Cermat Menanggapi Kritik Seperti Luqman Al Hakim

Luqman Al Hakim
Luqman Al Hakim

Luqman Al Hakim adalah sebuah nama yang tidak lagi asing bagi umat Muslim, terlepas mengenai namanya yang diabadikan dalam Alquran menjadi salah satu nama surat, track recordnya dalam menyuarakan kebaikan sampai hari ini masih  menjadi panutan.

Ibnu Katsir menyebutkan, nama lengkap Luqman Al Hakim adalah Luqman ibn Unaqa’ ibn Sa’dun. Dia digambarkan sebagai laki-laki dengan tubuh pendek dan hidung mancung. Konon, Luqman Al Hakim berasal dari Nubah, ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari Sudan (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an al Adhim Vol. III, 536).

Ibnu Abbas juga pernah meriwayatkan kisah yang cukup fenomenal berkenaan dengan sosok Luqman Al Hakim ini. Menurutnya, Luqman Al Hakim adalah figur yang tampak biasa-biasa saja, pekerjaan sehari-harinya adalah mencari kayu bakar di Habsyi. Luqman Al Hakim bukan Nabi atau Rasul, bukan Bangsawan, bukan pula Ulama Besar. Beberapa riwayat menyebutkan dia adalah seorang Hakim di periode kepemimpinan Nabi Dawud As. Riwayat lain menguatkan, dia hidup di zaman Nabi Isa dan sebelum nabi Muhammad Lahir. Di balik semua kesederhanaannya, ia memiliki kelebihan yang tak ternilai sehingga namanya diabadikan dalam Al Qur’an: Surat Luqman. (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an al Adhim Vol. V, 336)

Baca Juga: Nabi Musa as yang Ringan Tangan dan Doa Ketika Lapar

Dikisahkan, suatu ketika Luqman Al Hakim memasuki sebuah pasar dengan menunggangi seekor keledai, sementara anaknya mengikuti dari belakang. Tak lama berselang, seseorang mengatakan, “Lihatlah orang tua yang tidak berperasaan itu, dengan enak dan santainya ia di atas punggung keledai, sementara anaknya dibiarkan berjalan kaki di belakangnya” mendengar hal itu, Luqman Al Hakim turun dari punggung keledai dan ganti posisi dengan anaknya, ia berjalan kaki dengan terus menuntun keledai yang ditunggangi anaknya, tak lama dari itu, seseorang yang lain kembali mencemooh, “Lihatlah, anak yang tidak tahu malu itu, dibiarkannya ayahnya berjalan kaki sementara dia keenakan di atas punggung keledai”. Mendengar kritik ke dua itu, Luqman Al Hakim ikut naik ke atas punggung keledai, menungganginya bersama dengan anaknya, tapi masih ada cemoohan lain yang terdengar oleh telinganya, “Lihatlah dua orang yang menunggangi keledai itu, sungguh ia telah melakukan penyiksaan terhadap keledai itu” karena tidak suka mendengar cemoohan itu, maka Luqman Al Hakim beserta anaknya turun dari keledai, dan orang-orang pasar masih menguarkan cemoohannya, “Lihatlah dua orang yang berjalan kaki itu, punya keledai tapi tidak dikendarai”. Akhirnya, Luqman Al Hakim tetap melanjutkan perjalanannya sambil terus menyesuaikan diri di tengah kritik orang sekitar terhadapnya. (Ibnu Katsir, Al Bidayah wa Al Nihayah, 253)

Dari kisah Luqman Al Hakim kita tahu, bahwa hampir mustahil memenuhi harapan semua orang, memenuhi ekspektasi orang lain terhadap diri kita. Apalagi jika kita mengemban sebuah jabatan publik. Akan selalu ada orang yang mengkritik, mencemooh dan tidak suka terhadap kebijakan, tingkah laku, dan ucapan yang kita punya. Akan selalu ada pihak yang menghujat, menyebarkan kebencian, permusuhan, dan menghasut orang lain agar ikut membenci kita.

Terkait apapun itu, kritik dan ujaran kebencian mestinya tidak boleh memukul mundur kita untuk kembali ke titik nol. Selama apa yang kita yakini itu baik itu baik untuk kebenaran dan kemaslahatan, maka kita tidak boleh mundur dan fokus pada ujaran kebencian atau hujatan itu.

Opsi sikap yang paling masuk akal untuk kita lakukan adalah berserah sepenuhnya kepada Allah Swt. Sebab apabila lelaku yang kita perbuat murni untuk meraih ridha Allah dan dijalankan dengan ikhlas, kritikan-kritikan yang kita terima akan menjadi pemanis dalam amal kebaikan yang sedang diupayakan. Seperti disebutkan Surah Ali Imran: 160

إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلا غالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Jika Allah menolong kalian, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kalian; jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal” (QS. Ali Imran: 160)

Wa ba’du, kita tidak perlu tersinggung atas kritik dari orang lain, sebab tujuan awal dari kritik adalah membangun dan memperbaiki keadaan. Anggap saja kritik-kritik yang masuk sebagai upaya memperkokoh keimanan dan mematangkan spiritual kita. Kelapangan dada dan kebesaran jiwa yang kita punya, turut mempengaruhi sikap kita menanggapi kritik dari publik. Semakin lapang dada kita, kritikan yang bagaimanapun pedasnya akan tetap nyaman kita terima. Sebaliknya, semakin sempit hati kita untuk menerima kritik, akan semakin pedas dan tajam pula kritik itu menikam jantung kita.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah 280: Lebih Bersabar dalam Menunggu Pembayaran Hutang

Apapun yang dilakukan orang lain kepada kita, suka atau tidak suka, semoga tidak membuat kita lelah berbuat baik dan menebarkan kebaikan untuk sesama.

فَبِما رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)

Wallahu A’lam!