Komentar Imam Asy-Syathibi Terhadap Ayat-Ayat Tentang Alam

Komentar Imam Asy-Syathibi terhadap ayat-ayat tentang alam
Komentar Imam Asy-Syathibi terhadap ayat-ayat tentang alam

Bila melihat ke sejarah tentang ayat-ayat tentang alam akan ditemukan berbagai respon para ulama, baik klasik maupun modern. Tentu, pro-kontra merupakan hal yang niscaya sekaligus menjadi warna-warni dalam tradisi keilmuan Islam. Sebut saja seperti Imam Asy-Syafi’i,  Imam Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Imam Asy-Syathibi, Imam As-Suyuthi yang merupakan ulama besar di masanya. Masing-masing dari mereka memiliki cara pandang atas ayat-ayat seputar alam.

Pada kesempatan ini akan diambil satu, seorang ulama besar yang ikut memberi respon sesuai cara pandangnya terhadap ayat seputar alam. Ialah Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi (wafat 790 H/1388 M), seorang ulama Spanyol yang masyhur dengan sebutan Imam Asy-Syathibi. Salah satu karya monumentalnya adalah Al-Muwafaqat, kitab karangannya yang berada pada fann ilmu ushul fiqh dan termasuk kitab yang banyak dikaji. Berangkat dari sana akan digali bagaimana sudut pandang Imam Asy-Syathibi dalam memberikan respon terhadap ayat-ayat tentang alam.

Baca Juga: Pro Kontra Tafsir Ilmi dan Cara Menyikapinya (2): Ulama Kontra

Kandungan ayat-ayat seputar alam itu tidak sederhana

Dalam Al-Muwafaqat, tepatnya pada mukadimah ke-5, Imam Asy-Syathibi menyebutkan satu ayat kealaman sebagai dasar atas statement beliau, yakni bahwa setiap persoalan yang tidak melahirkan suatu amal maka kajian atas persoalan tersebut merupakan kajian atas hal yang tidak ‘dianggap baik’ oleh dalil syara’.

Ayat yang dimaksud adalah یَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ قُلۡ هِیَ مَوَ ٰ⁠قِیتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّۗ Q.S. Al-Baqarah (2): 189. Dahulu, penduduk Makkah menanyakan tentang perubahan bentuk bulan di angkasa atau yang sekarang dikenal dengan revolusi bulan. Imam Asy-Syathibi menerangkan bahwa jawaban Allah “itu adalah penunjuk waktu bagi manusia dan waktu berhaji” atas pertanyaan tersebut dalam ayat merupakan ‘pengalihan’ dari maksud yang diharapkan sang penanya kepada ‘hal’ yang lebih patut untuk ditanyakan.

Hal ini menurut Asy-Syatibi karena persoalan yang ditanyakan tidak memberikan faedah dan karena itu Allah memberikan jawaban lain. Dari sinilah pengarang Al-Muwafaqat mengeluarkan pernyataannya tersebut, dan dari sini pula dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan ‘dianggap baik’ dalam pernyataan adalah hal yang memberi faedah sedangkan yang dimaksud dengan ‘amal’ adalah amal hati dan anggota badan yang berkaitan dengan masalah ibadah.

Terlihat dari jawaban Alquran ‘penunjuk waktu bagi manusia dan waktu berhaji’ sebagai ‘pengalihan’ dari hal yang hanya bersifat pengetahuan abstrak menuju hal yang bersifat amal ibadah. Hematnya, bahwa faedah yang dimaksud adalah amal ibadah itu sendiri. Sedangkan ‘pengalihan’ adalah tuntutan untuk meninggalkan persoalan yang tidak memberi faedah praktis sekalipun persoalan tentang proses revolusi bulan terhadap bumi yang berakibat perbedaan fase bulan.

Sampai di sini mulai tampak kecenderungan Imam Asy-Syathibi dalam memahami ayat Alquran secara umum. Dengan kata lain, ayat seputar alam pada dasarnya dapat menjadi petunjuk dalam hal ubudiah, tidak hanya sekadar informasi tentang keadaan bagian-bagian dari alam.

Baca Juga: Pro Kontra Tafsir Ilmi dan Cara Menyikapinya (1): Ulama yang Pro

Di tempat lain pada mukadimah ke-5, Imam Asy-Syathibi menyebutkan kisah sahabat Umar ketika menanyakan tentang makna أَبًّا pada firman Allah  وَفَـٰكِهَةࣰ وَأَبࣰّا dalam Q.S. ‘Abasa (80): 31 kepada sahabat lainnya dalam rangka menarik perhatian mereka bahwa ada suatu hal yang tidak diketahui. Lalu sahabat Umar berkomentar atas pertanyaannya sendiri bahwa nuhiinaa ‘an at takalluf (kita dilarang untuk bertakalluf). Sekali lagi Imam Asy-Syathibi menyebutkan ayat seputar alam dalam konteks memperkuat pernyataannya. Persoalan yang tidak melahirkan amal praktis tetapi hanya memberikan pengetahuan teoritis -menurutnya- adalah hal yang perlu dihindari.

Untuk ayat yang dikutip yang kedua ini, tampaknya perlu kajian lebih dalam lagi karena -kelihatannya- Asy-Syathibi tidak langsung meyakini begitu saja bahwa pertanyaan Umar tersebut hanya untuk memberi kesan bahwa setingkat Umar pun bisa tidak mengetahu arti dan maksud kosa kata dari Alquran.

Secara sekilas, akan ditarik pemahaman bahwa Imam Asy-Syathibi memiliki kecenderungan yang teramat kuat terhadap masalah ubudiah dan muamalah. Lebih-lebih ketika dia memberikan penjelasan terhadap Q.S. Al-Baqarah [2]: 189 hingga dia memberikan pernyataan seperti di awal. Dari sini dia juga memperlihatkan ketidakberkenaannya atas ilmu yang tidak berkaitan dengan taklif. Tampak ketika dia memberikan alasan bahwa waktu akan terbuang sia-sia bila digunakan untuk mengkaji terhadap hal-hal yang semacam ini. Wallah a’lam.