BerandaUlumul QuranMenyoal Metode Terjemah Harfiah dalam Penerjemahan Alquran

Menyoal Metode Terjemah Harfiah dalam Penerjemahan Alquran

Pada tanggal 28 Februari 2021 tafsiralquran.id mengadakan Diskusi Tafsir seri ke-6 dengan tema ‘Dinamika Penerjemahan Al-Quran di Indonesia’. Tema ini sangat layak untuk didiskusikan, mengingat penerjemahan Alquran di Indonesia masih menyisihkan beberapa problem. Salah satu pemateri dalam diskusi tersebut adalah Hamam Faizin.

Dalam diskusi tersebut Hamam menjelaskan bahwa para ulama periode awal melarang menerjemahkan Alquran dengan berbagai alasan, karena dianggap meniru Alquran dan menodai Alquran. Akan tetapi, walaupun pelarangan ini terus berlangsung, Alquran tetap saja diterjemahkan karena kebutuhan umat Islam yang tidak paham bahasa Arab terhadap Alquran semakin bertambah. Diskusi ini juga dapat dilihat kembali di halaman YouTube tafsiralquran.id. 

Kebutuhan masyarakat yang mendesak terhadap Alquran mendorong para ulama mencari jalan tengah dengan membolehkan penerjemahan Alquran, tapi dengan aturan-aturan yang ketat. Ulama-ulama klasik sebenarnya sudah lebih dulu merancang aturan-aturan tersebut seperti al-Qattan, al-Dzahabi dan al-Zarqani. Oleh Hamam jalan tengah tersebut ditulis sedikit berbeda: Pertama, Terjemahan bukan bagian dari Al-Qur’an, kedua, seorang penerjemah harus memiliki keahlian bahasa Arab yang baik, ketiga, melarang terjemahan harfiyyah, keempat, setiap penerjemah pasti akan menghadapi masalah leksikal, semantik, retoris, budaya, bias ideologi maupun lainnya, sehingga tidak ada produk terjemahan yang sempurna. 

Baca Juga: Konteks Historis Penurunan Alquran dan Perannya bagi Asbabunnuzul

Jalan tengah yang ditulis oleh Hamam sekilas efektif, namun timbul pertanyaan pada poin ketiga yaitu, melarang terjemahan Alquran secara harfiah, padahal para ulama klasik seperti Manna Khalil al-Qattan dan Muhammad Husain al-Dzahabi, secara umum merancang metode penerjemahan dalam kategori terjemahan harfiah dan tafsiriah. Artikel ini akan membahas bagaimana teori terjemahan harfiah menurut Al-Qattan dan al-Dzahabi kemudian mendiskusikannya dengan pernyataan Hamam. 

Teori Terjemahan al-Qattan dan al-Dzahabi

Al-Qattan dalam kitabnya, Mabahits fi Ulum al-Quran, membagi teori terjemahan ke dalam tiga tipologi, yaitu terjemah harfiyyah pada kelompok pertama, dan perbedaan antara ma’nawiyyah dan tafsiriah pada kelompok kedua dan ketiga. Terjemahan harfiyah menurut al-Qattan adalah memindahkan satu lafal dari bahasa tujuan dengan tetap menjaga kesesuaian struktur bahasa asal. Menurutnya terjemahan model ini tidak mungkin diaplikasikan karena setiap bahasa memiliki karakter  tersendiri yang tidak bisa diwakilkan dengan bahasa lain. Lebih lanjut dia menghukumi terjemahan model ini haram, maksudnya, siapa saja yang menerjemahkan Alquran dengan model ini berarti dia telah mengeluarkan Alquran dari eksistensinya sebagai Alquran.

Dalam menjelaskan terjemahan ma’nawiyyah, al-Qattan berangkat dari dua kategori yaitu asliyyah dan sanawiyyah. Asliyyah adalah makna literal al-Quran dan sanawiyyah adalah makna lanjutan. Al-Qattan menilai dua kategorisasi ini tidak bisa diaplikasikan, karena untuk kategori yang pertama, Alquran memiliki banyak kemungkinan makna dan jika hanya menerjemahkan satu sisi, maka dia telah mereduksi makna Alquran. Kategori yang kedua dibutuhkan kedalaman bahasa Arab dan perangkat keilmuan lainnya. Karena makna ini berada pada tingkat yang menjadikannya superior (al-Khawas al-Nazam) dan ini tidaklah mudah. Karena terjemahan harfiyyah haram dan terjemahan maknawiyyah rumit, maka jalan yang sangat efektif adalah menerjemahkan Alquran dengan versi tafsir, inilah yang disebut dengan terjemah tafsiriyyah. 

Al-Dzahabi membagi terjemahan al-Quran dalam dua tipologi, yaitu harfiyyah dan tafsiriyyah. Terjemah harfiyyah versi al-Dzahabi berangkat dari terjemahan harfiyyah bi al-misl dan harfiyyah bi ghairi al-misl. Bagian yang pertama,  menerjemahkan al-Quran ke bahasa lain dengan struktur yang persis sama dan mengandung seluruh makna pada setiap struktur bahasa asal, sementara yang kedua sedikit longgar dari pada yang pertama, yaitu dengan gaya yang sama, tetapi dibatasi kesesuain bahasa tujuan. 

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa al-Qattan dan al-Dzahabi memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memahami dan mengklasifikasi terjemahan harfiyyah. Al-Qattan melarang terjemahan maknawi bahkan mengharamkan terjemahan harfiyyah, sedangkan al-Dzahabi tidak melarang terjemahan harfiah. Perbedaan pendapat seperti ini adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielak karena masing-masing tokoh memiliki pertimbangannya dan alasan tersendiri. Lalu bagaimana menyikapi perbedaan teori ini? Jawabannya adalah dengan menguji teori kedua tokoh.

Fadhli Lukman dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga menguji secara kritis teori terjemahan Alquran pada artikelnya berjudul Studi Kritis Atas Teori Terjemahan al-Qur’an dalam ‘Ulumul al-Quran (2016). Dalam artikel tersebut Fadhli menguji tiga teori terjemahan al-Qur’an, dua diantaranya adalah teori terjemah al-Qattan dan al-Zahabi. Uji coba dilakukan ke beberapa al-Qur’an terjemahan bahasa Indonesia, seperti Tafsir al-Quran al-Karim karya Mahmud Yunus, al-Quran dan Terjemahannya milik Kementrian Agama Indonesia dan al-Quran dan Maknanya karya Quraish Shihab. 

Tulisan ini akan mengulas secara sekilas terkait artikel Fadhli. Fadhli awalnya menampilkan beberapa ayat yang diterjemahkan secara makna literal atau secara terjemahan harfiyyah seperti QS. al-Isra [15]: 29 dan QS. al-Hijr [15]: 9 baru kemudian menampilkan aya-ayat yang tidak diterjemahkan secara harfiyyah. Misalnya terjemahan QS. Yasin [36]: 19 pada kalimat Qalu thairukum ma’akum. Pada ayat ini Mahmud Yunus tidak menerjemahkan thair sebagai burung, melainkan kesialan karena pada zaman jahiliyah burung adalah simbol kesialan dan kekacauan. 

Baca Juga: Tafsir Tartib Nuzul: Bayan al-Ma’ani Karya Abdul Qadir Mulla Huwaisy

Contoh lain misalnya QS. al-Hijr [15]: 9 Inna nahnu nazzalna zikra, Quraish Shihab tidak menerjemahkan zikr, tapi langsung menuliskannya dalam bentuk transliterasi, Kementerian Agama langsung mengartikan zikr dengan Al-Qur’an, sedangkan Mahmud Yunus memberi penjelasan tambahan terkait zikr adalah peringatan. Dari contoh-contoh tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang signifikan antar terjemahan harfiah dan tafsiriah dan menggolongkan sebuah terjemahan Al-Qur’an kepada harfiyyah hanya bermuara pada simplifikasi karena tidak ada satu pun dari para penerjemah di atas yang mengadopsi terjemahan versi harfiyyah secara utuh. 

Fadhli berkesimpulan bahwa kategorisasi yang dirancang para ulama menyulitkan atau bahkan tidak mungkin direalisasikan. Masih menurut Fadhli, yang paling tepat menurutnya adalah memperluas makna penerjemahan Alquran menjadi penjelas dan tidak semestinya dibatasi sebagai pengalihan bahasa dengan beban teologis. Kesimpulan Fadli cukup masuk akal karena terjemah dan tafsir memang memiliki tujuan yang sama: menjelaskan Al-Quran. Dalam posisi ini dapat dikatakan bahwa Fadhli kurang setuju dengan kategorisasi terjemahan harfiyyah dan tafsiriah yang dirancang ulama  Akhir kata, tawaran Hamam terkait larangan penerjemahan secara harfiah adalah tepat. Wallahu ‘A’lam

Isyatul Luthfi
Isyatul Luthfi
Alumni Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir IAIN Langsa. Minat pada kajian tafsir tematik, tafsir tahlili, hermeneutika dan tafsir Nusantara
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Mengangkat Alquran: Peran Performatif dan Simbolisme dalam Pelantikan Pemimpin

0
Alquran tidak hanya berfungsi sebagai pedoman ajaran agama, tetapi juga memiliki dimensi performatif yang terwujud dalam berbagai tradisi dan ritual sosial-keagamaan. Salah satu manifestasi...