Dalam konteks ke-Indonesiaan sebenarnya ulama-ulama perempuan bahkan tokoh penggerak emansipasi perempuan, sebut aja R.A Kartini juga memiliki perhatian khusus terhadap keilmuan agama Islam. Berangkat dari gerakan dan perhatiannya R.A Kartini itulah, ulama fenomenal kita yakni kyai Soleh Darat melahirkan karya kitab tafsir yaitu Faid ar-Rahman.
Mengutip tulisan Islah Gusmian yang berjudul, Tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa, Peneguhan Identitas, Ideologi, dan Politik, menegaskan bahwa Faiḍ ar-Raḥmān karya Kiai Saleh Darat merupakan salah satu tonggak penting ketika Islam diperkenalkan langsung melalui pemahaman kitab sucinya kepada masyarakat Jawa. Sehingga penulisan kitab tersebut juga menggunakan bahasa Jawa, yang secara umum didedikasikan akhir abad ke-19 sebagai pengajaran tentang pengetahuan Islam.
Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 7 dan Kisah Ali Baba dan Qasim
Surat Ungkapan Kekecawaan R.A Kartini
Dan menariknya, karya tafsir ini, dalam sejarah juga dikenal sebagai salah satu penggerak dari usaha Kartini dalam membangun gerakan emansipasi perempuan. Pada saat itu, Kartini pernah mengungkapkan bentuk kekecewaannya terhadap sebuah surat yang ia kirim kepada sahabat penanya di Belanda, yang bernama Estella Zeehandelar.
Dalam suratnya yang dia tulis pada tanggal 6 November 1899, dengan bahasa yang tegas ia mengkritik pengajaran Al-Qur’an di Jawa, hanya sebatas pada cara membacanya. Kartini menganggap itu merupakan hal aneh, karena orang yang diajarkan Al-Qur’an tidak mengerti apa yang dibacanya.
Berikut potongan surat Kartini yang diberikan kepada Stella,
“Bagaimana aku dapat mencintai agamaku kalau aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya. Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada yang mengerti bahasa Arab. Orang-orang di sini belajar membaca Al-Qur’an tapi tidak mengerti yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak mengerti apa yang dibacanya.” (Kartini, Surat-Surat Kartini, Renungan tentang dan untuk Bangsanya, terj. Sulastin Sutrisno1979)
Memang dalam tulisan Islam Gusmian menuliskan, pada saat itu kalangan umat Islam memiliki keyakinan, bahwa menerjemahkan dan menafsirkan Al-Qur’an dalam bahasa selain bahasa Arab hukumnya Haram. Sehingga memang jarang sekali tokoh ulama melakukan penerjemahan Al-Qur’an selain bahasa Arab. Sayyid ‘Uṡmān, seorang ulama yang bekerja sebagai penasihat urusan Arab pernah menulis pada buku yang berjudul Ḥukm ar-Raḥmān bi an-Nahy ‘an Tarjamah al-Qur’ān, berisi larangan menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa selain Arab.
Baca juga: Arti Lafaz Insya Allah dan Pemaknaannya dalam Al-Quran
Kemudian singkat sejarah, pada penelitian Zainal Abidin, yang berjudul Kesetaraan Gender dan Emansipasi Perempuan dalam Pendidikan Islam, di situ tercatat bahwa R.A Kartini pernah nyantri pada ulama terkenal di Jawa Tengah, yaitu Kyai Soleh Darat. Interaksi Kartini dengan Kyai Soleh Darat tertarik untuk menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Namun hal itu tidak pernah ditulis dalam sejarah biografi Kartini, karena sengaja digelapkan oleh Orientalis.
Dengan begitu lahirnya salah satu karya Kyai Sholeh Darat Faiḍ ar-Raḥmān yang merupakan salah satu tonggak penting ketika Islam diperkenalkan langsung melalui pemahaman kitab sucinya kepada masyarakat Jawa. Corak penafsiran yang kyai Soleh Darat kembangkan dalam karya tafsirnya tersebut di antaranya adalah tasawuf. Hal ini misalnya dapat ditemukan ketika ia menjelaskan kalimat rabb al-‘alamin dalam Surah al-Fatiḥah. Sehingga peran besar Kyai Soleh Darat telah membuka jalan bagi umat Islam di Jawa, khususnya yang tidak menguasai bahasa Arab, dalam memahami kandungan Al-Qur’an