Mengenal Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Karya Syekh Abdul Fattah Al-Khalidi

Tafsir Ibnu Katsir Tahdzib wa Tartib
Tafsir Ibnu Katsir Tahdzib wa Tartib

Di antara kitab tafsir yang dianggap sebagai kitab tafsir induk adalah Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim karya Imam Ismail Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, selain Jami’ al-Bayan karya Imam Thabari, Mafatihul Ghaib karya Imam Ar-Razi, At-Tahrir wat Tanwir karya Imam Ath-Thahir bin Asyur dan beberapa tafsir lainnya. Tafsir Ibnu Katsir dinilai oleh sebagian ulama pakar Ulumul Quran sebagai salah satu tafsir yang paling tersohor dengan metode tafsir berdasarkan riwayat (tafsir bil ma’tsur) dengan mengutip banyak ayat, hadis, pandangan para sahabat maupun pendapat para tabi’in dan tabi’it-tabi’in.

Karena dinilai sebagai salah satu tafsir terbaik dan paling populer sekaligus karena sangat luas penafsirannya, maka sebagian mufasir kontemporer berupaya meringkas Tafsir Ibnu Katsir ini, seperti Syekh Ali Shabuni, Wahbah Zuhaili, Muhammad Syakir, Karim Rajih, Nasib Rifa’i, Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dan yang teranyar adalah ringkasan Tafsir Ibnu Katsir oleh Syekh Shalah Abdul Fattah Al-Khalidi, seorang ahli tafsir asal Yordania yang baru wafat beberapa bulan lalu. Tetapi menariknya, Syekh Abdul Fattah Al-Khalidi ini bukan hanya menyunting sebagaimana lazimnya sebuah penyuntingan.

Sebagaimana judulnya, Tafsir Ibn Katsir: Tahdzib wa Tartib, Syekh Abdul Fattah berupaya melakukan penyusunan ulang dengan memperbaiki bahasanya dengan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat kontemporer. Ia juga melakukan sistematisasi dengan membuat sub-sub tema sesuai dengan topik penafsirannya. Kitab tafsir ini berdurasi 6 jilid tebal dengan ketebalan setiap jilidnya sekitar 550 halaman dan jumlah seluruh halaman dari 6 jilid tersebut mencapai 3.565 halaman.

Salah satu keistimewaan tafsir ini adalah adanya tarjih yakni memilih salah satu penafsiran (pendapat mufasir) yang lebih kuat dari berbagai penafsiran yang ada. Dalam sebagian besar suntingannya, Syekh Abdul Fattah menegaskan proses tarjih ini dengan memilih, menguatkan, atau mengutamakan salah satu penafsiran mufasir dari beragam penafsiran lainnya.

Saya sebenarnya sudah mempunyai dua macam tafsir Ibnu Katsir. Pertama, tafsir Ibnu Katsir yang versi agak lengkap dengan volume lima belas jilid yang di-tahkik oleh Syekh Mustafa al-Adawiy. Kedua, Al-Mishbahul Munir fii Tahdzibi Tafsir Ibnu Katsir hasil suntingan Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri. Walaupun dalam dua macan tafsir tersebut, terutama dalam Al-Mishbahul Munir sudah ada isyarat penjelasan yang mengarah kepada penafsiran yang dinilai lebih kuat, tetapi belum ada tarjih yang tegas terhadap pendapat mufasir yang lebih kuat. Pada titik inilah, kelebihan Tafsir Tahdzib wa Tartib yang disusun oleh Syekh Abdul Fattah. Sebab beliau dengan tegas melakukan tarjih terhadap salah satu pandangan mufasir yang dinilainya lebih kuat dari puspa ragam pandangan mufasir lainnya.

Kitab tafsir ini sebenarnya sampai ke tangan saya tanggal 17 ramadhan. Disamping beberapa buku lainnya, saya menikmati tafsir ini selama kurang lebih 13 hari sampai akhir ramadhan dengan membacanya dari surat Al-Fatihah hingga ayat ke-66 surat Al-Baqarah. Saya juga membaca beberapa surat-surat pendek di akhir juz 30, seperti surat Al-Alaq, Al-Qadr, Al-Maun, Al-Ikhlas, Al-Falaq dan surat terakhir An-Nas. Izinkan saya menayangkan sejumlah contoh faktual bagaimana Syekh Abdul Fattah melakukan tarjih satu pendapat yang dinilainya lebih kuat dari pelbagai pendapat para mufasir.

Baca Juga: Kinayah (Metafora) dan Keabsahannya dalam Alquran

Pertama, surat Al-Fatihah termasuk surat Makkiyyah. Ibnu Katsir menguraikan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang apakah Al-Fatihah itu termasuk Makkiyyah, diturunkan sebelum hijrah atau Madaniyyah, diturunkan setelah hijrah.

  1. Menurut Ibnu Abbas, Qatadah, dan Abu al-Aliyah, surat Al-Fatihah adalah Makkiyyah.
  2. Sedangkan Abu Hurairah, Mujahid, dan Atha’ bin Yasar mengatakan bahwa al-Fatihah adalah surat Madaniyyah.
  3. Pendapat selanjutnya menyebutkan bahwa Al-Fatihah itu turun dua kali, pertama di Makkah dan kedua di Madinah. Sebagian ulama berpendapat bahwa setengahnya turun di Makkah, sedangkan sebagian lagi di Madinah.

Kemudian Syekh Abdul Fattah menegaskan tarjih-nya: Ar-roojih huwal qoulul awal, fahiya makkiyyah (bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang pertama yaitu Makkiyyah). Pijakannya adalah ayat ke-87 dalam surat Al-Hijr:

وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ

“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu as-sab’ul matsani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang) dan Al-Qur’an yang agung” (QS. Al-Hijr 15: 87).

Surah Al Hijr ini termasuk Makkiyyah. Yang dimaksud dengan as-sab’ul matsani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang) adalah surat al-Fatihah. Sab’un (tujuh) karena ayatnya berjumlah tujuh. Disebut matsani (berulang-ulang) karena diulang-ulang bacaannya dalam setiap rakaat shalat.

Kedua, hukum membaca surat Al-Fatihah bagi makmum. Para ulama berbeda pendapat tentang membaca al-Fatihah oleh makmum dalam shalat berjamaah. Ada tiga pendapat tentang hal ini:

  1. Membaca al-Fatihah wajib bagi makmum sebagaimana wajib bagi imam, baik dalam salat yang dipelankan (sirr) maupun yang dikeraskan (jahar). Hal ini merujuk kepada makna umum hadis berikut: Tidak dianggap sah shalatnya orang yang tidak membaca fatihatul kitab, yakni surat al-Fatihah.
  2. Makmum tidak wajib membaca surat Al Fatihah, baik shalat berjamaah yang membaca dengan pelan, sirr maupun shalat yang membaca dengan keras, jahar.
  3. Wajib bagi makmum membaca al-Fatihah dalam shalat sirr, merujuk pada keumuman hadis yang telah disebutkan. Namun tidak wajib membacanya dalam shalat jahar. Dalam hal ini, makmum hanya wajib mendengarkan bacaan imam.

Kemudian Syekh Abdul Fattah men-tarjih: Ar-roojih huwal qouluts tsalits; bahwa pendapat yang paling kuat adalah yang ketiga. Rujukannya hadis Bukhari dan Muslim yang mewajibkan makmum untuk diam mendengarkan apa yang dibaca oleh imam.

Ketiga, hukum tentang membaca basmalah dalam shalat. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca basmalah dalam shalat dan hukum mengeraskan bacaannya dalam shalat jahar. Ada tiga pendapat dalam masalah ini:

  1. Basmalah dibaca di awal setiap surat dan dibaca di setiap rakaat shalat serta harus dibaca keras dalam shalat jahar. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i.
  2. Basmalah dibaca dalam shalat, tetapi tidak boleh dinyaringkan imam. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan Sufyan ats-Tsauri.
  3. Basmalah tidak boleh dibaca sama sekali, baik dalam shalat jahar maupun shalat yang sirr. Ini merupakan pandangan Anas bin Malik.

Meskipun demikian, para ulama sepakat bahwa shalatnya orang yang mengeraskan bacaan basmalah itu sah dan demikian juga orang tidak mengeraskannya.

Manakah yang paling kuat di antara tiga pendapat ini? Menurut Syekh Abdul Fattah: Ar-roojih huwal qoulul awal; pendapat yang paling kuat adalah yang pertama, yaitu men-jahar-kan bacaan basmalah dalam shalat jahar dan membaca basmalah pada setiap rakaat, karena basmalah merupakan bagian dari surat Al-Fatihah.

Keempat, sekarang kita beralih kepada makna khalifah dalam ayat ke-30 surat Al-Baqarah ketika Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”

Siapakah yang dimaksud khalifah pada ayat ini? Apakah Nabi Adam a.s sendiri? Atau apakah manusia dengan segala jenisnya? Ada beberapa pendapat mengenai hal ini:

  1. Sebagian mufasir menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah Nabi Adam as sendiri. Menurut Qatadah, ini dikemukakan Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan ahli tafsir lainnya.
  2. Yang dimaksud adalah manusia secara umum yang akan diangkat sebagai khalifah di muka bumi sebagai penguasa dan yang mengendalikan segalanya. Pandangan inipun dikemukakan para mufasir.

Menurut Syekh Abdul Fattah pendapat pertama ditolak. Kalau yag dimaksud dalam ayat itu adalah Nabi Adam as, mengapa malaikat berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan orang yang berbuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah?” padahal kala itu Nabi Adam as belum pernah berbuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi.

Kemudian beliau memilih: Annar roojih huwal qouluts tsani; bahwa pendapat kedua lebih kuat yakni manusia secara umum yang memenuhi kriteria sebagai khalifah. Maka makna dari pertanyaan malaikat adalah, “Apakah Engkau akan menjadikan manusia di muka bumi sebagai khalifah, padahal mereka dan yang sejenisnya akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah?”

Kelima, makna sujud malaikat kepada Nabi Adam a.s dalam surat Al-Baqarah ayat ke-34: Dan ingatlah ketika kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam’, maka sujudlah mereka semuanya” (QS. Al-Baqarah 2: 34). Secara global, ada tiga penafsiran tentang sujud malaikat kepada Nabi Adam a.s:

Pertama, sujud sebenarnya (menempelkan kening ke bawah). Ini adalah perwujudan sikap taat malaikat kepada Allah SWT, dan sebagai bentuk kemuliaan dan pengagungan kepada Nabi Adam as. Menurut Qatadah, sujudnya itu semata karena taat kepada Allah. Sujud kepada Nabi Adam as adalah pemuliaan Allah kepadanya yang memerintahkan para malaikat bersujud kepadanya.

Kedua, bukan sujud sebenarnya. Maka sujud disini hanyalah penghormatan dengan membungkukkan punggung sebagai bentuk penghormatan. Hal seperti ini dibolehkan dalam risalah-risalah Nabi terdahulu, berdasarkan dalil sujudnya kedua orang tua dan saudara Nabi Yusuf a.s. Menurut Syekh Abdul Fattah pendapat kedua ini lemah.

Ketiga, yang dimaksud sujud sebenarnya adalah kepada Allah SWT, bukan kepada Nabi Adam as. Kalaupun sujudnya menghadap kepada Nabi Adam as, itu hanya arahnya. Sebagaimana kaum muslim sujud kepada Allah dengan menghadap kiblat Ka’bah. Begitu juga pendapat ketiga ini lemah dan tidak bisa diterima. Sebab ayatnya sudah jelas menegaskan “Sujudlah kalian kepada Adam.”

Baca Juga: Alasan Alquran Turun Secara Gradual

Jadi menurut tarjih Syekh Abdul Fattah: Ar-roojih huwal qoulul awal: pendapat yang kuat adalah yang pertama. Itu adalah sujud hakiki, sujuudan haqiiqiyan dengan meletakkan kening ke lantai tempat sujud. Hal itu sebagai bentuk ketaatan pada perintah Allah.

Contoh terakhir, adalah arti setan dalam surat An-Nas ayat ke-5 dan 6: “Yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia, dari golongan jin dan manusia” (QS. An-Nas 114: 5-6). Ada dua penafsiran terhadap makna ayat ini:

Pertama, setan membisikan kejahatan di dalam dada manusia dan juga di dada jin. Hanya manusia yang disebut dalam ayat ke-5 dengan tujuan keumuman saja, namun maknanya mencakup jin juga.

Kedua, mereka adalah setan-setan yang membisiki dada manusia. Di antara mereka ada setan dari bangsa jin dan ada setan dari bangsa manusia.

Selanjutnya, Syekh Abdul Fattah men-tarjih: Al-qouluts tsani arjahu; bahwa pendapat kedua lebih kuat. Dengan demikian, ayat ini mengabarkan bahwa setan ada dua macam: setan dari kalangan jin dan setan dari kalangan manusia.

Sampai pada titik ini, kita dapat melihat kelebihan suntingan yang dilakukan Syekh Abdul Fattah terhadap tafsir Ibnu Katsir ini. Tentu saja masih terdapat berbagai kelebihan lain, seperti menghilangkan kisah-kisah isra’iliyyat dan hadis-hadis dhaif bahkan hadis palsu.

Demikian juga dengan berbagai makna penafsiran ulama yang berbeda-beda terhadap satu ayat misalnya, Syekh Abdul Fattah terkadang tidak men-tarjih salah satu penafsiran yang lebih kuat, melainkan justru menggabungkan semua pandangan yang berbeda dan semuanya tetap absah dijadikan rujukan dalam penafsiran ayat tersebut. Sehingga dengan membaca tafsir Tahdzib wa Tartib ini, pemahaman kita kepada makna ayat-ayat Al-Qur’an bukan cuma menjadi semakin kaya, tapi juga membuat kita lebih yakin ketika kita hendak memilih salah satu penafsiran yang lebih rajih, yang lebih sohih, yang lebih kuat dan lebih relevan dengan problematika yang sedang kita hadapi. Wallahu a’lam bish shawab.