Musim haji ditandai dengan datangnya bulan Zulhijjah. Ritual haji menjadi momen besar dalam rangkaian ibadah umat Islam. Namun, sudah dua tahun ini kuota haji dibatasi. Ini karena pandemi covid-19 yang belum juga berakhir, namun justru meningkat dengan varian barunya. Sehingga, para jamaah haji di Indonesia perlu ekstra sabar untuk menunda ibadah haji tahun ini.
Apakah penundaan tersebut membuat para calon jamaah haji sedih dan kecewa? Jangan ditanya lagi. Jawabanya ya, tentu. Sedih dan kecewa boleh, tapi jangan terus menerus, yakini bahwa ada hikmah di balik semua peristiwa ini. Misalnya, penundaan ini membuat kita semua menghayati kembali makna ritual haji. Sebagai persiapan untuk menjadi haji yang mabrur, di antara cara menghayati haji adalah dengan memahami rahasia dan tujuan dari haji itu sendiri, sebagaimana yang sering dilakukan oleh para sufi.
Pemaknaan tentang haji oleh para sufi, salah satunya terlihat ketika mereka menafsirkan ayat haji dalam Al-Quran. Bagi para sufi, selain makna lahiriah, Al-Qur’an juga memiliki makna batiniyah. Inilah yang membuat penafsirannya menjadi unik dan terlihat sedikit aneh bagi orang biasa. Pemahaman ini sebagaimana terlihat dalam penjelasan berikut.
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28: Manfaat Ibadah Haji dalam Segi Sosial dan Ekonomi
Tafsir sufi ayat haji
Satu di antara ayat yang berkaitan dengan haji adalah ayat 96-97 dari surah Ali Imran.
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذي بِبَكَّةَ مُبارَكاً وَ هُدىً لِلْعالَمينَ
Artinya:“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang berada di Bakkah (Mekah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”
Dalam menafsirkan ayat ini, Al-Qusyairi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan rumah yang dijadikan tempat tawaf adalah hati. Dan tujuan dari hati manusia adalah Allah swt. Dengan demikian, Ka’bah atau baitullah tidak sekadar dimaknai secara lahir. Akan tetapi, juga dimaknai secara simbolik yaitu sebagai hati manusia. (Laṭāiful Ishārāt, hal. 160)
Sebagaimana Al-Qusyairi, Mansur Al-Hallaj juga memiliki penafsiran yang senada. Ia adalah seorang sufi yang dieksekusi di kota Baghdad karena keyakinannya. Ia pernah berkata: “Aku berhaji di rumahku. Di sana kutemukan Ka’bahku.” Ka’bah yang dimaksud oleh Al-Hallaj adalah hatinya, sebagai makna simbolik dari rumah Allah. (Kitab Al-Ṭawāsin)
Untuk memahami hal ini, terdapat hadis qudsi yang juga memaknai frasa ‘rumah Allah’ dengan makna simbolik, yaitu hati manusia. Disebutkan: “Langit dan bumi tidak akan meliputi Tuhan, tetapi cukup untuk Tuhan, hati hamba yang beriman.” Atau dalam hadis yang lain: “Rumahku di dunia adalah hatimu, sudahkah kamu bersihkan rumahku dari setan-setan yang kini menguasainya?”
Dengan demikian, rumah Allah (baitullah) dapat dimaknai secara lahiriah dan batiniah. Sehingga, Ka’bah lahiriah memang berada di dalam Masjidil Haram kota Makkah, namun Ka’bah-Ka’bah batiniah bertebaran pada setiap hati manusia. Namun, apakah kemudian pelaksanaan haji itu bisa sah dengan pemahaman makna batiniyah yang seperti itu? Pertanyaan ini akan dijawab oleh para ulama fiqih dalam kajian tata cara manasik haji.
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Syarat Wajib Haji dan Beberapa Ketentuannya
Berhaji sebagai perjalanan fisik-spiritual
Lanjutan dari ayat di atas, yaitu:
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Di dalam rumah itu terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqâm Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu), maka ia akan menjadi aman; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Najmuddin Al-Kubro, mufasir sufi asal Persia, menjelaskan bahwa ayat ini memuat tujuan Haji. Menurutnya, Allah menjadikan Ka’bah dan haji hanya untuk-Nya. Adapun, rukun-rukun haji dan manasik seluruhnya adalah sebuah isyarat tersembunyi, yaitu isyarat bagi manusia untuk melakukan perjalanan fisik-spiritual (al-sair wa al-sulūk) menuju Allah swt. beserta adab-adabnya. (Al-Takwilāt Al-Najmiyyah fī Al-Tafsīr Al-Ishārī Al-Ṣūfī, hal. 57)
Selain itu, ia juga menjelaskan rahasia rukun-rukun haji. Baginya, Ihram bertujuan melepaskan diri dari jeratan dunia dan menyucikan manusia dari akhlak yang tercela. Wukuf di Arafah, sebagai pengakuan kelemahan hamba kepada Tuhannya dan berjanji menjadi hamba yang paling hamba. Adapun tawaf 7 putaran, merupakan upaya untuk mencapai tujuh tingkatan spiritual.
Dengan demikian, berhaji merupakan perjalanan fisik-spiritual menuju Allah swt. Seorang yang ingin berhaji, harus mempersiapkan diri secara fisik dan batin. Para sufi lebih menekankan pada kesiapan secara batin. Karena dengan begitu, rahasia dan tujuan haji akan memberi pengaruh yang besar terhadap seseorang yang ingin berhaji.
Boleh jadi, haji tahun ini ditunda karena belum ada kesempatan. Namun, persiapan haji secara batin harus selalu dipersiapkan, yaitu dengan membersihkan hati kita sebagai Ka’bah batiniah. Dengan hati yang bersih, perjalanan fisik-spiritual menuju Allah akan lebih sempurna. Selain itu, kesucian hati adalah kunci ibadah yang utama dan tak ternilai.
Dengan demikian, tafsir haji secara sufistik bisa menjadi alternatif jawaban bagi para calon jamaah haji yang sempat marah dan kecewa. Tidak mudah untuk menerima kenyataan pahit, namun keadaan ini memberi mereka waktu untuk lebih mempersiapkan diri dengan terus menyucikan hati, agar kelak ibadah haji yang dilakukannya terlaksana dengan penuh kesiapan, terlebih lagi dapat diterima dan menjadi haji yang mabrur. Wallahu a’lam bi shawab.