BerandaTafsir TematikNapak Tilas Kemerdekaan Islam Pada Peristiwa Fathu Makkah

Napak Tilas Kemerdekaan Islam Pada Peristiwa Fathu Makkah

Makna kemerdekaan Indonesia dapat kita resapi dengan napak tilas kemerdekaan Islam pada peristiwa Fathu Makkah. Fathu Makkah (pembebasan kota makkah) menjadi momentum kemerdekaan Umat Islam setelah berpuluh tahun dirongrong oleh Masyarakat Jahiliyyah. Namun, lebih dari itu kemerdekaan Islam ternyata memiliki makna yang senada dengan kemerdekaan Indonesia 75 tahun silam.

Maka patut kiranya, momentum kemerdekaan Indonesia ini kita napak tilasi kembali pada peristiwa Fathu Makkah. Petistiwa bebasnya umat Islam dari krisis moral-spiritual, kemanusiaan, dan agama. Hingga, peristiwa ini pun diabadikan dalam QS. Al-Maidah ayat 3, An-Nashr, dan beberapa surat lainnya.

Latar Terjadinya Fathu Makkah

Peristiwa itu berawal dari pengingkaran Perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan pihak Suku Quraisy dan sekutunya, Bani Bakr.

Menurut riwayat ‘Urwah bin Zubair, sebagaimana yang disitir oleh Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyyahnya, Suku Quraisy melakukan pengkhianatan dengan berencana untuk membantu Bani Bakr balas dendam kepada musuhnya. Musuhnya itu ialah Bani Khuza’ah yang sebelumnya memutuskan untuk bergabung dengan Nabi SAW.

Rencana tersebut akhirnya terendus oleh ‘Amr bin Salim al-Khuza’i dan salah seorang Bani Ka’ab. Lalu, kedua orang itu lapor kepada Nabi. Menyadari hal itu, Suku Quraisy mengutus Abu Sufyan untuk memperbarui perjanjian dan memberi keringanan waktu.

Akan tetapi, pengkhianatan tetaplah pengkhianatan. Alih-alih memberi kesempatan, Nabi dengan tegas memerintahkan pengikutnya untuk bersiap dan bergegas menuju Mekah untuk membebaskan kota tersebut dari hegemoni Quraisy. Setelah peristiwa itu, pamor Suku Quraisy jatuh dan masa depannya tamat alamat.

Puncak Kemerdekaan Islam

Fathu Makkah menjadi puncak kemerdekaan Islam dari berbagai belenggu ketertindasan, krisis moral-spiritual, agama, dan humanisme. Masyarakat Arabia yang semula sarat dengan sistem yang tidak adil seperti praktik perbudakan, marginalisasi perempuan, dan fanatisme suku, telah mengalami reformasi. Fathu Makkah dilakukan Nabi untuk merealisasikannya. Baca juga: Tafsir Surah Al Qashash Ayat 85: Cinta Tanah Air adalah Sebagian Dari Iman

Nabi memproklamirkan dasar-dasar reformatif itu semenjak masuk ke Mekah. Seusai tawaf di ka’bah, ia pun mengutip firmanNya dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 tentang prinsip egaliterianisme:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَر وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِير

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti”

Dari ungkapan Nabi, tampak bahwa Islam menyerukan perasaan yang sama, setara, dan tidak saling mengungguli dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga, Umat Islam bangkit menjadi umat yang berperi keadilan, progresif, dan toleran terhadap sesama.

Selain itu, saat Nabi memasuki Ka’bah, ia menghancurkan berhala-berhala dengan tangannya sendiri. Pada saat itu, ia menyampaikan firman Allah dalam QS. Al-Isra’ ayat 81:

وَقُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۖاِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا

Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap. (Q.S. al-Isra [17]: 81)

Ungkapannya ini menandakan bahwa krisis agama yang terjadi waktu itu telah sirna. Tiada Tuhan kecuali Yang Esa. Kebatilan berupa kemusyrikan dan penyembahan kepada selain-Nya telah dibumihanguskan.

Kebangkitan Islam pada peristiwa yang terjadi pada 10 Ramadhan 8 Hijriyyah tersebut pantas disebut puncak kemenangan Islam. Tentu saja karena keberhasilan Nabi melakukan reformasi masyarakat Jahiliyyah yang mengalami dekadensi dan krisis secara kompleks. Sampai pada titik menjadi masyarakat madani yang berperadaban dengan integritas umat yang sempurna. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 3:

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِيناۚ

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu”

Menurut Imam Nawawi dalam Marah Labid, al-yawma di situ diartikan dengan hari saat Kafir Quraisy sudah kehabisan tenaga meneror kaum muslimin. Sedangkan atmamtu ni’mati ditafsirkannya dengan kesempurnaan nikmat berupa Fathu Makkah. Maka, sempurna sudah agama Islam, nilai-nilai dan ajarannya kala itu.

Makna yang senada juga terdapat dalam QS. An-Nashr ayat 1:

إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”

Menurut Ibnu ‘Asyur dalam At-Tahrir wat-Tanwir, al-fath di situ dimaknai dengan persitiwa Fathu Makkah. Ditandai pula dengan ayat setelahnya yang menyatakan Islamnya orang dengan berbondong-bondong.

Makna Fathu Makkah bagi Indonesia

Tidak ada perbedaan yang esensial dari merdeka versi Indonesia dan Islam saat Fathu Makkah. Mungkin hanya dari segi konteks dan teknis yang berbeda, maknanya sama.

Merdeka versi Islam ialah bebas dari krisis moral-spiritual berupa penindasan kaum proletar. Indonesia pun dahulu juga berusaha hingga berhasil dari jeratan kerja rodi dan romusha, yang kebanyakan menyerang masyarakat yang lemah. Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 66: Indonesia Adalah Rumah Kita Bersama

Merdeka versi Islam bebas dari segala penyimpangan agama berupa kemusyrikan dan kekafiran. Begitu pun Indonesia berusaha memerdekakan diri dari praktik agama dan aliran sesat dengan bukti sila pertama Pancasila.

Merdeka versi Islam ialah menghapus tradisi yang otoriter berupa fanatisme suku dan klan. Indonesia juga berusaha memberi kebebasan untuk semua warganya. Sebagaimana pembukaan Undang-undang Dasar 45 bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa.

Lantas, masihkah kita melestarikan makna kemerdekaan itu hari ini? fa sabbih bi hamdi rabbika wastaghfir!

Halya Millati
Halya Millati
Redaktur tafsiralquran.id, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...