Dalam buku Kontroversi Islam Awal Mun’im Sirry memberi catatan kritis mengenai sumber proses pengumpulan wahyu menjadi Kitab Suci tertulis terutama di era Sahabat. Ia memperlihatkan adanya kontradiksi antar riwayat-riwayat tentang proses penulisan wahyu.
Mun’im Sirry adalah pangajar di Departemen Teologi dan peneliti pada Kroc Institute forInternational Peace Studies, University of Notre Dame, Amerika Serikat. Ia adalah alumnus Pondok Pesantren TMI Al-Amien, Prenduan-Madura. Kemudian lanjut S1 dan S2 di International Islamic University Islamabad (IIUI), Pakistan dan University of California Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat. Memperoleh gelar PhD dalam bidang studi Islam di Divinity School, University of Chicago.
Catatan kritis yang dimaksud Mun’im Sirry bukan dalam rangka mengkritisi Al-Qur’an, melainkan mengkritisi sumber-sumber yang disajikan oleh para ulama tentang sejarah Al-Qur’an. Ia menyampaikan bahwa kritik-mengkritik dalam studi Islam diarahkan untuk mencairkan kajian sejarah Al-Qur’an. Sehingga kajian Islam tidak berhenti pada ranah dogmatis (keimanan), tetapi dibahas juga secara ilmiah.
Kanonisasi Al-Qur’an
Sebelum memaparkan catatan-catatan kritis Mun’im Sirry, secara ringkas akan dijelaskan mengenai sejarah Al-Qur’an yang diutarakan oleh ulama tradisional dan yang diyakini oleh mayoritas muslim selama ini. Dalam sejarahnya, Al-Qur’an dinyatakan telah ditulis sejak era Nabi Muhammad SAW.
Namun, Al-Qur’an baru dihimpun dan dikumpulkan dalam satu mushaf beberapa tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa Al-Qur’an telah dihimpun dalam satu mushaf pada era khalifah pertama, Abu Bakar. Saat itu, karena banyak sahabat yang hafal Al-Qur’an (hafiz) gugur dalam perang Yamamah, Umar bin Khattab mengusulkan agar Al-Qur’an segera dibukukan.
Usulan Umar bin Khattab tersebut, dengan segala dinamikanya, kemudian disetujui oleh Abu Bakar. Ini mengatasi kekhawatiran Umar dan sahabat lainnya tentang kemungkinan Al-Qur’an “terlupakan” –karena gugurnya sahabat penghafal Al-Qur’an.
Baca Juga: Pengumpulan Al-Quran dan Kisah Diskusi Alot Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit
Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu pada zaman Nabi Muhammad SAW, dipercaya untuk memulai pengumpulan Al-Qur’an. Namun, beberapa lama kemudian terutama ketika wilayah kekuasaan muslim semakin meluas, ternyata muncul masa lain. Berbagai kelompok muslim membaca Al-Qur’an dengan bacaan berbeda-beda, yang kerap menimbulkan konlfik internal di kalangan muslim sendiri.
Dari sini, pada era khalifah ketiga, Utsman bin Affan, kemudian dibentuk komisi untuk menyatukan bacaan Al-Qur’an. Mushaf masa khalifah Utsman inilah yang kita kenal dan pegang sekarang ini, yang dikenal dengan rasm Utsmani.
Catatan Kritis Mun’im Sirry
Mun’im Sirry menilai bahwa proses kanonisasi Al-Qur’an di atas memunculkan beberapa problem jika mengacu pada riwayat yang diterima tentang sumber-sumber yang menjadi dasar pengumpulan Al-Qur’an. Dari berbagai riwayat, disebutkan bahwa pengumpulan atau kanonisasi Al-Qur’an didasarkan pada sumber tertulis dan hafalan sekaligus.
Beberapa sahabat disebutkan memiliki catatan tersendiri. Meskipun demikian, catatan-catatan tersebut tidak serta merta diterima dan dimasukkan ke dalam mushaf resmi, melainkan harus didukung oleh dua saksi yang memberikan kesaksian lisan. Keterangan ini dan yang serupa dengannya didapatkan, misalnya, dari As-Suyuthi dalam kitabnya, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
Keterangan As-Suyuthi disampaikan secara jujur dan apa adanya, yang menurut Mun’im Sirry, sekalipun di dalam keterangan As-Suyuthi tersebut terjadi pertentangan satu riwayat dengan riwayat lainnya. Bahkan riwayat-riwayat yang menyangkut persoalan sangat mendasar, seperti apa yang dimaksud “dua saksi” juga terdapat pertentangan satu riwayat dengan lainnya.
Lebih jauh, Mun’im Sirry mengatakan bahwa jika diamati secara cermat terhadap riwayat-riwayat seputar kanonisasi dan kodifikasi Al-Qur’an, kita akan sampai pada kesimpulan yang tidak konklusif. Sebagaimana dicatat oleh As-Suyuthi dalam kitab al-Iqan-nya dan penulis lainnya seperti Ibnu Abi Daud Al-Sijistani dalam kitab Al-Mashahif. Di sana diperlihatkan berbagai riwayat yang mengandung banyak kontradiksi dan inkonsistensi.
Misalnya, riwayat yang umum diterima adalah bahwa Abu Bakar memerintahkan kanonisasi dan kodifikasi Al-Qur’an atas inisiatif Umar bin Khattab, tetapi riwayat lain ada yang menyebutkan bahwa Umarlah yang memuli kodifikasi Al-Qur’an. Terjemahan riwayat tersebut dari Abdullah bin Faddalah, yang berbunyi:
“Ketika Umar memutuskan untuk mengumpulkan Al-Qur’an, ia mengangkat koleganya untuk mewakilinya, dan berkata ‘Apabila kalian berbeda pendapat, tuliskan dalam dialek suku mudra, karena sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan kepada seorang dari suku Mudar”.
Abu Ishaq juga meriwayatkan, yang terjemahannya, bahwa “ketika Umar mengumpulkan teks (Al-Qur’an), ia bertanya: ‘Siapa orang yang paling ahli dalam bahasa Arab?’ Mereka merujuk kepada Sa’id bin Al-‘Ash. Umar pergi menemui Sa’id dan berkata: ‘Siapa penulis yang paling baik di antara orang-orang?’ Sa’id menjawab: ‘Zaid bin Tsabit’. Kemudian Umar berkata: ‘Kalau begitu, silakan Sa’id mendikte dan Zaid menuliskannya.’ Mereka pun membuat empat naskah Al-Qur’an dan dikirimkanke Kufah, Basrah, Suriah, dan Hijaz”.
Dua riwayat tersebut tidak terdapat nama Abu Bakar. Bahkan, menurut Mun’im Sirry, dalam riwayat-riwayat yang merujuk kepada Abu Bakar sebagai seorang pembuat kebijakan pembukuan Al-Qur’an, terdapat perbedaan tentang siapakah yang ditugasi menuliskan teks Al-Qur’an. Pada umumnya, Zaid disebut orang yang menulis Al-Qur’an, tetapi riwayat lain mengatakan bahwa Abu Bakar sendirilah yang menulis Al-Qur’an, sementara Zaid diminta meneliti hasil Abu Bakar tersebut.
Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (1): Sejarah Awal Mula Penulisan Mushaf dan Klasifikasinya
Menurut Mun’im Sirry bahwa beberapa riwayat yang bertentangan sangat sulit direkonsiliasi. Misalnya, tentang perbincangan yang melibatkan Umar, Sai’d dan Zaid, sebagaimana yang dikemukakan di atas. Dalam riwayat Mas’ad bin Sa’ad, ternyata bukan Umar yang berinisiatif melakukan pembukuan Al-Qur’an, melainkan Usman bin Affan. Anehnya, dialog Usman dengan Sa’id dan Zaid sama persis dengan yang dikatakan umar.
Pada akhir dialog, Usman berkata: “Kalau begitu, silakan Sa’id mendikte dan Zaid menuliskannya”. Dari sini, Mun’im Sirry mengajukan pertanyaan kritis bahwa Apakah Usman menggunakan naskah yang dihimpun pada zaman Abu Bakar? Pertanyaan ini didiskusikan secara panjang lebar oleh Mun’im Sirri dalam bukunya. Namun, penulis cukupkan sampai di sini, minimal, sebagai bahan refleksi kita terhadap sumber-sumber sejarah Al-Qur’an yang kita terima. [] Wallahu A’lam.