Kadar pemahaman Sahabat terhadap Al-Quran berbeda-beda. Tidak semua sahabat mampu memahami Al-Quran secara paripurna. Bila kita telusuri literatur tentang pemahaman sahabat terhadap al-Quran atau pemahaman orang Arab tentang al-Quran, maka terjadi perbedaan pendapat.
Dalam Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun berargumen bahwa al-Quran yang turun dengan bahasa Arab beserta retorikanya tentu akan memudahkan bangsa Arab—objek pertama dakwah al-Qur’an—dalam memahami isi kandungannya. Ia beranggapan melalui pengetahuan mereka terhadap kosa kata dan susunan gramatikalnya, akan mudah bagi mereka memahami al-Quran.
Pendapat Ibn Khaldun itu mungkin terkesan logis. Namun jika mempertimbangkan realita yang ada pendapat ini akan terkesan lemah. Dalam konteks kehidupan saat ini saja, tidak jarang ada orang yang tidak mampu memahami dengan baik referensi bacaan yang ditulis dengan bahasa ibunya.
Pendapat Ibn Khaldun tadi itu pun tidak diamini oleh Adz-Dzahabi. Dalam Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Adz-Dzahabi pun menyangkal pendapat Ibn Khaldun. Adz-Dzahabi berpendapat bahwa pemahaman seseorang terhadap suatu teks tidak dapat diukur hanya dari pengetahuannya terhadap kosakata yang terdapat di dalamnya.
Sederhananya, seseorang belum tentu dapat memahami teks melalui pengetahuannya terhadap kosa kata yang ada dalam teks semata. Maka Adz-Dzahabi pun menjelaskan bahwa seseorang yang ingin menyingkap makna suatu teks harus memiliki kemampuan bahasa sekaligus daya nalar yang cukup dengan teks yang dikaji.
Logika pemahaman akan teks ini berlaku umum, termasuk di dalamnya upaya memahami al-Qur’an. Para sahabat Nabi Muhammad Saw. yang turut serta menyaksikan kehadiran wahyu juga tidak memiliki tingkatan pemahaman yang sama antara satu dengan lainnya. Terkadang dalam memahami makna ayat-ayat al-Qur’an, antara satu dengan lainnya memiliki tingkatan yang berbeda-beda.
Sebagaimana logika pemahaman di atas, status para sahabat yang merupakan orang Arab tidak membuat mereka luput dari ketidakpahaman terhadap makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Sebagian dari mereka mungkin memahami makna suatu ayat namun sebagian lainnya tidak. Lalu apa saja faktor yang menyebabkan kadar pemahaman sahabat terhadap al-Quran berbeda?
Menurut Adz-Dzahabi hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: 1) perbedaan kemampuan bahasa yang dimiliki; 2) pengetahuan akan makna dari lafaz-lafaz gharib (asing/ jarang didapati dalam keseharian); 3) dalam kondisi membersamai Nabi di saat turunnya wahyu; 4) perbedaan tingkat kemampuan akal dalam memahami sesuatu.
Faktor pertama secara jelas mengindikasikan bahwa perbedaaan kualitas dalam penguasaan bahasa—dalam hal ini bahasa yang dibutuhkan dalam mengkaji suatu teks—memiliki pengaruh besar dalam pencapaian terhadap pemahaman akan teks yang dikaji. Seorang pengkaji bahasa Arab yang memiliki kemampuan gramatikal bahasa (nahwu-shorof) serta hafalan kosa kata yang banyak tentu akan lebih mudah memahami teks daripada orang yang hanya memiliki kemampuan gramatikal namun hafalan kosa kata sedikit maupun sebaliknya.
Kedua, lafaz-lafaz gharib atau kosa kata yang jarang ditemukan dalam keseharian menjadi salah satu problem dalam memahami teks. Terkadang lafaz gharib tersebut justru menjadi keyword dalam memahami suatu teks. Maka tentu seorang pengkaji teks yang memiliki hafalan kosa kata langka akan lebih mudah memahami teks daripada yang tidak.
Pada faktor ketiga didapati bahwa kondisi para sahabat ketika wahyu diturunkan juga menjadi penyebab perbedaan kualitas pemahaman mereka. Para sahabat yang membersamai Nabi tatkala wahyu diturunkan secara langsung memiliki akses untuk mengetahui asbab al-nuzul dari ayat yang diwahyukan. Pengetahuan akan asbab al-nuzul ayat memberikan implikasi terhadap pemahaman yang lebih baik.
Kesalahan dalam memahami asbab al-nuzul bisa membawa pada kesalahan akan memahami maqshud al-ayat. Jalaluddin As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an mengakan bahwa “tidak mungkin mengetahui tafsir suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan penjelasan turunnya (asbab al-nuzul).”
(Baca Juga: Pentingnya Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran)
Faktor terakhir memberikan gambaran bahwa masing-masing sahabat memiliki tingkatan kecerdasan yang berbeda. Perbedaan ini berimplikasi pada kualitas pemahaman yang mereka hasilkan. Dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam Al-Tafsir wa al-Mufassirun dikatakan bahwa ada seseorang bernama Masruq yang duduk bersama dengan para sahabat Nabi. Kemudian ia pun mengumpamakan mereka dengan aliran sungai.
Ia pun mengatakan bahwa di antara para sahabat ini ada yang memiliki kemampuan untuk mengairi (memenuhi hajat air) satu orang, ada yang mampu dua orang, ada yang sepuluh, ada juga yang mampu seratus dan bahkan ada juga yang mampu menjadi sumber air bagi satu negeri.
Perumpamaan tersebut dapat dilihat sebagai penilaian seorang psikolog terhadap daya intelektualitas seseorang. Bagaimanapun faktor ini merupakan anugerah dari Allah (wahbah min Allah) yang tidak bisa diprediksi siapa dan kapan diberikan. Maka bagi yang telah mendapatkan anugerah kemampuan akal yang lebih dari lainnya, hendaknya dapat memanfaatkannya dengan baik agar dapat menebarkan manfaat kepada sesama makhluk.
Beberapa faktor di atas dapat menjadi inspirasi bagi para pengkaji al-Quran saat ini. Inspirasi itu berupa panduan untuk meningkatkan kualitas pemahaman terhadap al-Qur’an. Pertama, meningkatkan kemampuan berbahasa Arab baik, dengan memantapkan ilmu gramatika serta memperbanyak kosa kata. Kedua mempelajari asbab al-nuzul dan menempatkannya sebagai salah satu elemen penting untuk mendapatkan maqshud al-ayat. Lalu disertai dengan meminta kepada Allah agar diberikan kemampuan akal yang bisa memudahkan dalam memahami ayat-ayat-Nya. Wallahu A’lam.