Safara atau safar merupakan kata yang tak asing lagi di dengar dalam kehidupan sehari-hari. Pada Kamus Al-Munawwir, dijelaskan bahwa safara dalam bahasa Arab berasal dari kata safara-yasfuru-sufuran (سَفَرَـيَسْفُرُـسُفُوْرًا) yang berarti bepergian. Menariknya, makna safar ini tidak hanya memiliki satu makna saja, akan tetapi ada beberapa makna lainnya. Berikut, tulisan ini akan menyajikan lima makna safar dalam al-Quran.
Di dalam Al-Quran, mengacu pada Al-Mu’jam Al-Mufahras li Al-Fadz Al-Qur’an Al-Karim karya Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, kata safara dengan berbagai kata turunannya disebutkan sebanyak 11 kali dalam 8 surat yang berbeda. Adapun kata turunan dari safara yakni asfara (أَسْفَرَ), asfaara (أَسْفَارَ), safar (سَفَر), safarah (سَفَرَة), dan musfirah (مُسْفِرَة) yang memiliki makna yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya dalam ayat al-Quran.
Sementara itu, di dalam al-Quran, setidaknya terdapat 5 makna kata safara yakni perjalanan (QS. Al-Baqarah: 184), terbit (QS. Al-Mudassir: 34), berseri-seri (QS. ‘Abasa: 38), kitab (QS. Al-Jumu’ah: 5), dan penulis (QS. ‘Abasa: 15).
Baca juga: Inilah Lima Kitab Tajwid Karangan Ulama Nusantara
-
Bermakna Perjalanan
أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
(QS. Al-Baqarah: 184) Artinya: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Dalam Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir karya Syakir, dijelaskan bahwa penafsiran dari ayat ini adalah orang yang sakit ataupun orang yang sedang dalam perjalanan (safar), apabila merasa kesulitan untuk berpuasa, maka diperbolehkan untuk meninggalkannya, dengan syarat puasa yang ditinggalkan tersebut akan diganti (qadha’) pada hari lain. Sebaliknya, ayat ini mengisyaratkan bahwa wajib hukumnya bagi orang yang sehat dan tidak dalam perjalanan untuk melaksanakan puasa. Begitulah penjelasan dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Mujahid, Muqatil bin Hayyan, Thawus, dan ulama salaf yang lain. Singkatnya, ayat di atas menunjukkan kata safar yang berarti perjalanan atau bepergian.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Kahfi Ayat 7-8: Hiasi Dirimu Dengan Amal Saleh, Bukan Perhiasan Dunia
-
Bermakna Terbit
وَٱلصُّبْحِ إِذَآ أَسْفَرَ
(QS. Al-Mudassir: 34) Artinya: “Dan subuh apabila mulai terang.”
Penafsiran ayat ini, berdasarkan Tafsir Al-Muyassar bermakna bersumpah dengan waktu subuh saat mulai bersinar. Adapun dalam An-Nafahat Al-Makkiyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi, ayat ini memiliki makna bersumpahnya Allah Swt dengan bulan pada malam hari berlalu serta dengan siang pada saat mulai terang. Karena dalam semua hal tersebut terdapat tanda-tanda kebesaran Allah Swt yang agung yang menunjukkan kebesaran-Nya di alam semesta.
Penafsiran ayat ini menunjukkan bahwa kata asfara yang dimaksud memiliki arti terbit atau bersinar. Hal ini dapat terlihat dari susunan kata asfar yang berkedudukan sebagai kata kerja dari lafadz was subhi (dan subuh).
-
Berseri-seri
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُّسْفِرَةٌ
(QS. ‘Abasa: 38) Artinya: “Wajah orang-orang yang mendapatkan kenikmatan di hari itu bersinar, Bahagia dan bersuka cita, Sedangkan wajah penghuni neraka jahim gelap dan hitam.”
Berdasarkan Tafsir Al-Wajiz oleh Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, maksud dari ayat di atas adalah yakni pada hari yang besar ini (yaitu hari kiamat) Allah Swt putihkan wajah-wajah mereka dan terlihat berseri-seri padanya, begitu juga nampak senyuman di wajahnya. Dan itulah wajah orang yang bertauhid dan beriman. Dan di sana terdapat pula wajah yang cemberut dan tertutupi debu akibat merasakan takut atas apa yang telah mereka kerjakan (di dunia).
Sementara itu, M. Quraish Shihab dalam karyanya Tafsir Al-Misbah, menerangkan bahwa kelak pada hari kiamat, manusia akan terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah orang-orang yang senantiasa taat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, sehingga pada saat itu wajahnya berseri-seri dan penuh dengan cahaya. Dan golongan kedua adalah orang-orang yang mengingkari ajaran Allah Swt. Pada saat itu wajah orang-orang yang ingkar menjadi keruh dan tertupi kegelapan akibat dosa-dosa mereka.
Baca juga: Mengenal Tafsir Al-Ubairiz Karya Gus Mus
Walaupun kata musfirah merupakan kata turunan dari kata safar, namun arti yang dimilikinya berbeda. Seperti pada penjelasan di atas, kata musfirah pada QS. ‘Abasa: 38 adalah sebagai kata sifat dari kata wujuh (wajah) yakni berseri-seri.
-
Kitab
مَثَلُ ٱلَّذِينَ حُمِّلُوا۟ ٱلتَّوْرَىٰةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ ٱلْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًۢا ۚ بِئْسَ مَثَلُ ٱلْقَوْمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
(QS. Al-Jumu’ah: 5) Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”
Ayat di atas, menurut M. Quraish Shihab dalam karyanya Tafsir al-Misbah, menerangkan bahwa pada saat itu, Allah Swt memilih Bani Israil untuk menyampaikan wahyu-Nya. Sementara itu, keturunan mereka (Bani Israil) kemudian melakukan bermacam-macam kejahatan dan merusak ajaran yang terdapat dalam kitab (asfaara) mereka. Oleh sebab itu, mereka diperumpamakan sebagai hewan yang hanya membawa beban (ilmu dan hikmah) dipunggungnya, tetapi tidak dapat mengerti dan tidak dapat memahami apa yang dibawanya. Bedasarkan penafsiran ayat tersebut, dapat dipahami bahwa kata asfaara merujuk pada arti Taurat yakni kitab Bani Ismail. Namun, secara garis besar asfaara diartikan sebagai kitab.
-
Penulis
بِأَيْدِى سَفَرَةٍ
(QS. ‘Abasa: 15) Artinya: “Di tangan para penulis (malaikat).”
Dalam Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, dijelaskan bahwa kata safarah merupakan bentuk jamak dari kata saafir yang berarti penulis. Sementara itu, kata safarah juga bentuk jamak dari kata musafir yang berarti pergi jauh ataupun jamak kata safir yang berarti perwakilan atau utusan. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa makna kata safarah berarti penulis wahyu al-Quran (para malaikat) yang diutus menjadi perwakilan dan menempuh jarak jauh sebagai perantara Allah Swt dengan para rasul-Nya.
Baca juga: Tipologi Penafsiran Al-Quran Menurut Johanna Pink (Part I)
Sebagaimana penjelasan kata safarah oleh M. Quraish Shihab yang memiliki banyak arti, namun penulis menyimpulkan pendapat pertama sebagai jawaban yang sesuai dengan konteks ayat yang dimaksud yang berarti penulis wahyu (para malaikat) Allah Swt.
Demikian penjelasan mengenai makna lain dari kata safar atau safara dalam al-Quran. Dalam kehidupan sehari-hari, safar memang dimaknai sebagai perjalanan atau bepergian. Namun, terdapat makna lain dari kata safar atau safara tersebut yakni terbit, berseri-seri, kitab, dan penulis. Perbedaan makna tersebut bukanlah suatu masalah, sebab arti sebuah kata memang dapat berbeda-beda tergantung dengan konteks kalimatnya. Wallahu a’lam[]