat terkait mu’jizat atau khowariq al-‘adah yang berujung meniadakannya. Misalkan, penafsiran terkait kisah burung ababil dengan lalat atau nyamuk yang dikakinya ada virus penyebab pasukan Abrahah binasa. Penafsiran semacam ini ditentang oleh ulama-ulama ternama. Sebet saja misalnya, Syekh Mutawalli Sya’rowi dan Syekh Romadhon Al-Buthy.
Kyai Mundzir Nadzir menyadari bahayanya, sehingga beliau mengingatkan kita pada mu’jizat Nabi Musa AS dan kemu’jizatan Al-Qur’an. Selain itu, beliau berpesan agar tetap mengikuti ajaran Nabi dan empat khalifah pengganti (Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah). Ini bisa dilihat pada bait berikut:
Iling maring rupo lan dzate mu’jizat # Kabih umat ojo kasih podo larat
Bejone wong jaman akhir gelem mamah # tindak Rosul lan Khulafa’ Al-Arba’ah
Wejangan 3: Bersabarlah
Ketika menghadapi musibah atau kesulitan, maka bersabarlah, termasuk masalah ekonomi. Beliau mengatakan:
Koyo Bashir dawuh Allah ing mu’jizat # (Khoirin Faqir) sabar ing wektu melarat
Sabar iku nanggung payah lan kangelan # Sebab perang kubro kang dadi jalaran
Baca juga: Memahami Tafsir sebagai Produk dan Proses Perspektif Abdul Mustaqim
Menariknya, pada bab Wacan Mad Thobi’I, beliau menyinggung sebagian fenomena di masyarakat yang minta bantuan pada dukun, beliau berkata:
Yen Sak wise mad iku dak ono sukun # Hamzah tadh’if ojo ngaleh golek dukun
Sebagian ulama mencarikan solusi dengan memberikan amalan-amalan tertentu, dan bahkan ada yang menyusun kitab khusus, misalnya “Kaifa Takunu Ghoniyyan?” karya Habib Muhamamad bin Alawi bin Umar Al-‘Aydrus. Di akhir kitab “Aisyul bahri” yang membahas dunia satwa laut karangan Syekh Muhammad Anwar Batang juga disebutkan banyak sekali trik resep amalan kaya berupa bacaan surat atau ayat tertentu, begitu juga dalam kitab-kitab selain keduanya.
Bukan berarti para ulama tersebut mengajari untuk “cinta dunia”. Mereka hanya ingin memberikan solusi dari salah satu problematika kehidupan, sekaligus menyelamatkan akidah umat dari kesyirikan. Toh, Islam tak melarang orang menjadi kaya. Bahkan Nabi SAW justru pernah mengingatkan: “Kadal faqru an yakuna kufran” (Kemiskinan itu dekat kepada kekufuran).
Wejangan 4: Pentingnya Persaudaraan
Sang Kyai bertutur:
(Qur Rabbihkum) (Bar rofa’a) sak banjure # (idzdzolamu) sing guyup karo dulure
Demen tukar padu mundak dadi tiwas # getun mburi ilingo yang dongeng lawas
Qobil Habil si Qobil ojo ditiru # bumi bundas manuk gagak dadi guru
Tuding printah thik ji tungkul patenono # driji manis menging jempolan mbenerno
Beliau di catatan kakinya menjelaskan apa yang dikehendakinya. Ringkasnya demikian, kata “thik” maksudnya “jenthik” (kelingking). “ji tungkul” maksudnya driji temungkul (jari telunjuk) perintah supaya kelingking membunuh jari unggul (tengah). Jari manis melarang: Jangan-jangan orang tua itu malati (bertulah). Jari jempol membenarkan larangan jari manis: benar 3x.
Baca juga; Mengenal Kajian Resepsi-Living Qur’an Ahmad Rafiq
Sebuah ilustrasi yang indah. Kisah ini sudah lama berkembang di masyarakat jawa khususnya. Ingin tahu selengkapnya? Silahkan baca di sini.
Wejangan 5: Akulturasi Budaya Dan Tingginya Budaya Metalurgi Nusantara
Huruf-huruf yang menjadi permulaan surat itu ada 14 huruf. Kata beliau bisa diucapkan dengan:
Thoha hasil mangan keris ko Syekh Ali # degdoyone koyo angungkul-ngungkuli
Kata Thoha kalau dihitung dengan abajadun maka akan berjumlah 14, dengan rincian huruf Tho berjumlah 9 dan ha’ berjumlah 5.
Ungkapan keris ko Syekh Ali dari Sang Kyai di atas, bagi penulis sangat indah dan dalam maknanya. Keris sebagai simbol budaya, Syekh Ali simbol ilmu agama, seperti kata Nabi SAW: “Ana madinatul ilmi wa ‘Aliyun babuha” (Aku kotanya ilmu, dan Ali pintunya). Seakan Sang Kyai berpesan, budaya lokal yang dipandu ilmu itu terbukti sangat efektif untuk berdakwah. Akulturasi budaya perlu dikawal dengan ilmu dan disikapi dengan bijak, sebagaimana para wali dulu.
Termasuk tembang jawa berbahar rojaz yang dianggit oleh Sang Kyai ini. Menyampaikan ilmu tajwid dengan menyenangkan sekaligus merawat nilai-nilai kearifan lokal budaya. Dengan demikian, berdakwah tak mesti berhadap-hadapan dengan budaya lokal setempat. Apalagi memberangusnya dengan membabi buta, karena dianggapnya tak sesuai “islam” (Arab). Wahwahwaaah repot nek ngunu. Bukankah Allah sendiri menciptakan kita bermacam-macam etnis, ras, suku dan budaya?
Selain itu, saat baca bait ini, penulis teringat tulisan dan beberapa video dari Bapak Mardigu Wowiek yang mengupas budaya metalurgi Indonesia dengan sangat apik dan menarik. Silahkan baca atau tonton videonya terkait budaya metalurgi Indonesia, unsur material keris, rahasia sumur wali, Titah Apati Geni dan Tinitah Sabdo Sumuruping Geni dari Sunan Bonang yang menggambarkan tingginya budaya logam Nusantara.
Baca juga: Mengenal Badriyah Fayumi, Mufasir Perempuan Indonesia Pejuang Keadilan Gender
Adapun anggapan nyleneh dari sebagian orang yang menganggap penghormatan dan penghargaan pada keris dianggap sebagai klenik, mistik, dan syirik, itu bisa dipastikan dia tak memahami budaya logam yang tinggi dan penuh nilai filosofi. Menghormati dan menghargai keris misalnya, karena memang itu benda berharga dan layak untuk dihormati. Toh, keyakinan kita La haula wala quwwata illa billah tak berubah.
Terkait nilai filosofi keris silahkan lihat videonya Sayyid Seif Alwi yang telah mengupasnya dengan sangat filosofis. Sebetulnya masih banyak nilai pesan dan wejangan dari Sang Kyai dalam kitab yang selesai ditulis di Yogyakarta pada hari Ahad Kliwon 26 Muharram 1360 H / 23 Februari 1941 M ini. Allahumma A’li Darojatahu Fil Jannah Wanfa’na bi ‘ulumihi. Amin. Al-Fatihah untuk Sang Kyai…