BerandaKisah Al QuranPerdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bag. 1)

Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bag. 1)

Perbedaan pendapat tentang siapa putra yang dikurbankan oleh Ibrahim as. dalam peristiwa kurban tidak hanya terjadi antaragama Kristen, Yahudi dan Islam. Di antara internal Islam pun, yakni antarmufasir juga dijumpai perdebatan terkait peristiwa sakral tersebut. Dalam Alquran, kisah itu diabadikan dalam surah Alshaffat [37]: 102.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Artikel ini, dikelompokkan menjadi tiga bagian berdasarkan periodesasi karya tafsir, mulai dari klasik, pertengahan, hingga modern. Berikut penjelasannya.

Baca juga: Nilai-Nilai Sufistik dalam Penyembelihan Hewan Kurban

Tafsir Periode Klasik

Pada era klasik ini, kitab tafsir diwakili oleh riwayat-riwayat dari para sahabat yang berhasil dikumpulkan, disistematiskan, hingga dibukukan. Di antaranya adalah Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas yang disusun oleh al-Fairuz Abadi dan Tafsir Ibnu Mas’ud yang disusun oleh Muhammad Ahmad Isawi. Selain dari para sahabat, juga dari kalangan tabi’in, dan tabi’ tabi’in.
Dalam Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas (hal. 377) hanya disebutkan satu periwayatan, sebagaimana berikut ini;

{ فلما بلغ معه السعي } العمل لله بالطاعة ويقال المشىء معه إلى الجبل { قال } إبراهيم لابنه إسمعيل ويقال إسحاق { يا بني إني أرى في المنام } أمرت فى المنام { أني أذبحك فانظر ماذا ترى } تشير وتأمر { قال يا أبت افعل ما تؤمر } من الذبح { ستجدني إن شاء الله من الصابرين } على الذبح

Bahwa ketika surah Alshaffat [37]: 102 turun, yakni perintah untuk mengurbankan salah satu dari putranya, Ibrahim as. menyampaikan hal tersebut kepada Ishaq as. dan Isma’il as.
Sedangkan dalam Tafsir Ibnu Mas’ud (hal. 851) disebutkan dua riwayat hadis dengan substansi yang berbeda. Pertama, hadis yang didapat dari al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘ala Shahihain yang dinilai sahih, disebutkan bahwa anak yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim as. adalah Nabi Ismail as. Kedua, hadis yang dirujuk dari ath-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an yang menjelaskan bahwa yang dikurbankan adalah Nabi Ishaq as.
Setelah penyebutan kedua hadis ini, tidak ada suatu pernyataan untuk menegaskan mana yang benar. Ahmad Isawi hanya memberikan keterangan lebih lanjut dalam catatan kaki, yang mana dari kedua hadis itu sama-sama mengklaim sahih.
Ada pula karya tafsir dari tabi’ tabi’in yakni al-Farra’ dalam Ma’anil Qur’an (Jilid 2, 389) yang disebutkan bahwa yang dikurbankan adalah Nabi Isma’il as. saat usianya mencapai 13 tahun.

Tafsir Periode Pertengahan

Beberapa karya tafsir pada periode pertengahan ini yaitu, pertama, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (Jilid 19, 578) karya ath-Thabari. Dalam persoalan siapa yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim as., ath-Thabari dengan jelas mengatakan bahwa dia adalah Ishaq as.

يَقُولُ تَعَالَى ذِكْرُهُ: فَبَشَّرْنَا إِبْرَاهِيمَ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ، يَعْنِي بِغُلَامٍ ذِي حِلْمٍ إِذَا هُوَ كَبُرَ، فَأَمَّا فِي طُفُولَتِهِ فِي الْمَهْدِ، فَلَا يُوصَفُ بِذَلِكَ وَذُكِرَ أَنَّ الْغُلَامَ الَّذِي بَشَّرَ اللَّهُ بِهِ إِبْرَاهِيمَ إِسْحَاقَ

Ath-Thabari menyuguhkan setidaknya 5 hadis yang secara khusus menyinggung peristiwa kurban, namun tidak ada satupun yang memberikan pernyataan bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as.
Kedua, tafsir al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Qur’an (Jilid 4, 56-58) karya al-Zamakhsyari. Dalam penafsirannya, al-Zamakhsyari mengakui adanya perbedaan pendapat terkait siapa yang dikurbankan. Sehingga, dia sama-sama memaparkan pendapat dari golongan yang mendukung bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as. atau Ishaq as. dengan masing-masing argumennya.
Mereka yang mendukung bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as., yakni dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Muhammad bin Ka’ab al-Quradzi dan para pengikutnya. Pertama, berdalih dengan sabda Nabi saw. yakni ana ibnu dzabihaini (aku adalah putra dari dua yang dikurbankan, yakni pada peristiwa ‘Abdul Muthallib yang hendak mengurbankan ‘Abdullah (ayah Nabi saw.), namun digantikan dengan seratus unta dan peristiwa pengurbanan Ismail as.

Baca juga: Kisah Rencana Penyembelihan Nabi Ismail dan Asal-Usul Ibadah Kurban 
Kedua, mengutip dari cerita ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, dia telah mengutus seseorang agar menanyakan kebenaran peristiwa tersebut kepada orang Yahudi yang telah masuk Islam. Menurut penuturannya, sebenarnya orang Yahudi mengetahui bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as., namun mereka iri kepada orang Arab. Sehingga, mereka membakar tanduk domba sesembelihan Ibrahim as. yang ada di Ka’bah.
Kemudian, pihak yang mendukung bahwa yang dikurbankan adalah Ishaq as. adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, al-‘Abbas, ‘Atha’, Ikrimah, dan para pengikutnya. Pernyataan tersebut didasarkan pada catatan Ya’qub as. kepada Yusuf as., dimana di dalamnya tertulis ada kata dzabihullah yang disematkan pada nama Ishaq as.;

من يعقوب إسرائيل الله بن إسحاق ذبيح الله ابن ابراهيم خليل الله

Sebagai penutup dari penjelasan tafsir surah Alshaffat [37]: 102 ini, al-Zamakhsyari melempar dengan beberapa pertanyaan, salah satunya adalah, “Apa faedah dari peristiwa ini, sedangkan pengurbanan salah satu anak Ibrahim as. telah diganti dengan seekor hewan sesembelihan?”
Ia menjelaskan, “Faedah dari peristiwa tersebut ialah ditemukannya pengganti sesembelihan kurban, sehingga sempurnalah janji nazar Ibrahim as. untuk mengurbankan salah satu anaknya.”

Muhammad Faishal Haq
Muhammad Faishal Haq
Alumni Pondok Pesantren Mambaus Sholihin, Gresik. Pegiat kajian keislaman dan kealquranan
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

QS. Al-Isra’ (17) Ayat 36: Taklid yang Diharamkan!

0
Taklid dapat dipahami sebagai suatu bentuk perilaku seseorang yang mengikuti suatu perintah atau menerima pendapat dari orang lain tanpa memiliki pemahaman yang didasari dengan...