BerandaUlumul QuranMengurai Dua Peta Tipologi Pemikiran Tafsir Kontemporer

Mengurai Dua Peta Tipologi Pemikiran Tafsir Kontemporer

Dalam perkembangan pemikiran tafsir kontemporer, terdapat berbagai macam jenis bentuk pemikiran yang kemudian disederhanakan dalam beberapa tipologi pemikiran. Ragam tipologi pemikiran tafsir kontemporer ini kemudian dijadikan sebagai acuan dalam menganalisis serta mengklasifikasi berbagai pemikiran tafsir berdasarkan data-data yang didapat.

Artikel ini akan menguraikan dua peta tipologi penafsiran kontemporer yang cukup komprehensif digunakan untuk menganalisis dan mengklasifikasi data terkait pemikiran tafsir kontemporer. Pertama, peta tipologi penafsiran yang dikemukakan oleh Abdullah Saeed. Kedua, peta tipologi penafsiran yang dikemukan oleh Sahiron Syamsuddin.

Abdullah Saeed dalam karyanya, Intepreting the Qur’an, membagi tipologi pemikiran tafsir kontemporer ke dalam tiga kelompok yakni 1) tekstualis; 2) semi tekstualis dan 3) kontekstualis (Saeed, 2006: 3).

Baca Juga: Mengulik Hermeneutika Al-Quran ala Hasan Hanafi (1): Beberapa Pemikiran

Menurutnya, penafsir yang tergolong dalam kelompok tekstualis adalah penafsir yang mengambil makna literal teks semata dan berasumsi bahwa makna literal teks sudah mewakili nilai universal al-Qur’an sehingga cukup dijadikan sebagai pedoman dari zaman ke zaman.

Kedua, penafsir semi tekstualis adalah penafsir yang sudah memperhatikan aspek kebahasaan namun tetap tidak memperhatikan aspek sosio-historis teks sehingga tetap masih menghasilkan makna yang kaku dan kurang relevan dengan zaman.

Terakhir, penafsir kontekstualis, merupakan penafsir yang mempertimbangkan secara detail aspek linguistik serta konteks sosio-historis dari sebuah teks baik konteks yang mengiringi lahirnya teks (konteks mikro) maupun konteks yang melingkupi zaman teks itu muncul (konteks makro). Aliran kontekstualis ini menekankan akan nilai-nilai universal yang terdapat dalam teks (al-tsawabit) yang dapat diambil dan selalu relevan dengan zaman.

Adapun peta tipologi yang ditawarkan oleh Sahiron Syamsuddin yang dikemukakannya dalam karyanya, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, terdiri atas tiga macam tipologi yakni 1) quasi-objektivis konservatif; 2) quasi  subjektivis; 3) quasi-objektivis progresif (Sahiron, 2009: 54).

Aliran quasi-subjektivis konservatif adalah yang berpandangan bahwa ajaran-ajaran al-Qur’an harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa kini sebagaimana dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada saat Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad Saw. dan generasi muslim awal.

Penafsir yang masuk dalam tipologi ini baru masuk dalam level makna zahir, artinya baru mendapati level makna terendah dalam memahami Al-Qur’an sehingga tidak mampu memberikan kontribusi secara teologis terkait masalah-masalah modern-kontemporer. Hal ini menurut al-Zarkasyi disebabkan oleh terlalu berpegangnya sang mufassir pada ilmu dzhahir (tekstual) sehingga menghasilkan level makna terendah (al-Zarkasyi, 1988: 181).

Kedua, aliran subjektivis merupakan aliran yang berpegang pada subjektivitas penafsir dan independensinya dalam menafsirkan teks. Dalam level yang ekstrim, tipologi ini bahkan tidak membuka kembali kodifikasi-kodifikasi penafsiran terdahulu maupun penafsiran hadis yang termuat dalam kitab-kitab hadis dan berfokus terhadap upaya untuk menafsirkan teks agar menghasilkan makna yang kontributif bagi perkembangan zaman.

Pemikiran pada tipologi ini biasanya sangat menekankan aspek linguistik sehingga fokus utamanya adalah mengkaji sisi-sisi kebahasaan teks yang mampu dikembangkan kembali pemaknaannya dan melakukan kajian interteks jadi membiarkan al-Qur’am menafsirkan dirinya sendiri.

Baca Juga: Muhammad Abduh: Mufasir Pelopor Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam

Terakhir, aliran quasi-objektivis progresif adalah aliran lebih dekat dengan aliran pertama, sebab tetap berusaha untuk menggali makna historis dari teks. Hanya saja, makna historis yang didapat hanya dijadikan sebagai pijakan awal untuk menggali maqashid/ ratio legis/ maghza/ significance yang berada di balik teks dan kemudian dikembangkan untuk menghasilkan produk penafsiran baru yang membawa nilai-nilai universal teks yang tidak memiliki batas kadaluarsa.

Manapun tipologi yang didapati dari pemikiran para mufassir, masing-masing tetap telah melakukan usaha keras demi menyingkap makna. Maka tugas peneliti bukanlah untuk menghakiminya secara hitam putih, namun mengeksplor masing-masing pemikiran secara objektif. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...