Sepekan yang lalu penulis sempat membaca artikel dalam rubrik tafsir tematik, tepatnya dua artikel yang berisi penjelasan ragam hati dengan semua macam-macamnya yang tersebar di dalam mushaf al-Quran. Artikel itu bertajuk, 20 Macam Jenis Hati yang Disebutkan dalam Al-Quran dan Karakteristiknya (Bag. 1). Disana disebutkan sekitar 20 kategori hati berikut ayat yang melandasinya.
Sepertinya ada yang menarik dikupas lebih mendalam dua kategori dari kategori-kategori di atas. Pada urutan ke empat dari dua puluh kategori hati, penulis artikel mengambil ayat 60 surat al-Mu’minun sebagai representasi bagi kategori qalbun wajil. Sementara pada urutan ke ketujuh disebutkan qalbun muthmainnah yang diwakili oleh Q.S. Ar-Ra’du (13) 28.
Sekilas mungkin tidak ada masalah dengan kedua kategori hati diatas, kalau kategori qalbun wajil dipahami dari ayat 60 surah al-Mu’minun. Di tempat lain qalbun wajil juga disinggung oleh al-Quran, yang dianggap menarik perhatian karena diduga kontradiksi dengan qalbun muthmainnah, ayat yang dimaksud adalah Q.S. al-Anfal (8) 2.
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.”
Sementara qalbun muthmainnah ditunjukkan oleh Q.S. Ar-Ra’du (13) 28.
الَّذِينَ امَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ,
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dan tenang dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Baca Juga: Tafsir Surah Yunus Ayat 12: Bersabar Saat Bahaya dan Bersyukur Kala Bahagia
Perhatikan kedua ayat diatas, sama-sama mensifati hati orang-orang mukmin, dengan kondisi yang akan dialaminya saat mengingat Allah Swt. Ayat pertama mengatakan wajilat yang bermakna gemetar atau berguncang karena ketakutan. Sementara pada ayat kedua, al-Quran mensifatinya dengan muthmainnah yang berarti tentram dan tenang.
Pertanyaannya kemudian, bukankah gemetar lawan dari tenang? Bagaimana mungkin al-Quran menggambarkan hati mukmin dengan dua hal yang bertentangan?. Mungkinkah dua keadaan itu sama-sama dialami?
Fakhruddin ar-Rozi telah menduga jauh-jauh hari, pertanyaan ini akan muncul atau bahkan sudah ada, karenanya saat menafsirkan Q.S. Ar-Ra’du Ayat 28, beliau menyinggung pertanyaan di atas sekaligus memberikan jawabannya.
Namun sebelum masuk pada jawaban itu, pengertian kontrdiksi mesti diketengahkan terlebih dahulu. Kontradiksi menurut ilmu mantiq adalah suatu pertentangan antara dua proposisi yang meniscayakan salah satunya benar dan yang lain salah, alias keduanya tidak mungkin sama-sama benar begitu pun tidak mungkin sama-sama salah.
Dalam ilmu mantiq kontradiksi dibahas menyangkut hubungan antarproposisi, dan biasanya pokus pada syarat-syarat yang mesti dipenuhi agar dua proposisi dapat dinyatakan bertentangan. Mantiq menyebut delapan hal yang harus sama-sama ada pada proposisi agar dapat dikatakan kontradiktif. Mulai dari subjek, predikat, waktu, tempat, kondisi, relasi, seluruh-sebagiannya, dan potensi-aktualitasnya. Bila satu saja tidak sama maka suatu proposisi tidak dapat dikatakan berkontradiksi dengan proposisi yang lain.
Menurut ar-Rozi dua ayat di atas sama sekali tidak kontradiktif. Karena ada kreteria atau syarat-syarat kontradiksi tidak terpenuhi. Yaitu kondisi dan objek kedua ayat itu. Sehingga tidak tepat anggapan adanya pertentangan. Ar-Rozi kemudian mengatakan bahwa ayat pertama menyinggung hati mukmin yang selalu diliputi rasa takut, sehingga bila nama Allah disebutkan hatinya akan gemetar dan berguncang karena ketakutan. Sementara ayat kedua menyinggung hati mukmin yang diliputi rasa gembira dengan janji-janji pahala, sehingga tatkala yang bersangkutan mengingat Allah hatinya merasa tenang dan bahagia.
Atau kemungkinan kedua, bahwa objeknya berbeda. Objek yang diinggat pada ayat pertama adalah siksaan Allah, sementara ayat kedua pahala-pahala-Nya. Sehingga tidak ada pertentangan kalau demikian.
Kemungkinan terakhir, jika penekanan objek sebelumnya pada hal yang diinggat, kemungkinan ini tertuju pada orangnya. Sehingga ayat pertama menghendaki mukmin tertentu dan ayat kedua mukmin yang tertentu pula.
Dengan lebih jauh, beliau mencoba menyeret masalah ini ke dalam kajian sufistik yang banyak mengungkap rahasia-rahasia hati manusia. Secara umum “sesuatu” itu dibagi menjadi maujud (yang ada) dan ma’dum (yang tidak ada). Perkara maujud terdiri dari tiga macam; pertama, apa yang mereka istilahkan Muatsir La Yataatsar (sesuatu yang mempengaruhi tapi tidak dapat terpengaruh) kedua, Mutaatsir La Yuatsir (yang bisa terpengaruh tapi tidak mempengaruhi) dan ketiga, Yuatsir Pi Syaiin Wa Yataatsar ‘An Syaiin (yang mempengaruhi pada sesuatu dan dapat terpengaruhi oleh sesuatu lain). Ketiganya adalah; pertama Allah, karena Dia bisa mempengaruhi sesuatu tapi tidak dapat terpengaruh oleh apapun. Yang kedua adalah jism (alam materi/ jasmani). Sementara kategori ketiga adalah ruhaniyah (alam rohani/ hati).
Ruhaniyah atau hati adalah kategori maujud yang satu sisi dapat mempengaruhi disisi lain juga dapat terpengaruh oleh sesuatu lain. Karena itu tatkala hati atau ruhani condong kepada alam materi/dunia maka dia akan mempengaruhi alam materi yang diwakili oleh jasmani untuk melakukan keinginan-keinginan buruknya, sehingga ketika nama Allah disebutkan dalam kondisinya seperti itu, maka hatinya akan menggegar dan bergejolak kencang.
Baca Juga: Apa Maksud Qalbun Salim (Hati yang Sehat) dalam As-Syu’ara: 88-89?
Tetapi bila mana hati atau ruhani itu cendrung kepada hadrah Ilahiyah (dimensi ketuhanan) dia akan mengalami ketenangan karena limpahan nikmat dari sumber aslinya. Sehingga mengingat Allah seakan menjadi asupan sehari-harinya yang membuat dia tenang dan bahagia. Dengan begitu pemaknaan qalbun wajil dan qalbun muthmainnah dalam dua ayat di atas memiliki konteks masing-masing yang membuat keduanya berbeda satu dengan yang lain.
Walhasil untuk menyimpulkan suatu proposisi itu kontradiktif harus mengacu pada kreteria yang telah ditetapkan oleh ilmu mantiq, agar tidak salah paham dan menyesatkan. Wallahu a’lam.