Tradisi batamat Alquran berasal dari bahasa Banjar yang terdiri terdiri dari dua kata, yakni batamat dan Alquran. Dalam Kamus Banjar-Indonesia istilah batamat diambil dari kata tamat yang berarti selesai atau khatam. Awalan ba dalam bahasa Banjar semakna dengan awalan ber yang menandakan suatu pekerjaan. Sedangkan Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Dengan demikian, tradisi batamat Alquran artinya tradisi menyelesaikan atau menamatkan Al-Qur’an, kitab suci umat Islam. Dalam konteks ini, tradisi batamat Al-Qur’an serupa dengan tradisi khatmil qur’an yang lumrah dilaksanakan di Indonesia. Secara genealogis, tradisi ini berasal dari nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya yang biasa menyelesaikan atau menamatkan Al-Qur’an dalam kurun waktu tertentu.
Sebagian sahabat ada yang mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari, ada yang mengkhatamkannya dalam seminggu dan ada pula dalam jangka waktu sebulan. Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar menyebutkan bahwa tradisi khatmil qur’an kemudian berkembang pesat pada masa ulama salaf. Mereka memiliki target tertentu dalam mengkhatamkan Al-Qur’an dan berlomba-lomba untuk menyelesaikannya.
Kendati tradisi batamat Al-Qur’an serupa – atau bahkan sama – dengan tradisi khatmil qur’an, namun terdapat sedikit perbedaan. Khatmil qur’an biasanya merupakan upaya menyelesaikan atau menamatkan keseluruhan Al-Qur’an dalam kurun waktu tertentu, mulai dari sehari hingga sebulan. Adapun tradisi batamat Al-Qur’an – terkadang – hanya membaca bagian akhir dari keseluruhan Al-Qur’an sebagai simbol utama semua bagian Al-Qur’an.
Baca Juga: Alasan Doa Belum Dikabulkan Menurut Fakhruddin al-Razi
Diperkirakan tradisi batamat Al-Qur’an muncul dan tersebar sejak abad ke-14 M beriringan dengan kedatangan Islam di tanah Banjar. Menurut Hidayat salam dalam tulisannya, “Tradisi Batamat Al-Qur’an Pada Masyarakat Banjar Kalimanta Selatan”, tradisi ini dibawa dari Sumatera, karena corak keagamaan masyarakat Banjar berkaitan erat dengan kultur keagamaan masyarakat Melayu, Sumatera, tanah pertama kedatangan Islam di Nusantara.
Hubungan erat Masyarakat Banjar dengan masyarakat Melayu dapat dilihat dari genealogi jaringan ulama Nusantara. Misalnya, Syekh Muhammad Arsyad al-Bajari, maha guru tanah banjar, memiliki tali ikatan seperguruan dengan Syekh Abdul al-Shamad al-Palimbani. Keduanya sama-sama menuntut ilmu ke Timur Tengah. Lebih jauh, Syekh Arsyad pernah menulis kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan syarah dari kitab Shiratal Mustaqim karya Nuruddin al-Raniri.
Meskipun serupa dengan tradisi khatmil qur’an di Suamtera dan daerah lain, namun bukan berarti tradisi batamat Al-Qur’an tidak mengalami transformasi. Disebutkan bahwa di dalam tradisi batamat Al-Qur’an terjadi akulturasi dengan budaya-budaya lokal seperti budaya Dayak, Hindu, dan Budha yang telah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat Banjar. Akulturasi ini secara gamblang dapat dilihat dalam prosesi batamat Al-Qur’an.
Proses Pelaksanaan Batamat Al-Qur’an
Tradisi batamat Al-Qur’an biasanya dilakukan masyarakat Banjar pada momen-momen krusial tertentu, seperti akhir bulan Ramadhan, pasca tadarus Al-Qur’an, pasca menyelesaikan Al-Qur’an pertama kali, dan menjelang pernikahan, baik laki-laki maupun perempuan. Tidak hanya itu, semenjak tahun 1990-an batamat Al-Qur’an juga dilaksanakan secara serempak setiap kali kelulusan TKA dan TPA di Kalimantan Selatan.
Secara umum, setiap daerah di Kalimantan Selatan memiliki cara masing-masing dalam melaksanakan tradisi batamat Al-Qur’an, baik dari segi waktu, tempat, hingga prosesi. Selain waktu-waktu krusial yang disebutkan di atas, sebagian masyarakat Banjar juga melaksanakan batamat pada bulan-bulan khusus seperti Rajab dan Rabiul Awal. Hal yang selalu sama adalah obyek bacaan, yakni bagian akhir Al-Qur’an atau dikenal sebagai Juz Amma.
Dalam konteks pernikahan, tradisi batamat Al-Qur’an merupakan ritus perjalanan yang harus dilalui pengantin. Pelaksanaannya diadakan satu malam sebelum akad nikah di rumah masing-masing mempelai. Yang dibaca pada saat itu adalah surah ad-Dhuha hingga selesai, yakni an-Nas, dan ditutup dengan doa khatmil qur’an. Biasanya batamat Al-Qur’an pengantin dihadiri oleh masyarakat sekitar, baik laki-laki maupun perempuan sebagai penonton.
Ahmad Rafiq dalam disertasinya, The Reception of the Qur’an in Indonesia, menjelaskan bahwa tradisi batamat Al-Qur’an adalah simbol kesiapan mempelai pengantin, baik laki-laki maupun perempuan, kehidupan sosial yang mandiri, dan tanggung jawab dalam berkeluarga. Namun disayangkan, tradisi ini kian memudar sering perkembangan zaman. Padahal di dalamnya termuat esensi resepsi masyarakat terhadap Al-Qur’an.
Salah satu contoh pelaksaan tradisi batamat Al-Qur’an dapat dilihat dalam tulisan Sahriyansyah yang berjudul Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar. Di sana ia menjelaskan tentang prosesi batamat Al-Qur’an di desa Simpang Mahar, Batu Benawa, Hulu Sungai Tengah, saat perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pesertanya mayoritas terdiri dari anak-anak dan sebagian orang dewasa.
Tahap awal pelaksanaan batamat Al-Qur’an adalah persiapan sarana dan prasarana. Laki-laki menggunakan baju gamis (jubah khas timur tengah) lengkap dengan sorban dan patah kangkung di kepala. Sedangkan perempuan memakai baju jubah berenda dan bulang yang dipakai di kepala. Kostum ini biasanya sering digunakan saat jemaah haji asal Kalimantan Selatan pulang ke kampung halaman.
Selain pakaian, disiapkan juga hiasan payung dari pelepah bambu yang terisi dengan kertas warna-warni, wewangian dupa, dan lainnya. Pada aspek inilah terdapat akulturasi budaya Hindu dengan Islam di mana hiasan payung yang digunakan terlihat serupa dengan tedung warna-warni yang sering ditemui di Pura. Akulturasi semacam ini juga dapat dilihat dalam tradisi Banjar lainnya seperti bamamandi.
Di samping itu, disiapkan juga balai berbentuk miniatur masjid yang terbuat dari pelepah bambu dan dihias dengan kertas warna-warni. Di dalam balai itu terdapat aneka makanan, mulai dari ketan putih, ketan merah, telur, dan kue-kue khas Banjar. Terkadang, balai tersebut diisi bendera dan uang pula. Semua ini akan dibagikan kepada masyarakat setelah prosesi batamat Al-Qur’an selesai.
Pelaksanaan batamat Al-Qur’an dimulai saat peserta keluar dari Rumah menuju masjid. Pada saat keluar rumah, peserta diiringi dengan shalawat serta pelemparan beras kuning dan koin sebagai simbol rasa syukur dan kemurahan. Biasanya beras dan koin tersebut akan diperebutkan oleh masyarakat sekitar. Kemudian, iringan-iringan khataman menuju Masjid seraya dipayungi layaknya pengantin.
Baca Juga: Kisah Rencana Penyembelihan Nabi Ismail dan Asal-Usul Ibadah Kurban
Saat rombongan batamat Al-Qur’an sampai di masjid, shalawat akan kembali dilantunkan beserta pelemparan berasa dan koin seperti sebelumnya. Selanjutnya dimulailah proses batamat Al-Qur’an oleh guru mengaji atau ulama yang diamanahkan untuk membuka. Setelah dibuka dengan formula bacaan tertentu dan al-Fatihah, peserta batamat akan disuruh membaca Al-Qur’an secara bergantian, mulai surah ad-Dhuha hingga an-Nas.
Ketika surah an-Nas selesai dibacakan, biasanya peserta batamat akan lanjut membaca surah al-Fatihah, bagian depan Al-Qur’an. Menurut Alfani Daud dalam bukunya, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, tindakan tersebut merupakan simbol agar Al-Qur’an terus-menerus dibaca walaupun telah dikhatamkan. Prosesi ini kemudian ditutup dengan doa khatmil qur’an dan makan bersama.
Dari tradisi batamat Al-Qur’an, pembaca dapat mempelajari nilai-nilai spiritual, kebersamaan, dan keberagamaan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Selain itu, nilai akulturasi yang ada di dalamnya juga mengajarkan muslim kontemporer bagaimana kebijaksanaan ulama-ulama terdahulu dalam mengajarkan Islam di Nusantara. Alih-alih membumi hanguskan tradisi, mereka menyelaraskannya dengan nilai-nilai Islami.