BerandaKisah Al QuranNabi Adam dalam Al-Quran: Manusia Pertama dan Tugasnya di Dunia

Nabi Adam dalam Al-Quran: Manusia Pertama dan Tugasnya di Dunia

Nabi Adam dalam al-Quran tersebar kisah dan keterangannya melalui beberapa ayat dan surat. Nabi Adam dalam al-Quran diterangkan sebagai manusia pertama yang Allah ciptakan di muka bumi sekaligus manusia pertama yang berperan sebagai nabi dan rasul.

Ia digelari dengan sebutan abu al-basyar (nenek moyang manusia) atau biasa disebut orang-orang barat sebagai father of humanity. Menurut ‘Abd al-Rauf al-Manawi dalam kitabnya Faid al-Qadīr Syarh al-Jāmi’ al-Saqīr (1: 47), nama Adam berasal dari kata adim yang berarti permukaan tanah. Ini menegaskan bahwa Adam as tercipta dari tanah liat kering sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍۚ

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (QS. Al-Hijr [15]: 26).

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (7: 118) menyebutkan bahwa ayat di atas menceritakan tentang penciptaan manusia (Adam) dari tanah lihat kering (shalshalah). Kata ini memiliki makna yang serupa dengan kata al-fakhkhār. Hanya saja kata al-fakhkhār digunakan untuk menyebutkan tanah lihat yang keras akibat dari pembakaran seperti bata dan gerabah, sedangkan kata shalshalah bermakna tanah liat kering yang terbentuk tanpa pembakaran.

Jika dikaitan dengan ayat-ayat lain tentang penciptaan manusia, ayat ini tidaklah mengandung pertentangan. Karena perbedaan istilah yang digunakan masing-masing ayat menunjukkan beberapa tahapan penciptaan manusia sebelum ditiupkan roh Allah swt. Mulai dari pengambilan tanah, lalu tanah itu tercampur air (thīn), kemudian thīn diproses sebagaimana diisyaratkan dalam kalimat hama’in masnūn, lalu dibiarkan dalam jangka tertentu hingga menjadi shalshalah (tanah liat kering).

Thahir Ibn ‘Asyur menyatakan bahwa maqāshid atau tujuan uraian ayat ini adalah sebagai pembuktian kepada manusia betapa Agung dan mengagumkannya Allah. Dia dapat menciptakan manusia yang merupakan tokoh sentral peradaban dunia dengan segala kelebihan dari unsur-unsur menjijikkan dan remeh. Dengan mengetahui Keagungan Allah, manusia diharapkan dapat beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Baca Juga: Peristiwa Taubat Nabi Adam AS. di Bulan Muharram

Dalam buku al-Mirqāt al-Mafātīh Syarh Misykāt al-Masābīh (5: 17) disebutkan bahwa proses penciptaan Adam as, dimasukkan dan dikeluarkannya dari surga oleh Allah Swt terjadi pada hari jum’at. Pemilihan hari tersebut dikarenakan hari jum’at adalah hari terbaik, terutama bagi umat Islam (sayid al-ayyām). Selain itu, penentuan waktu ini mengandung makna filosofis bahwa Adam as adalah makhluk yang mulia sebagaimana kemuliaan hari dirinya diciptakan.

Dalam sebuah hadis Nabi juga diterangkan proses penciptaan Adam. Nabi Muhammad saw bersabda:

اِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ خَلَقَ اٰدَمَ مِنْ قَبْضَةِ مَنْ قَبَضَهَا مِنْ جَمِيْعِ اْلاَرْضِ فَجَاءَ بَنُوْ اٰدَمَ عَلَى قَدْرِ اْلاَرْضِ فَجَاءَ مِنْهُمُ اْلاَحْمَرُ وَاْلاَسْوَدُ وَبَيْنَ ذٰلِكَ وَالسَّهْلُ وَالْحَزْنُ وَالطَّيِّبُ وَالْخَبِيْثُ. (رواه أحمد و مسلم عن عائشة)

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menciptakan Adam dari kepalan tanah yang diambil dari segala macam tanah, maka lahirlah anak Adam menurut kadar tanah itu. Di antara mereka ada yang merah, ada yang hitam, dan ada di antara kedua warna itu. Ada yang mudah, ada yang sukar, ada yang baik, dan ada yang buruk. (Riwayat Ahmad dan Muslim dari Aisyah)

Baca Juga: Ketika Iblis Membangkang Sujud Kepada Adam

Tugas Nabi Adam as dan Keturunannya

Nabi Adam dalam al-Quran dijelaskan pula sebagai “wakil” Allah di muka bumi Adam as tidak hanya mengemban risalah kenabian, tetapi juga membawa nilai-nilai kemanusiaan dan kealaman (al-insāniyyah wa al-‘ālamiyyah). Ia diberi kepercayaan oleh Allah untuk mengelola bumi menggantikan makhluk ciptaan Allah sebelumnya yang disebut ulama tafsir sebagai bangsa jin. Mereka dibinasakan Allah setelah melakukan berbagai macam kerusakan dan pertumpahan darah. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 33:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. QS. Al-Baqarah [2]: 33)

Dalam Tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa ayat ini bercerita mengenai penyampaian keputusan Allah kepada malaikat tentang rencana-Nya menciptakan manusia (Adam as) di muka bumi sebagai khalifah. Ini dilakukan karena malaikat adalah makhluk yang akan dibebani sekian banyak tugas terkait kehidupan manusia. Sebagian dari mereka ada yang bertugas untuk mencatat amal manusia, ada yang bertugas menjaga, ada yang menjadi pembimbing, ada yang bertugas sebagai pemberi wahyu dan sebagainya.

Ketika mendengar rencana Allah, malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka mengira bahwa “khalifah” ini akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah, karena jauh sebelum manusia tercipta terdapat bangsa jin yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi. Ibnu Katsir menuturkan dalam bukunya Qashash al-Anbiyā (1: 5) bahwa pertanyaan malaikat ini semata-mata untuk meminta penjelasan dari Allah, bukan untuk meragukan apalagi menentang-Nya.

Mendengar pertanyaan malaikat, Allah menjawab secara singkat tanpa menyalahkan atau membenarkan pertanyaan mereka karena sebagian anggapan tersebut benar adanya. Allah berfirman: “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Jawaban Allah ini mengandung makna tersirat bahwa anggapan para malaikat yang berkaca pada kasus jin benar adanya, manusia mungkin juga akan melakukan hal serupa di masa mendatang, namun diantara manusia juga terdapat orang-orang yang ketaatan dan ketakwaannya melampaui malaikat.

Manusia sebagai keturunan Adam as memiliki kewajiban untuk meneruskan risalah kenabian, ajaran kemanusiaan dan kealaman. Mereka juga berperan sebagai khalifah, yakni orang beriman yang memiliki wewenang untuk mengelola bumi dan sumber daya di dalamnya secara adil dan bijaksana. Meskipun demikian, bukan berarti manusia berhak berlaku semena-mena dan mengeksploitasi bumi dengan membabi buta. Manusia hanya “wakil” Tuhan dan mereka akan mempertanggungjawabkan apa yang telah diwakilkan kelak. Wallahu a‘lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...