Meskipun kecenderungan masyarakat Indonesia melakukan praktik monogami, namun seiring meningkatnya kelas menengah muslim dan arus penyebaran informasi semakin cepat, sebagian kecil masyarakat menganggap bahwa praktik poligami adalah sunnah Nabi Saw. Poligami dianggap menjadi jalan surga bagi para istri yang mau dimadu. Munculnya kelas poligami di beberapa kota pada beberapa waktu belakangan dengan materi-materi semisal “cara dapat istri empat dalam perspektif Islam” dan “mengacu praktik poligami Rasulullah dan Ummahatul mukminin” semakin memperkuat anggapan ini.
Benarkah praktik poligami itu sunnah Nabi? Darimana dasar hukumnya poligami? Pertanyaan-pertanyaan ini akan coba penulis urai dalam artikel singkat ini.
Di dalam al-Quran ayat tentang poligami hanya dapat ditemukan dalam Q.S An-Nisa ayat 3. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Terjemah dari Kementerian Agama:
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Pertanyaan selanjutnya adalah benarkah ayat ini menjadi landasan syariat bagi pelaksanaan praktik poligami? Bagaimana para mufasir Indonesia memahami ayat ini?
Ayat di atas tidak dapat dilepaskan dalam konteks pemenuhan hak anak yatim yang berkaitan dengan ayat sebelumnya. Menurut riwayat al-Bukhari dari ‘Urwah bin az-Zubair, ia menuturkan: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang firman Allah, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),” ia menjawab, ‘Wahai keponakanku, anak perempuan yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya, sedangkan harta perempuan yatim ini bercampur dengan harta walinya.
Rupanya, harta dan kecantikannya mengagumkan walinya, sehingga walinya berhasrat untuk menikahinya dengan tanpa berlaku adil dalam memberikan mahar kepadanya sebagaimana yang diberikan kepada selainnya. Karena itu, mereka dilarang menikahi perempuan yatim itu, kecuali bila berlaku adil kepada mereka dan memberikan kepada mereka mahar yang layak, serta mereka diperintahkan supaya menikahi wanita-wanita yang mereka senangi selain mereka (wanita-wanita yatim yang berada dalam perwaliannya).’”
Sesuai dengan riwayat hadis di atas, para mufassir klasik seperti al-Thabari, al-Qusyairi, al-Zamakhsyari, dan Ibnu Katsir menekankan bahwa poligami adalah jalan lain yang dianggap lebih baik ketimbang melakukan kezaliman terhadap anak perempuan yatim. Laki-laki tidak boleh menikahi seorang perempuan atas dasar kezaliman, karena ingin menguasai harta ataupun kecantikannya saja.
Penjelasan Buya Hamka
Dalam bukuya Tafsir Al-Azhar ketika menguraikan tentang ayat ini Hamka bercerita mengenai dialog dia dengan gurunya yang mempraktikkan poligami, ia menarasikan bagaimana guru itu menasehati dirinya:
“Cukuplah isterimu satu saja wahai Abdulmalik! Aku telah beristeri dua. Kesukarannya baru aku rasakan setelah terjadi. Aku tidak bisa mundur lagi. Resiko ini akan aku pikul terus sampai salah seorang dari kami bertiga meninggal dunia. Aku tidak akan menceraikan salah seorang antara mereka berdua, karena kesalahan mereka tidak ada. Anakku dengan mereka berdua banyak. Tetapi aku siang-malam menderita batin, karena ada satu hal yang tidak dapat aku pelihara, yaitu keadilan hati. Bagi orang lain hal ini mudah saja. Kalau tidak senang kepada salah satu, cari saja sebab yang kecil, lalu lepaskan, maka terlepaslah diri dari beban berat.”
“Kalau terjadi demikian, kita telah meremuk-redamkan hati seorang ibu yang ditelantarkan. Janganlah beristeri lebih dari satu hanya dijadikan semacam percobaan, sebab kita berhadapan dengan seorang manusia. Hal ini menjadi sulit bagiku, karena aku adalah aku, karena aku adalah gurumu dan guru orang banyak. Aku lemah dalam hal ini, wahai Abdulmalik. Aku ingin engkau bahagia! Aku ingin engkau jangan membuat kesulitan bagimu. Peganglah ayat Allah: ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (Yang demikian iatu lebih dekat supaya kamu tidak berlaku aniaya).”
Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau
Atas nasihat ini, Hamka berujar, “Nasehat beliau ini alhamdulillah dapat aku pegang hingga sekarang.”
Apa yang diucapkan Hamka memang sesuai dengan fakta. Sepanjang hayatnya ia tidak pernah poligami. Hamka adalah sosok laki-laki yang setia terhadap istrinya, Siti Rahma yang kemudian wafat di tahun 1972. Baru Setelah ditinggal wafat istri tercinta, Buya Hamka menikah lagi dengan Siti Khadijah hingga maut memisahkan keduanya.
Yang menarik Hamka kemudian mengutip Freud untuk mengatakan bahwa hasrat seksual “libido” manusia sangat kuat pengaruhnya terhadap diri manusia. Hamka menjelaskan bahwa untuk mengakomodir ini agama membolehkan nikah walau sampai empat. Ia menambahkan, tetapi karena manusia memiliki akal, maka manusia wajib memakai akalnya. Orang yang berpikir akan mengedepankan akal dibanding dengan syahwatnya, ujar Hamka.
Dari penjelasan ini secara eksplisit Hamka hendak menngatakan bahwa syahwat dan akal akan diuji dalam keputusan untuk melakukan poligami. Orang yang hanya mengikuti syahwatnya saja, akan menikah lagi dengan perempuan cantik yang lebih muda, sedang yang berakal pasti akan berpikir berulang-ulang untuk menikah lagi, sehingga ia tidak akan pernah melakukannya.
Penjelasan M. Quraish Shihab
Berbeda dengan Hamka yang tidak secara eksplisit menolak poligami dalam kategori sunnah, M. Quraish Shihab lewat Tafsir Al-Misbah mengatakan bahwa ayat ini tidak sedang membuat peraturan tentang poligami. Menurut Quraish praktik poligami telah dikenal dan dilaksanakan jauh sebelum turun ayat ini. Quraish menerangkan ayat ini tidak sedang mewajibkan maupun menganjurkan poligami, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itu pun hanya jalan yang sangat kecil, dibutuhkan dalam keadaan tertentu dan dengan syarat yang sangat ketat.
Quraish menegaskan bahwa meskipun Rasul menikahi lebih dari satu istri, akan tetapi ini tidak bisa dijadikan dalil bahwa poligami sebagai anjuran apalagi bagian dari syariat. Menurutnya, tidak semua yang dilakukan Nabi perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi Nabi, juga wajib dan terlarang pula bagi umatnya. Sebagaimana Nabi haram menerima zakat, tidak batal wudhu ketika Nabi tertidur, bagi Nabi wajib untuk melakukan shalat malam dan lain-lain.
Baca Juga: Proyek Tafsir Al-Mishbah: Menggapai Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ala M. Quraish Shihab
Merujuk pada pemaparan di atas penulis dapat mengambil benang merah bahwa Hamka dan Quraish Shihab sama-sama memahami ayat poligami sebagai kebolehan saja, bukan bentuk anjuran apalagi kewajiban. Selain dua mufassir ini, beberapa ulama lain yang belakangan semisal Husain Muhammad, Nasaruddin Umar, dan Faqih Abdul Qadir juga sependapat mengenai poligami.
Dalam ayat di atas sebenarnya juga disinggung mengenai kebolehan untuk menikahi budak perempuan, namun penulis tidak akan mengulasnya karena pada saat ini praktik perbudakan sudah dihapuskan. Sama seperti praktik poligami, al-Quran mendorong penghapusan praktik perbudakan dan sama sekali tidak menganjurkannya. Namun karena pada masa turunnya al-Quran konteks sosial masyarakat masih sangat kental dengan kedua praktik tersebut, maka al-Quran meresponnya sebagai jalan keluar yang solutif pada masa itu. Wallahu A’lam.