BerandaUlumul QuranEmpat Pemetaan Kajian Al-Qur’an dan Tafsir Yang Penting Diketahui

Empat Pemetaan Kajian Al-Qur’an dan Tafsir Yang Penting Diketahui

Pada artikel sebelumnya, “Tips Menentukan Tema Penelitian Terkait Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir”, telah dijelaskan tentang kiat-kiat menentukan tema kajian Al-Qur’an dan tafsir.  Di sana juga dijelaskan bahwa salah satu problem mendasar yang menyulitkan peneliti – khususnya mahasiswa – dalam penelitian adalah kebingungan atau ketidaktahuan terhadap pemetaan kajian Al-Qur’an dan tafsir.

Pemetaan kajian Al-Qur’an dan tafsir adalah hal penting yang wajib diketahui oleh sarjana Al-Qur’an. Sebab, tanpa kehadirannya mungkin akan terjadi kerancuan arah dan fokus suatu penelitian. Oleh karena itu, artikel ini akan menerangkan tentang pemetaan kajian Al-Qur’an dan tafsir guna memberikan gambaran jelas – konkret – bagi pembaca perihal bidang apa saja yang dapat diteliti.

Pengenalan pemetaan kajian Al-Qur’an dan tafsir ini juga penting dilakukan agar tidak terjadi problem metodologis. Sebagai contoh, jika seorang peneliti ingin melakukan kajian tematik terhadap ayat Al-Qur’an seperti “makna hidayah dalam Al-Qur’an,” maka ia harus memahami bahwa fokus kajiannya adalah teks Al-Qur’an itu sendiri (the Qur’an its self), bukan malah tersentral pada kitab tafsir.

Baca Juga: Genealogi Kajian Tafsir Kawasan Yaman: Pasca Atba’ al-Tabi’in Hingga Abad ke-14 H (4)

Dalam konteks ini, sebenarnya pengutipan kitab tafsir tidaklah dilarang. Hanya saja, harus dipahami bahwa sentral kajian adalah makna hidayah menurut Al-Qur’an itu sendiri. Pengutipan kitab tafsir hanya sebatas untuk membantu mengidentifikasi pemaknaan kata dan frasa Al-Qur’an dari segia kebahasaan atau struktur kalimat, bukan berfungi sentral sebagai makna yang dituju.

Jika peneliti tidak hati-hati dalam melakukan pengutipan kitab tafsir dan hanya terfokus pada pemaknaan yang disampaikan kitab tersebut, maka yang terjadi adalah kerancuan dan kekacauan metodologis. Pada akhirnya, penelitian yang dilakukan tidaklah mengungkapkan makna hidayah menurut Al-Qur’an, melainkan makna hidayah menurut kitab tafsir dan ini melenceng dari fokus kajian.

Empat Pemetaan Kajian Al-Qur’an dan Tafsir

Menurut Sahrion Syamsudin dalam artikelnya, “Pendekatan dan Analisis dalam Penelitian Teks Tafsir: Sebuah Overview”, pemetaan kajian Al-Qur’an dan tafsir adalah aspek fundamental yang harus dipahami oleh sarjana Al-Qur’an sebelum melaksanakan penelitian. Menurutnya, pemetaan kajian Al-Qur’an dan tafsir terbagi kepada empat bidang, yaitu:

Pertama, penelitian yang menjadikan teks Al-Qur’an sebagai objek sentral, dan atau sumber pokok dalam penelitian. Amin al-Khulli dalam Manahij al-Tajdid fi al-Nahwi wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab – kemudian diikuti Bint al-Syati – menyebut bidang ini dengan istilah dirasat al-nas yang terfokus pada pemahaman terhadap makna teks Al-Qur’an (understanding of Quranic text).

Dalam bidang dirasat al-nas, biasanya seorang peneliti melakukan telaah mendalam terhadap makna atau fitur-fitur yang ada dalam teks Al-Qur’an, mulai dari cara baca Al-Qur’an, variasi qiraat, makki-madani, nazm (sistematika atau struktur), muhkam-mutasyabih, gaya bahasa (uslub al-Qur’an), manuskrip Al-Qur’an, hingga kandungan teks Al-Qur’an.

Kedua, penelitian tentang hasil pembacaan, penafsiran atau terjemah seseorang terhadap teks Al-Qur’an atau yang sering disebut sebagai “tafsir”. Penelitian semacam ini biasa disebut dengan penelitian literatur tafsir atau dalam bahasa Norman Calder disebut dengan istilah literary genre (“Tafsir from Tabari to Ibn Kathir,” dalam G.R. Hawting dan Abdul Kader, A. Shareef (ed.). Approaches to the al-Quran).

Jika bidang dirasat al-nas menjadikan teks Al-Qur’an sebagai objek penelitian, maka penelitian literatur tafsir menjadikan pemahaman pemaknaan, terjemah atau  interpretasi seseorang sebagai objek kajian penelitian. Abdul Mustaqim dalam bukunya Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir menyebut penelitian semacam ini ini sebagai studi pemikiran tokoh tafsir (mufasir).

Di antara contoh penelitian literatur tafsir adalah penelitian Andrew J. Lane (2006) berjudul A Traditional Mu‘tazilite Qur’ān Commentary: The Kashshāf of Jār Allāh al-Zamakhsharī (d. 538/1144), penelitian Ridha hayati berjudul Penafsiran Ayat-ayat Cambuk Tafsir Tarjumān al-Mustāfid Karya Abdurrauf Ali al-Jawi al-Fansuri dan An-Nur Karya Hasbi Ash-Shiddieqy, dan penelitian Hasan Zaki berjudul Makna Awliya Menurut Ibn Jarir al-Thabari.

Pemetaan kajian Al-Qur’an dan tafsir yang ketiga adalah penelitian tentang aspek-aspek metodis, baik yang bersumber dari ulumul Qur’an (ilmu tafsir klasik) maupun ilmu-ilmu bantu lain seperti semantik, semiotik, dan hermeneutik. Kajian yang paling lumrah dilakukan oleh sarjana muslim biasa berkenaan dengan disiplin ulumul qur’an seperti asbabun nuzul dan munasabah ayat.

Keempat, penelitian yang mengkaji respons atau resepsi masyarakat terhadap Al-Qur’an atau terhadap hasil interpretasi seseorang atas Al-Qur’an. Penelitian ini sering disebut sebagai living qur’an. Pada hakikatnya, living Qur’an termasuk ke dalam rumpun penelitian sosial seperti sosiologi dan antropologi. Namun karena itu berkaitan dengan Al-Qur’an, maka ia dapat dikategorikan sebagai bidang kajian Al-Qur’an.

Baca Juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya

Sebagian contoh dari penelitian living Qur’an adalah penelitian Rochmah Nur Azizah berjudul Tradisi pembacaan Surah al-Fatihah dan al-Baqarah di PPTQ ‘Aisyiyah Ponorogo, penelitian M. Ulil Abshor berjudul Resepsi Al-Qur’an Masyarakat Gemawang Mlati Yogyakarta, dan penelitian Diana Fitri umami berjudul Simbolisme Al-Qur’an Sebagai Rajah: Studi terhadap Rajah Pungkasan di Pesantren Wasilatul Huda Kendal.

Demikian penjelasan tentang pemetaan kajian Al-Qur’an dan tafsir. Pemetaan ini haruslah dipahami oleh sarjana Al-Qur’an agar tidak terjadi kerancuan metodologi dalam penelitian. Selain itu, ini juga membantu peneliti untuk menentukan arah penelitian. Tanpa memahami secara rinci bidang apa yang sedang dikaji, bisa saja terjadi kesalahpahaman ataupun kekeliruan, baik metodologis maupun teknis. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...