BerandaUlumul QuranBukan Sekadar Tafsir, Berikut 3 Ciri Tafsir Ideal yang Dibutuhkan Umat

Bukan Sekadar Tafsir, Berikut 3 Ciri Tafsir Ideal yang Dibutuhkan Umat

Al-Qur`an  yang menjadi rujukan utama umat Islam tidak hanya sekadar kitab suci dibaca, namun juga harus dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu cara untuk bisa memahami dan menerapkan al-Qur`an dalam kehidupan adalah dengan membaca tafsirnya.

Sejak masa klasik hingga kontemporer saat ini, telah banyak kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para mufassir. Maka ada satu pertanyaan penting yang perlu kita renungi sekarang: “Tafsir seperti apa yang ideal untuk umat?”

Setidaknya ada tiga ciri tafsir ideal yang penulis pahami dari berbagai pandangan ulama, di mana ketiganya saling terkait dan berhubungan antara satu dan lainnya. Dua ciri pertama dilihat dari produk tafsir yang dihasilkan. Satu ciri terakhir dilihat dari sikap seorang mufassir terhadap kebenaran tafsirnya. Ketiga ciri tersebut ialah pertama, mampu merespons permasalahan umat. Kedua, mencegah kerusakan dan mewujudkan kemaslahatan. Ketiga, menafikan kebenaran mutlak suatu penafsiran. Berikut uraiannya:

Merespons Permasalahan Umat

Ciri pertama tafsir ideal ialah tafsir yang responsif terhadap permasalahan umat di setiap zamannya, termasuk juga permasalahan yang muncul di masa sekarang. Ini sebagaimana halnya al-Qur`an yang turun secara berangsur-angsur pada masa Nabi Muhammad saw. untuk menjawab persoalan-persoalan yang silih berganti yang terjadi pada umat ketika itu (Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur`ān).

Hal ini juga sudah seharusnya bisa diterapkan di masa sekarang. Al-Qur`an diharapkan mampu memberikan solusi untuk setiap permasalahan yang dihadapi umat. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika penafsiran al-Qur`an selalu mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan zaman.

Pada era klasik misalkan, bentuk tafsir yang akrab dikenal para ahli tafsir adalah tafsir bi al-ma`tsūr (tafsir dengan riwayat), yaitu penafsiran al-Qur`an yang dilakukan dengan cara merujuk kepada riwayat, baik riwayat itu yang disandarkan kepada perkatan Nabi saw., sahabat, maupun tabi’in, atau tafsir ayat al-Qur`an dengan ayat al-Qur`an lainnya.

Pada perkembangan berikutnya mulai muncul bentuk tafsir bi al-ra`y, yaitu tafsir yang tidak hanya menggunakan riwayat, tetapi juga menggunakan atau didominasi oleh ijtihad pribadi para mufassir dalam memahami isi kandungan al-Qur`an.

Kemudian muncul empat metode tafsir yang dikenal oleh para pengkaji tafsir dengan ragam coraknya, yaitu metode ijmali (global), metode tahlili (analitik), metode muqarin (perbandingan), dan metode maudhu’i (tematik). Adapun corak tafsir sangat beragam macamnya sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh para mufassir, seperti corak fikih, teologi, filsafat, tasawuf, dan lainnya.

Selanjutnya mulai muncul metode-metode tafsir yang lebih aktual, seperti metode tafsir maqashidi (tafsir berbasis maqashid al-syari’ah dan maqashid al-qur`an) dan metode hermeneutika dengan ragam teori, seperti teori double movement Fazlur Rahman, teori rethinking Muhammad Arkoun, teori tafsir pembebasan Farid Esack, dan lainnya.

Dengan melihat perkembangan metode dan teori dalam menafsirkan al-Qur`an, tidak menutup kemungkinan akan selalu muncul metode dan teori baru untuk menafsirkan al-Qur`an. Hal ini bertujuan guna merenspons dan menjawab persoalan zaman yang semakin kompleks. Maka salah satu ciri tafsir ideal adalah mampu merespon permasalahan umat di setiap zamannya.

Baca juga: Tafsir Maqashidi: Sebuah Pendekatan Tafsir yang Applicable untuk Semua Ayat

Mencegah Kerusakan dan Mewujudkan Kemaslahatan

Ciri kedua tafsir ideal adalah mampu mencegah kerusakan dan mewujudkan kemaslahatan, baik dalam ranah keimanan manusia kepada Tuhan, ranah hubungan sosial antar sesama, maupun ranah hubungan ekosistem antara manusia dengan lingkungan sekitar (Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi sebagai Basis Moderasi Islam).

Ciri tafsir ideal kedua ini memiliki keterkaitan yang erat dengan ciri pertama. Di mana, meskipun suatu tafsir mampu merespon permasalahan umat, namun apabila keluar atau melenceng dari ketiga ranah yang telah disebutkan, maka tafsir tersebut belum bisa dikatakan tafsir ideal.

Dalam ranah keimanan manusia kepada Tuhan, apabila tafsir yang dihasilkan menjadi penyebab rusaknya akidah dan tidak mewujudkan kemaslahatan dalam ranah keimanan kepada Tuhan, maka tafsir tersebut tidak bisa dikatakan tafsir ideal. Misalkan tafsir yang mengarah kepada paham pluralisme yang menganggap bahwa semua agama benar, atau mencampuradukkan antara keyakinan agama Islam dengan agama lain dalam hal akidah. Maka tafsir demikian bukan termasuk tafsir ideal.

Dalam ranah sosial hubungan antarsesama manusia, jika tafsir yang dihasilkan justru membuat kerusakan dan tidak mewujudkan kemaslahatan dalam interaksi sosial, maka tafsir tersebut juga tidak bisa dikatakan tafsir ideal. Misalkan tafsir yang mengarah kepada paham radikalisme, terorisme, peperangan, dan semisalnya. Tafsir yang demikian tersebut bukan termasuk tafsir ideal.

Demikian halnya dalam ranah hubungan manusia dengan lingkungan sekitar. Jika tafsir yang dihasilkan menyebabkan terjadinya kerusakan alam dan tidak mewujudkan kemaslahatan, maka tafsir tersebut juga bukan termasuk tafsir ideal. Misalkan tafsir yang mengarah kepada eksploitasi alam. Tafsir yang demikian bukan termasuk tafsir ideal.

Melihat beberapa contoh di atas, maka tafsir ideal ialah tafsir yang tidak hanya merespons permasalahan yang terjadi, tetapi juga mampu mencegah kerusakan dan mewujudkan kemaslahatan, baik dalam ranah keimanan yaitu hubungan manusia kepada Tuhan, ranah sosial yaitu hubungan manusia dengan sesama, maupun ranah ekosistem yaitu hubungan manusia dengan lingkungan.

Baca juga: Tugas Khalifah dan Krisis Ekologi: Tafsir Kiai Sahal Mahfudh [Bagian 1]

Menafikan Kebenaran Mutlak Suatu Penafsiran

Sebaik-baik mufassir ialah yang tidak mengakui kemutlakkan akan kebenaran tafsirnya. Karena yang mengetahui kebenaran hakiki dari makna yang terkandung di balik ayat-ayat al-Qur`an  hanya Allah Swt. semata. Tugas mufassir adalah berusaha memahami makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur`an  sesuai dengan porsi kemampuan akal pemikiran manusia yang sangat terbatas (Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān).

Boleh jadi pemahaman kita keliru dan pemahaman orang lain yang benar. Dengan menafikan kebenaran mutlak suatu penafsiran, akan tercipta rasa saling menghargai dan menghormati, sehingga akan tercipta keharmonisan antarsesama.

Adapun jika seseorang mengakui hanya pemahaman tafsirnya yang paling benar, maka keadaan seperti ini dapat menyebabkan munculnya fanatisme yang berlebihan terhadap satu pemahaman tafsir tertentu, dan serta-merta akan menyalahkan tafsir-tafsir lain yang tidak sejalan dengan tafsir yang ia yakini. Bahkan lebih berbahaya lagi, jika seseorang sampai pada level mencaci dan menghina dengan membabi-buta orang-orang yang tidak sepaham dengannya.

Melihat ketiga ciri tafsir ideal di atas, maka untuk mewujudkan tafsir ideal tidak cukup hanya melihat dari produk tafsir itu sendiri, melainkan juga bagaimana sikap seorang mufassir, termasuk juga umat Islam pada umumnya, dalam menyikapi ragam tafsir yang ada. Karena sudah tentu tafsir al-Qur`an  akan semakin beragam, dan semakin banyak metode maupun teori yang digunakan oleh para pengkaji tafsir dalam usaha untuk mengungkap dan memahami makna-makna yang sangat kaya yang terkandung di balik ayat-ayat al-Qur`an. Wallahu a’lam.

Baca juga: Mengurai Dua Peta Tipologi Pemikiran Tafsir Kontemporer

M. Rais Nasruddin
M. Rais Nasruddin
Mahasiswa Program Magister UIN Sunan Kalijaga, Prodi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...