Tidak diragukan lagi bahwa keutuhan Al-Qur’an merupakan warisan intelektual Islam yang terpenting dan paling berharga. Demikian ungkapan Nurcholish Madjid alias Cak Nur dalam karyanya “Khazanah Intelektual Islam”. Membaca kalimat tersebut membetikkan rasa penasaran tentang seberapa dahsyat Al-Qur’an sebagai kitab suci yang sangat berpengaruh pada dunia intelektual Islam.
Secara bahasa, kata waris berasal dari kata al-miiraats (bahasa Arab). Ia merupakan masdar dari waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan yang bermakna berpindahnya sesuatu dari satu orang/kaum ke orang/kaum lain. Dari segi istilah, al-miiraats menurut Ash-Shabuni berarti hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli waris yang masih hidup dalam segala bentuknya yang hak miliknya sah secara syar’i. Adapun “intelektual” mengutip dari pendapat William Stern merupakan kesanggupan seseorang untuk menyesuaikan diri pada hal-hal baru dengan menggunakan alat-alat berpikir menurut tujuan yang ingin dicapai.
Berbicara mengenai keutuhan Al-Qur’an, pembukuan Al-Qur’an menjadi Mushaf ’ala rasm al-Utsmani merupakan suatu keberhasilan besar dalam dunia intelektual Islam yang menjaga kemurnian dan kesatuan umat muslim ketika membacanya. Meskipun upaya ini dilakukan pada masa Utsman ibn Affan, namun ide besar kodifikasi Al-Qur’an ini sesungguhnya bermula dari Umar ibn al-Khattab. Umar merupakan seorang yang sangat bergairah dan berpegang teguh pada Al-Qur’an. Ia juga seorang sahabat yang paling dekat dengan kalangan al-Qurra (ahli Al-Qur’an) dan al-Huffadh (ahli hadis) serta orang yang paling keras dalam mencegah kaum muslim menuliskan sesuatu selain Al-Qur’an.
Sekalipun ia sahabat yang sangat hormat kepada Nabi, Umar tidak segan untuk mengkritik tindakan Nabi jika ia merasa hal tersebut dinilai sebagai tindakan yang di ambil atas kemauan sendiri bukan atas petunjuk Tuhan. Ia terbilang sahabat yang sangat kreatif, sekalipun beriman teguh, akan tetapi ia tidak dogmatis. Ia berani mengemukakan dan melaksanakan ide serta tindakan inovatif walaupun hal tersebut sepintas terlihat tidak sejalan bahkan berseberangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Qur’an yang utuh, itulah yang Umar wariskan kepada umat muslim berkat intelektualitasnya. Pada mulanya, ide mengumpulkan Al-Qur’an yang disampaikan kepada Khalifah Abu Bakar ini ditolak. Namun, setelah mengemukakan alasan-alasan yang kuat, maka Kitab Suci Islam itu pun berhasil dibukukan untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.
Selain itu, selama menjabat khalifah yang kedua, Umar pun acap kali mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang “berbeda” sehingga ia dihujani kritik dari kaum muslim sendiri bahkan pernah dituduh telah menyimpang dari agama yang benar. Namun demikian, para sarjana Muslim menilainya sebagai orang kedua setelah Nabi yang menentukan sejarah Islam berkat ide-ide inovatifnya (Khazanah Intelektual Islam: 3-6).
Baca juga: Pengumpulan Al-Quran dan Kisah Diskusi Alot Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit
Al-Qur’an Sebagai Warisan Intelektual
Sekarang, mari kita bayangkan jika yang diwariskan harta, sangat kecil kemungkinan harta tersebut akan bertahan bahkan berkembang sekian generasi. Begitu pula dengan tahta kerajaan. Lihat saja Indonesia yang dahulunya tempat subur bagi berbagai berbagai kerajaan, namun hari ini yang tersisa hanya sejarah dan beberapa peninggalan yang masih bisa terselamatkan dan terawat. Namun, lihat apa yang telah diwariskan Umar. Berkatnnya, Al-Qur’an menjadi suatu warisan yang paling berharga bagi seluruh muslim di dunia. Sebagian non-muslim dari kalangan sarjana yang konsen mengkaji Al-Qur’an pun dapat dikatakan mendapat cipratan kemanfaatan dari Al-Qur’an paling tidak dalam karir akademiknya.
Dalam perbincangan singkat dengan Zainal Abidin Sueb, penulis buku Mushaf Nusantara: Jejak, Ragam dan Para Pembacanya, ia melihat kajian terhadap Al-Qur’an ke depan akan menjadi sesuatu yang semakin menarik terlebih ketika penggiat kajian Al-Qur’an mampu mengintegrasikan Al-Qur’an dengan berbagai cabang keilmuan umum seperti ilmu sosial, ilmu alam, ilmu politik, ilmu kesehatan, ilmu komunikasi dan lain sebagainya. Hal ini bukanlah upaya yang tidak mungkin mengingat kandungan Al-Qur’an yang sangat kompleks serta dapat menjadi rujukan dalam menjelaskan dan menjawab persoalan kehidupan manusia dalam berbagai bidang.
Jika tidak menyandingkan kajian Al-Qur’an dengan berbagai disiplin ilmu lain, mempelajari dan mengkaji Al-Qur’an secara khusus pun menjadi suatu ranah yang sangat kompleks dan tidak ada habisnya sekalipun terus-menerus ditelaah. Kemudian, hasil dari kajian terhadap Al-Qur’an akan menjadi warisan intelektual bagi generasi berikutnya.
Dengan demikian benar bahwa keutuhan Al-Qur’an menjadi warisan intelektual yang paling penting dan berharga. Semakin banyak kajian terhadap Al-Qur’an akan menjadikan warisan ini terus berkembang dan tidak lekang sepanjang zaman, seirama dengan slogan yang seringkali dialamatkan pada Al-Qur’an, shalihun li kulli zaman wal makan (senantiasa relevan di setiap waktu dan tempat). Jika suatu kajian terhadap Al-Qur’an dinilai mengandung kesalahan, hal tersebut masih mengandung nilai positif sebab akan memantik kajian baru sebagai kritik dan revisi atas kajian sebelumnya. Wallahu a’lam.
Baca juga: Penafsiran Umar bin Khattab sebagai Dasar Model Tafsir Kontekstual menurut Abdullah Saeed