BerandaUlumul QuranPro Kontra Tafsir Ilmi dan Cara Menyikapinya (1): Ulama yang Pro

Pro Kontra Tafsir Ilmi dan Cara Menyikapinya (1): Ulama yang Pro

Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Quran sarat akan nuansa ayat-ayat kauniyah di dalamnya. Tidak kurang 750-1000 ayat-ayat kauniyah, sementara ayat-ayat hukum berkisar 250 ayat. Ini membuktikan Al-Quran sangat scientific, meski ia bukanlah kitab sains. Tulisan kali ini akan fokus membahas tentang pro kontra tafsir ilmi.

Tatkala gelombang Hellenisme merebak ke dunia Islam melalui penerjemahan buku-buku ilmiah secara besar-besaran pada masa Dinasti Abbasiyah, persisnya di era Khalifah al-Ma’mun (w. 853 M), muncullah kecenderungan menafsirkan Al-Quran dengan teori-teori ilmu pengetahuan atau yang dikenal dengan tafsir ilmi sebagaimana dipaparkan Muchlis Hanafi.

Mafatih al-Ghaib karya al-Razi, disinyalir sebagai tafsir pertama yang mengulas secara detail penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran. Sungguhpun demikian, pro kontra tafsir ilmi di antara ulama tidak bisa dihindari. Di satu sisi, tafsir ini dikritik habis-habisan bahkan dimentahkan, pada sisi yang lain tidak sedikit pula yang mengapresiasinya.

Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini akan mengulas pro kontra tafsir ilmi, khususnya ulama yang pro terhadap tafsir tersebut dan juga argumentasinya terlebih dahulu. Lalu, pada artikel berikutnya mengulas ulama yang kontra terhadapnya.

Baca Juga: Tafsir Ilmi: Sejarah Kemunculan, Metodologi, dan Kritik Terhadapnya

Ulama Pro Tafsir Ilmi

Sebagaimana disinggung di muka bahwa telah terjadi pro kontra tafsir ilmi di antara ulama. Namun demikian, sesungguhnya masih banyak yang mengapresiasi penafsiran Al-Quran dengan model ini. Sebut saja deretan ulama klasik, misalnya Ar-Razi, Al-Ghazali, Al-Mursi, As-Suyuthi. Sementara pada barisan ulama kontemporer ada Muhammad Abduh, Tantawi Jauhari, Hanafi Ahmad dan sebagainya.

Al-Suyuti misalnya, dalam kitabnya al-Itqan fi Ulum al-Quran, al-Iklil fi al-Istinbat al-Tanzil dan al-Mumtarikh al-Aqran fi I’jaz al-Quran, ia menuturkan bahwa Al-Quran telah menyingkap secara luas baik diskursus keilmuan yang bersifat teoretis maupun praksis, mulai era klasik hingga kontemporer, semuanya telah tersirat dalam Al-Quran. Lalu, al-Suyuti menampilkan redaksi surat al-An’am ayat 38.

 وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ ۗمَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ

Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan. (Q.S. al-An’am [6]: 38)

Tidak kalah menterengnya, al-Razi, seorang mufasir cum filosof ilmuwan muslim disinyalir beliaulah peletak dasar corak mazhab tafsir Al-Quran bil ‘ilmi. Penyematan ini bukanlah tanpa alasan, jika menilik rekam jejaknya sesungguhnya al-Razi menempatkan rasio seobjektif mungkin dalam penafsiran Al-Quran meski, ia sering dianggap rasionalis murni oleh sebagian kalangan.

Pada zaman al-Razi belum ada istilah dikotomi keilmuan, yang dikenal hanyalah ilmu handasiah, yakni ilmu yang berkaitan dengan matematika, fisika, astronomi, biologi, medis, dan sejenisnya. Sebagai contoh misalnya, kalimat al-hikmah yang terdapat dalam Surat an-Nahl ayat 125, al-Razi menafsirkannya dengan,

الحُجَّةُ الْقَطْعِيّة الْمُفِيدة لِلْعَقَائِد الْيَقِينِية، وذلك هُوَ المُسَمَّى بِالْحِكْمة، وهذه أَشْرَفُ الدَّرَجًاتِ وأَعْلَى الْمَقَامَات

“Hujjah yang qath’i (pasti), jelas, kokoh dan tanpa keraguan. Itulah yang disebut al-hikmah. Inilah kedudukan yang paling mulia dan tertinggi”.

Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Tentang Tafsir Ilmi: Pengertian dan Perkembangannya

Jika mufassir klasik acapkali menafsirkan al-Hikmah dengan bijaksana, lemah lembu, namun bagi al-Razi tidak. Ini menunjukkan bahwa kedudukan ilmu pengetahuan amatlah penting dalam mencari kebenaran yang sesungguhnya. Tidak hanya sekadar prediksi apalagi angan-angan belaka atau opini tak berdasar.

Selain memiliki karya tafsir Mafatih al-Ghaib, ia tercatat mempunyai dua karya medis terpenting, yaitu al-Mansuri dan al-Hawi. Kedua kitab ini terkenal di Barat, diterjemahkan dalam berbagai bahasa, serta menjadi rujukan otoritatif dalam keilmuan kedokteran.

Mufasir ilmi berikutnya berasal dari kalangan kontemporer, yaitu Tantawi Jauhari dengan tafsirnya, Jawahir fi Tafsir al-Quran. Dalam Jawahir-nya, ia mengungkap banyak beragam fan keilmuan terutama ketika menafsirkan ayat-ayat kauniyah. Interpretasinya tidak hanya sebatas naratif-deskriptif, melainkan substantif-analitis.

Uraian analitis Tantawi ini mendapat pujian dari al-Zahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, al-Zahabi takjub dengan model yang digunakan Tantawi dalam menafsirkan Al-Quran. Tantawi, kata al-Zahabi, tidak hanya memberikan penafsiran secara lafdzi, namun dilanjutkan dengan paparan-paparan ilmiah atau disebutnya sebagai lathaif atau jawahir.

Lebih jauh, al-Zahabi berpendapat bahwa penafsiran Tantawi ini merupakan akumulasi dari berbagai saripati para pemikir Barat dan Timur di era modern. Tak berhenti di situ memujinya, al-Zahabi juga memaparkan betapa sarat akan ilmiahnya Tantawi tatkala menafsirkan perkembangan katak mulai dari fase bertelur hingga menjadi katak dewasa sebagaimana termatub dalam Tafsir al-Jawahir.

Selain itu, pada juz 3 halaman 102 juga dipaparkan ilmu-ilmu kimia, inti atom beserta sifatnya. Lalu di halaman berikutnya, persisnya 141 diulas ilmu-ilmu biologi, molekul, antropologi, pertambangan, kedokteran, dan masih banyak paparan ilmiah di dalam tafsir Tantawi.

Mungkin pertanyaan yang masih terngiang-ngiang di telinga kita adalah mengapa muafssir di atas begitu getol mengumandangkan ilmu pengetahuan sebagai basis penafsiran, padahal kala itu model penafsiran tersebut belum menjadi mainstream?

Salah satu alasannya adalah sebagaimana dikemukakan Tantawi dalam muqadimah tafsirnya bahwa supaya umat Islam “sadar” (aware) untuk menuntut ilmu dalam pengertian yang seluas-luasnya, yaitu tidak terbatas hanya satu ilmu, melainkan menguasai beberapa fan keilmuan, seperti fisika, astronomi, matematika, kimia, biologi, antariksa, dan ilmu pengetahuan modern lainnya.

Sesunguhnya ilmu-ilmu tersebut telah diulas sangat banyak dalam Al-Quran. Ini menyiratkan perintah kepada umat Islam untuk maju dalam berbagai ilmu pengetahuan. Bahkan, menurutnya tidak kurang 750-1000 ayat Al-Quran yang berbicara tentang keajaiban alam, rahasia alam, manfaat, konservasi alam, dan bagaimana teknis pengeksplorasiannya yang ini dikenal dengan ayat-ayat kauniyah.

Baca Juga: Syekh Tantawi Jauhari: Sang Pelopor Tafsir Ilmi Modern

Jalan Tengah

“Andai saja pertikaian dan kecamuk perseteruan antara ilmuwan dan agamawan di Eropa pada abad pertengahan tidak merebak ke dunia Islam, demikian kata Muchlis Hanafi dalam Tafsir Ilmi Kemenag, maka pastilah umat Islam tidak akan mengenal istilah dikotomi keilmuan. Perbedaan cara pandang dan resepsi, serta persepsi memang idealnya tidak harus membawa kepada perpecahan, justru keduanya saling melengkapi dan berkolaborasi”

Lebih dari itu, keilmuan yang matang justru akan membawa kepada sikap keberagamaan yang tinggi (taqwa ilallah). Sejarah cukup menjadi saksi bisu bagaimana cendekiawan muslim ahli astronomi, matematika, fisika, kedokteran, biologi, dan ilmu eksak dan sosial lainnya telah mencapai prestasi yang sangat gemilang (Islamic golden age). Pada saat yang bersamaan, mereka juga menjalankan kewajiban agama dengan sangat baik.

Capaian emas ini pun disorot oleh Maurice Bucaille, ilmuwan Perancis terkemuka, dalam bukunya Bibel, Qur’an dan Sains Modern, bahwa tidak ada satu ayat Al-Quran pun yang bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Dan inilah kiranya yang memantik para kesarjanaan Barat untuk lebih mendalami dan mengkaji model penafsiran Al-Quran dengan pendekatan ilmu pengetahuan.

Pertanyaan berikutnya, sudahkah umat Islam merebut kembali kegemilangannya? Semoga saja. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...