Dalam Islam manusia diperkenalkan dengan etika khusus tentang cara meminta sesuatu kepada Allah melaui doa. Definisi tentang doa sendiri telah banyak dibahas oleh ulama maupun cendekiawan. Salah satunya adalah Toshihiko Izutsu. Dia merupakan salah satu tokoh yang menawarkan pendekatan semantik dalam memahami kosa kata Alquran. Dalam bukunya, Relasi Tuhan dan Manusia dia memperlihatkan tentang pemahaman makna doa, mulai dari masa pra-qur’anic dan pasca-qur’anic.
Makna Doa Pra-Qur’anic
Secara umum, doa dipahami sebagai bentuk permohonan seorang hamba kepada Allah atas segala hal yang baik. Sejak munculnya Islam yang diiringi dengan turun Alquran, umat Islam telah menjadikan doa sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupannya. Akan tetapi, doa pasa masa pra-quranic tidak sama sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat sekarang.
Misalnya, pada masa jahiliyah cara penggunaan kata-kata seperti dalam doa tersebut dinilai sebagai ragam dari penggunaan bahasa ‘magis’ yang ketika itu mengacu pada suatu kejadian khusus (istimewa) sehingga kata-kata yang dipakai dalam keadaan tertentu mampu memberi pengaruh langsung terhadap objek (orang) yang dituju.
Penggunaan bahasa ‘magis’ ini telah berperan penting di tengah kehidupan masyarakat Arab seperti dalam tradisi syair. Syair pada kala itu laksana sihir yang mampu melahirkan sebuah kekuatan berupa energi ‘magis’ yang sangat mempengaruhi psikologi masyarakat Arab. Namun, sayangnya mereka tidak mengarahkan hal tersebut ke arah teologis, melainkan hanya sebatas komunikasi horizontal yang didominasi unsur provokasi.
Baca Juga: Alasan Doa Belum Dikabulkan Menurut Fakhruddin al-Razi
Makna Doa Pasca-Qur’anic
Adapun jika dilihat secara etimologi, doa dalam kamus Al-Ma’any memiliki makna dasar ‘panggilan’, ‘permohonan’, dan ‘seruan’. Di dalam Mu’jam Al-Mufahras Li Alfazh Alquran (257-260), kata doa beserta derivasinya telah disebutkan sebanyak 210 kali dalam Alquran. Al-Husain ibn Muhammad al-Damaghani dalam Qamus Alqurannya (173-175) menyebutkan setidaknya terdapat tujuh ragam makna kata doa, antara lain:
(1) sebagai ucapan (Q.S. Al-A’raf [7]: 5), (2) sebagai ibadah (Q.S. Al-An’am [6]: 71), (3) sebagai panggilan (Q.S. Al-Qamar [54]: 6), (4) sebagai permohonan pertolongan (Q.S. Ghafir [40]: 26), (5) bermaksud ‘istifham’ (meminta penjelasan) (Q.S. Al-Baqarah [2]: 68), (6) berarti adzab (Q.S. Al-Ma’arij [70]: 15-17), (7) bermakna permintaan (Q.S. Ghafir [40]: 60).
Sementara itu, Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Alquran tentang Dzikir dan Doa dikutip dari artikel yang berjudul Konsep Doa Perspektif Quraish Shihab menyatakan bahwa doa merupakan:
“Permohonan hamba kepada Tuhan agar memperoleh annugerah pemeliharaan dan pertolongan, baik buat si pemohon ataupun pihak lain. Permohonan tersebut harus lahir dari lubuk hati yang terdalam disertai dengan ketundukan dan pengagungan kepada-Nya”.
Penjelasan di atas mendeskripsikan bahwa doa telah mengalami perluasan makna. Sebelum Alquran turun, doa hanya dipahami sebatas bahasa ‘magis’ dalam syair Arab jahilyah yang berpotensi mempengaruhi orang lain dalam bentuk komunikasi searah, akan tetapi setelah Alquran diturunkan doa memiliki nilai yang lebih luas dan lebih dalam. Doa merupakan bentuk permohonan anugerah seorang hamba kepada Tuhannya. Di sini doa menjadi bagian dari sebuah ibadah. Dengan kata lain, doa yang dipanjatkan tidak hanya karena kehendak manusia, melainkan juga sebagai bentuk kepatuhan atas perintah Allah. Term doa kali ini juga sangat erat kaitannya dengan harapan manusia atas respon balik dari Tuhan berupa pengabulan (istijabah).
Baca Juga: Tata Krama Berdoa
Doa Menurut Izutsu
Izutsu menyatakan bahwa doa merupakan salah satu bentuk respon manusia terhadap wahyu allah. Doa tersebut menjadi inisiatif manusia untuk melakukan komunikasi verbal terhadap Tuhannya melalui isyarat bahasa. Baginya, komunikasi berupa doa ini akan terjadi hanya dalam kondisi tertentu dan dalam bentuk yang sangat khusus. Dalam keadaaan yang berada di luar kebiasaan sehari-hari, seolah hampir mencapai titik batas maksimal, seorang manusia baru bisa menempati posisi yang dirasa mampu berujar langsung kepada sang Tuhan, dan di situlah fenomena doa itu terjadi.
Untuk memperkuat argumennya, Isutzu menyebutkan firman Allah dalam Q.S. Al-An’am [6]: 40-41
قُلْ اَرَءَيْتَكُمْ اِنْ اَتٰىكُمْ عَذَابُ اللّٰهِ اَوْ اَتَتْكُمُ السَّاعَةُ اَغَيْرَ اللّٰهِ تَدْعُوْنَۚ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ (40) بَلْ اِيَّاهُ تَدْعُوْنَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُوْنَ اِلَيْهِ اِنْ شَاۤءَ وَتَنْسَوْنَ مَا تُشْرِكُوْن
Katakanlah (Muhammad), “Terangkanlah kepadaku jika siksaan Allah sampai kepadamu, atau hari Kiamat sampai kepadamu, apakah kamu akan menyeru (tuhan) selain Allah, jika kamu orang yang benar!” (40) (Tidak), hanya kepada-Nya kamu minta tolong. Jika Dia menghendaki, Dia hilangkan apa (bahaya) yang kamu mohonkan kepada-Nya, dan kamu tinggalkan apa yang kamu persekutukan (dengan Allah). (41)
Dalam hal ini, Izutsu mengklarifikasi bahwa keadaan seperti itu adalah ‘situasi terbatas’ ketika hati manusia sepenuhnya bersih dari pikiran duniawi. Bahasa yang diucapkan sang pemohon secara spiritual pasti menjadi lebih tinggi.
Bagi saya, penjelasan Izutsu di atas adalah upayanya dalam memadukan pemahaman konsep doa pra-qur’anic dengan pasca qur’anic. Doa baginya tidak akan terjadi tanpa adanya situasi khusus yang dialami oleh pengucap doa sebagaimana yang dilalui penyair kala itu agar mampu mempengaruhi pendengar secara langsung. Tentu dalam hal ini objek yang dituju tidak lagi sama, melainkan hanya ditujukan kepada Allah.
Ketika manusia menadapati dirinya dalam keadaan terbatas, lemah, dan tak berdaya maka saat itu pula manusia akan mampu menjalin komunikasi personal yang sangat intim melalui hatinya kepada Tuhan, Allah. Pandangan Isutzu tersebut juga selaras dengan pernyataan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum ad-Din (361) bahwa doa harus dipanjatkan dalam keadaan istimewa dengan penuh rasa khusyu’, takut, dan tunduk terhadap Allah swt. Wallahu a’lam.