BerandaTafsir TematikTafsir Surah Al-Baqarah Ayat 3-4: Lima Karakter Orang Bertakwa

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 3-4: Lima Karakter Orang Bertakwa

Ketakwaan adalah keadaan yang diharapkan oleh setiap kaum beriman. Mereka yang beriman meyakini bahwa takwa adalah satu-satunya standar kemuliaan di sisi Allah. Keyakinan seperti ini membawa mereka pada upaya untuk terus meningkatkan kualitas takwa mereka.

Untuk meraih ketakwaan, dibutuhkan usaha yang maksimal dan konsisten. Mengingat predikat takwa tidak mungkin diraih tanpa keimanan dan amal yang saleh. Untuk mengetahui karakter orang yang bertakwa, perlu kiranya kita merujuk ayat-ayat Al-Qur’an.

Satu dari rangkaian ayat yang membahas karakter orang bertakwa adalah ayat 3-4 dari surah Al-Baqarah. Rentetan ayat ini menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang bertakwa. Kemudian, dilanjutkan dengan menguraikan lima karakter orang bertakwa. Berikut akan diulas secara ringkas lima tipologi tersebut.

Beriman Kepada yang Gaib

Tipologi pertama dari orang bertakwa adalah beriman kepada yang gaib. Gaib adalah segala sesuatu yang tidak bisa dilihat, diraba, dan diketahui hakikatnya. Jika demikian, sesuatu yang diimani adalah yang abstrak dan tidak terjangkau oleh panca indera. Puncaknya, keyakinan ini tertuju kepada wujud dan keesaan Allah. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah).

Sayyid Quthub lebih lanjut menerangkan, bahwa meyakini yang gaib bertujuan untuk meningkatkan diri manusia untuk tidak menganggap wujud hanya segala yang bisa diindra saja sebagaimana hewan melihat, akan tetapi lebih luas. Selain itu, meyakini yang gaib berdampak pada cara pandang dan cara bersikap seorang mukmin. (Sayyid Quthub, Fi Dzilal al-Qur’an).

Keyakinan kepada yang gaib adalah tipologi pertama dari orang bertakwa. Artinya, tipologi ini menjadi titik pemisah antara orang yang bertakwa dan yang tidak bertakwa. Berikut redaksi ayatnya:

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ

Artinya: “mereka yang beriman kepada yang gaib.”

Baca juga: Kriteria Orang Bertakwa dalam Al-Quran Surat Yunus Ayat 133-135

Senantiasa Melaksanakan Salat

Setelah mengimani yang gaib, tipologi berikutnya adalah menegakkan salat. Sebagai konsekuensi dari mengimani Yang Maha Gaib, maka salat menjadi niscaya. Salat sebagai bentuk penghambaan, ketundukan dan rasa syukur sebagai hamba yang bertakwa.

Dalam Tafsir al-Jalalain, yuqimun al-shalah ditafsirkan sebagai melaksanakan salat berdasarkan hak-haknya. Yakni, melakukannya dengan penuh khusyuk, sesuai syariat, rukun dan sunnahnya. (Tafsir al-Jalalain).

Tipologi kedua ini merupakan wujud dari keimanan kepada Allah. Dengan melakukan salat, seorang yang bertakwa menjalin hubungan dengan Allah. Hal ini dikenal dengan hubungan baik dengan Allah (hablun minallah).

Ayat ini berbunyi:

وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ

Artinya: “yang melaksanakan salat.”

Menginfakkan Sebagian Rezeki

Setelah beriman kepada yang Gaib dan melaksanakan salat, tipologi selanjutnya adalah dengan berbuat baik kepada sesama manusia (hablun minannas). Yaitu dengan menginfakkan sebagian rezeki yang telah Allah karuniakan. Allah berfirman:

وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Artinya: “dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.

Yang menarik di ayat ini adalah kata infak tidak dikaitkan secara langsung dengan harta. Hal ini bermakna bahwa infak bisa juga dilakukan selain dengan harta. Artinya, orang beriman dapat berinfak dengan ilmu, tenaga, waktu, jasa, pengabdian dan semisalnya.

Namun, ada catatan yang perlu diperhatikan. Bahwa orang beriman saat berinfak harus meyakini bahwa segala yang diinfakkan berasal dari Allah. Mereka hanya perantara agar tersampaikannya karunia-Nya. Sebagaimana pesan dari frasa “mimma razaqna”.

Baca juga: 3 Konsep Takwa dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 133-134

Beriman Kepada Al-Qur’an dan Kitab Terdahulu

Tipologi yang keempat adalah keimanan kepada kitab-kitab para nabi, baik itu kitab Al-Qur’an maupun kitab-kitab samawi yang telah lalu. Kitab samawi terdahulu misalnya Taurat, Injil, dan Zabur.

Keyakinan terhadap kitab-kitab ini meniscayakan adanya kesatuan misi di antara para nabi dengan Nabi Muhammad. Bahwa Al-Qur’an dan kitab terdahulu memiliki misi satu, yaitu mengenalkan ajaran tauhid. Walaupun dengan syariat yang beragam, bergantung pada zamannya masing-masing. Firman Allah:

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ

Artinya: “dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu.”

Meyakini Hari Akhir

Setelah berhasil meraih keempat tipologi tersebut, tipologi terakhir bagi mereka yang bertakwa adalah meyakini hari akhir. Berikut redaksi ayatnya:

وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ

Artinya: “serta tentang (kehidupan) akhirat mereka yakin.

Frasa “kehidupan akhirat” didahulukan sebelum menyebut “mereka yakin”. Menurut Quraish Shihab, hal ini mengisyaratkan betapa kukuh dan besarnya perhatian mereka terhadap Hari Akhir. Bahkan, keyakinan ini turut mewarnai sikap dan perilakunya, dan tidak terbatas pada “sekarang” dan “hari ini” saja.

Yang menjadi catatan penting dari kelima tipologi ini adalah penggunaan kata kerjanya. Apabila kita perhatikan, maka bentuk kata kerja yang digunakan adalah fiil mudhari’ (present tense). Bentuk kata ini memiliki makna masa kini dan masa depan. Selain itu juga mengandung makna berkesinambungan dan dan terus mengalami pembaharuan (istimrar wa tajdid).

Dengan demikian, ketakwaan hanya bisa diraih oleh mereka yang mengamalkan lima tipologi tersebut dengan berkesinambungan dan sungguh-sungguh. Yakni mereka yang senantiasa beriman kepada yang gaib, senantiasa melaksanakan salat dengan penuh khusyuk dan senantiasa menginfakkan rezekinya dengan optimal. Serta, mereka yang senantiasa meyakini kitab-kitab para nabi dan Hari Akhir.

Semoga, lima tipologi ini dapat menjadi pengingat dan penguat kita untuk dapat bergabung dengan mereka yang bertakwa. Mengingat takwa adalah simbol kemuliaan, maka upaya ini adalah upaya yang harus terus dievaluasi dan ditingkatkan. Agar kita semua menjadi hamba yang mulia di sisi Allah. Wallahu’alam bishshawab.

Baca juga: Memahami Qalbun Munib sebagai Karakter Orang yang Bertakwa

Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Mahasiswa pascasarjana IAT UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bisa disapa di @azzaranggi atau twitter @ar_zaranggi
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...