Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (3): Surah Ibrahim Ayat 5

dalil maulid Nai dalam Al-Quran (3)_surah Ibrahim ayat 5
dalil maulid Nai dalam Al-Quran (3)_surah Ibrahim ayat 5

Melanjutkan artikel yang lalu, kali ini dalil maulid Nabi yang ketiga, Dr. Alwi bin Ahmad Al-Idrus menukil surah Ibrahim [14]: 5 berikut,

وَذَكِّرْهُمْ بِاَيّٰىمِ اللّٰهِ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ……

“..dan ingatkanlah mereka tentang hari-hari Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat penyabar lagi banyak bersyukur.”

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (1): Surah Yunus Ayat 58

Apa maksud ‘hari-hari Allah’?

Maksud dari hari-hari Allah adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada manusia, baik berupa nikmat maupun siksaan yang mereka alami. Sayyid Quthb dalam Fi Zhilal al-Quran menuturkan, “semua hari adalah hari Allah. Tetapi maksud dari ayat tersebut adalah hari-hari terjadinya peristiwa bagi manusia atau sekelompok golongan, berupa nikmat atau siksaan seperti kisah peringatan Musa kepada kaumnya yang akan diceritakan kemudian. Hari-hari tersebut kemudian disebut dengan ayyam (hari-hari) mereka, seperti halnya hari-hari bagi kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan kaum-kaum setelahnya. Inilah yang maksud hari-hari (Allah).”

Ayat tersebut, meski diturunkan untuk menyinggung Bani Israil, tetapi hukumnya adalah umum, sebagaimana kaidah usul katakan, al-‘ibratu bi ‘umum al-lafzhi la bi khusus al-sabab; makna ayat dipahami dari lafalnya yang umum, bukan sebabnya yang khusus. Karena tujuan turunnya ayat tersebut tak lain adalah sebagai peringatan dan pelajaran untuk manusia seluruhnya.

Jika peristiwa-peristiwa penting yang dialami kaum terdahulu diperintahkan untuk mengingatnya, tidakkah peristiwa lahirnya Nabi Muhammad Saw dan kisah hidup beliau lebih penting dan lebih perlu untuk diingat? Pun kita sudah mafhum, bahwa nikmat Allah terbesar bagi hambaNya adalah adanya Nabi Muhammad, sosok yang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju kegemilangan.

Tak sedikit sarjana Eropa yang mengakui Nabi Muhammad sebagai sosok luar biasa. Sebagai contoh, sebutlah Tolstoy. Ia mengakui Nabi Muhammad sebagai seseorang yang berhasil melepaskan suatu umat yang hina dari belenggu-belenggu tradisi yang buruk. Yang telah membuka jalan bagi umatnya untuk meningkatkan mutu dan menjadi umat yang berkemajuan. Tolstoy juga mengatakan bahwa ajaran (syariat) yang dibawa Muhammad kelak akan memimpin dunia karena kesesuaiannya dengan akal dan etika (Abdullah Salih al-Jumah, Udzama’ bila Madaris).

Senada dengan Tolstoy, Tarif Khalidi dalam Images of Muhamad (2021) mengutip Jad al-Maula, “masa sebelum kedatangan Muhammad ditandai oleh fakta bahwa seluruh dunia saat itu tertutupi oleh awan tebal praktik politeisme, kebodohan, keburukan, dan ketidakadilan, di mana kejahatan menindas moralitas dan orang-orang jahat menduduki kekuasaan di seluruh bangsa. Oleh karena itu, kemunculan Muhammad menjadi keharusan mutlak, yang pada gilirannya melakukan reformasi masyarakat secara besar-besaran yang pernah dilakukan oleh manusia, sebelum atau setelah kedatangannya.”

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (2): Surah Hud Ayat 120

Nabi Muhammad saw. itu nikmat teragung

Pada artikel yang lalu, telah disebutkan bahwa rahmat serta nikmat paling agung yang diberikan Allah kepada hambaNya adalah kedatangan Nabi Muhammad Saw. Dalam kitabnya, al-Risalah, Imam Syafii menuturkan bahwa ketercerahan umat hingga sekarang ini adalah sebab adanya Nabi Muhammad Saw.

“Semoga Allah membalas Nabi Muhammad dengan sebaik-baik balasan pengutus kepada yang diutus. Nabi Muhammad Saw, beliau lah yang menyelamatkan kita dari kehancuran, yang menjadikan kita sebagai umat terbaik sepanjang sejarah manusia, yaitu mereka yang memeluk agama yang diridai (Islam). Tiada nikmat yang kita rasa, baik nikmat lahir dan batin, yang dengan nikmat tersebut kita dapat keberuntungan di dalam agama dan dunia ataupun terhindarkan dari hal-hal yang dibenci, kecuali semua itu berkat Nabi Muhammad Saw.”

Dengan demikian, sudah barang tentu umat Muslim mesti bersyukur atas nikmat teragung itu. Keharusan bersyukur ini ditunjukkan oleh akhir ayat di atas,

اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat penyabar lagi banyak bersyukur.”

Jika hari-hari Allah tersebut, sebagaimana telah di jelaskan di depan, berupa siksaan atau bencana, maka kita harus menyikapinya dengan sabar. Dan jika hari-hari Allah berupa nikmat dan anugerah, maka bersyukur adalah sikap yang paling tepat.

Ibn ‘Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir menuturkan, “…keberadaan ayat yang berbeda-beda, sebagian ayat nasehat dan larangan, sebagian lagi ayat nikmat dan siksaan yang berkaitan seperti لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ  (bagi setiap yang sangat sabar dan bersyukur). Kata sabar pada potongan ayat tersebut memiliki kesesuaian dengan larangan. Sebab lazimnya peringatan itu membuat nafsu untuk melakukan kebalikannya (kebalikan larangan berarti perintah), takut kalau-kalau akibat yang buruk menimpanya jika ia melakukan sesuatu yang dilarang. Sementara pemberian nikmat, itu membuat nafsu untuk bersyukur. Dengan demikian, penyebutan dua sifat beriringan tersebut mengantarkan pada pemahaman bahwa ayyamullah (hari-hari Allah) ada yang berupa nikmat dan yang berupa siksa.

Menukil Syaikh Abd al-Fattah Ali Syihab dalam al-I’lam bi Fatawa Aimmah al-Islam haula Maulidih ‘alahis shalah was salam, beliau menuturkan, “kami, umat Muslim, memeringati hari lahir (maulid) kekasih kita, Nabi Muhammad Saw mengikuti ulama salafus salih kami, dengan harapan memperoleh syafa’at beliau Saw untuk kami. Kami juga memeringati malam Lailatulqadr sebagai sarana dakwah selain juga memegang teguh al-Quran yang diturunkan pada malam tersebut. Seperti halnya kami memeringati hijrah beliau Saw, sebagai pengingat kepatuhan mutlak dan pengorbanan tinggi yang dilakukan oleh beliau Saw. Seperti halnya juga kami memeringati momen-momen penting dari peperangan dan kemenangan beliau Saw beserta para sahabat dalam menegakkan panji Islam.”

Bukankah semua yang telah disebutkan merupakan ayyamullah (hari-hari Allah) yang mesti umat Muslim ingat, supaya apa yang ditinggalkan Allah baik berupa pemberian maupun bencana menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kaum muslimin, sehingga mereka dapat menyongsong masa depan berbekal pelajaran yang diberikan Allah melalui hari-hari penting tersebut.

Baca Juga: Meneladani Akhlak Nabi Muhammad saw di Akhir Bulan Maulid

Menutup artikel kali ini, mari renungkan kembali makna surah Ibrahim [15] ayat 5 secara lengkap sebagai dalil maulid Nabi dengan menghadirkan Kanjeng Nabi di dalamnya,

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا مُوْسٰى بِاٰيٰتِنَآ اَنْ اَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ ەۙ وَذَكِّرْهُمْ بِاَيّٰىمِ اللّٰهِ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ

“Sungguh Kami benar-benar telah mengutus Musa dengan (membawa) tanda-tanda (kekuasaan) Kami (dan Kami perintahkan kepadanya), “Keluarkanlah kaummu dari berbagai kegelapan kepada cahaya (terang-benderang) dan ingatkanlah mereka tentang hari-hari Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat penyabar lagi banyak bersyukur.”

Shallu ‘ala An-Nabi Muhammad!