Pahlawan adalah orang yang berjiwa besar dan sangat berjasa pada bangsa dan negara serta masyarakatnya. Kontribusi dan peran besar mereka layak dianggap sebagai jasa yang tak terbayarkan hingga saat ini. Semangat juang dan pantang menyerah merupakan ciri-ciri yang tak bisa dihilangkan dari mereka.
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang berlaku sepanjang zaman telah mengabarkan kepada manusia tentang karakteristik kepahlawanan sejati yang dapat kita teladani dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini telah Allah Swt. sebutkan dalam firman-Nya Al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 9:
وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا۟ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ ۦفَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum mereka, mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”
Penjelasan ayat
Ayat di atas turun berkaitan dengan cerita yang bersumber dari Ibnu Umar; bahwa ada seorang sahabat Rasulullah dihadiahi kepala kambing, lalu ia berkata: “Sungguh saudaraku si Fulan dan keluarganya lebih membutuhkan ini ketimbang kami”. Lalu ia memberikan kepala kambing itu ke saudaranya. Tapi justru yang diberi malah memberikan lagi ke orang lain. begitu seterusnya sampai tujuh keluarga lain, lalu kembali lagi ke orang yang pertama memberikan. Maka turunlah ayat ini (ungkapan “wa yu’siruna a’la anfusihim” sampai akhir ayat) sebagai bentuk pujian Allah kepada mereka. (Lubab an-Nuqul, hal. 232-233).
Menurut Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir, bahwa ayat ini bercerita tentang kaum Ansar. Mereka adalah kaum yang telah menetap di dar al-hijrah (Madinah) dan telah mantap keimanan di hati mereka kepada Allah dan Rasul-Nya sebelum hijrahnya kaum Muhajirin. (Tafsir al-Munir, juz 14, hal. 458).
Baca juga: Kisah Thalut Dalam Al-Quran: Representasi Sosok Pahlawan Bangsa
Cinta tanah air, cinta kepada sesama
Dalam ayat ini tercantum tiga sifat kepahlawanan kaum Ansar yang dapat kita ambil. Di antaranya yang pertama adalah patriotisme (cinta tanah air). Sifat patriotisme bukan hanya cinta kepada bangsa dan negara, tetapi juga termasuk mendarmabaktikan diri untuk kepentingan sosial demi menggapai rida Allah dan Rasul-Nya.
Rasa patriotisme yang didasari dengan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya telah mendorong kaum Ansar untuk mencintai segala sesuatu yang berkaitan dengan keduanya tanpa pandang bulu. Menjadikan mereka sebagai orang yang berani, percaya diri dan suka menolong kepada siapa yang membutuhkan. Inilah yang mereka lakukan kepada kaum Muhajirin, saudara seiman mereka yang terusir dari kampung halamannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأِخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna keimanan seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”.
Mereka ingin membuktikan keimanan dengan cara mencintai orang-orang Muhajirin sebagai saudara mereka. Mereka berusaha agar orang-orang Muhajirin memperoleh kebaikan sebagaimana mereka menginginkan kebaikan atas dirinya. Kecintaan yang membuat mereka tak sama sekali menaruh rasa iri dan dengki kepada apa yang telah Allah berikan kepada kaum Muhajirin.
Berkorban dan mendahulukan kebaikan bagi orang lain
Sifat kepahlawanan kedua yang dapat kita teladani dari kaum Ansar adalah rela berkorban (isar). Menurut Wahbah Zuhaili, bahwa rela berkorban (isar) yang dimaksud adalah mendahulukan maslahat orang lain atas dirinya sendiri di dalam urusan dunia bukan akhirat. (Tafsir al-Munir, juz 14, hal. 458).
Dalam sikap rela berkorban terkandung sikap tidak mementingkan diri sendiri (egois). Kaum Ansar rela mengorbankan rumah dan hartanya untuk kaum Muhajirin, padahal mereka sendiri membutuhkannya. Kepentingan bersama lebih mereka prioritaskan dibandingkan dengan kepentingan pribadi, bahkan dikisahkan ada seorang Ansar yang mempunyai dua orang istri, kemudian diceraikannya agar dapat dinikahi oleh saudaranya dari kaum Muhajirin.
Ar-Razi dalam tafsirnya menyebutkan berbagai pengorbanan lain yang dilakukan kaum Ansar di antaranya kerelaan diri mereka dan keluarganya untuk menahan lapar demi membuat tamunya dari orang Muhajirin merasa kenyang, menyediakan sebagian rumah untuk mereka, dan tidak berkeinginan memperoleh harta fa’i (harta rampasan perang yang diperoleh tanpa pertempuran). (Mafatih al-Ghaib, juz 29, hal. 288).
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berkata kepada orang-orang Ansar, “Sesungguhnya saudara-saudara kami (Muhajirin) telah meninggalkan harta dan anak-anak mereka serta telah hijrah ke negerimu”. Mereka berkata, “Harta kami telah terbagi-bagi di antara kami.” Rasulullah berkata, “Adakah yang lain dari itu?” Mereka menjawab, “Apa ya Rasulullah?” beliau berkata, “Mereka adalah orang yang tidak bekerja, maka berikanlah kurma kepada mereka.” Mereka menjawab, “Baik ya Rasululllah.”
Itulah bentuk pengorbanan kaum Ansar yang dilandasi atas dasar keikhlasan yang membuat mereka melakukannya tanpa pamrih.
Baca juga: Kisah Kedermawanan Dua Sahabat Nabi Saw yang Diabadikan Al-Qur’an
Jauh dari sifat kikir
Sifat ketiga yang dapat kita teladani adalah menjaga diri dari sifat bakhil dan kikir (syuh). Tidak mungkin keimanan muncul bersamaan dengan sifat tamak terhadap harta dan benci untuk berinfaq. Keimanan hanya akan muncul bersamaan dengan sifat dermawan dan senang berbagi.
Ketiga sifat yang dipraktekkan kaum Ansar ini membuat mereka dipuji oleh Allah dan menjadikan mereka termasuk dari golongan orang-orang yang beruntung (al–muflihun) dan akan memperoleh apa yang mereka inginkan berupa pahala dan ridha Allah dan Rasul-Nya. (Tafsir al-Munir, juz 14, hal. 465).
Penutup
Dari ayat di atas, dapat kita ketahui bahwa pahlawan ialah mereka yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta berusaha mengabdikan dirinya untuk menggapai rida keduanya. Usaha itu diwujudkan dengan sikap rela berkorban tanpa pamrih memenuhi kebutuhan orang lain dan masyarakat sekitar, meskipun diri sendiri dalam keadaan sempit dan membutuhkan. Wallahu a’lam bissawab.
Baca juga: Implementasi Mental Heroik dalam Al-Quran; Refleksi Peringatan Hari Pahlawan