Perkembangan ilmu pengetahuan dalam waktu ke waktu terus mengalami perubahan seiring ditemukannya penemuan-penemuan baru oleh manusia. Perubahan ini tidaklah bersifat kumulatif, artinya proses perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner dan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pandangan ilmu pengetahuan ini oleh Thomas Samuel Kuhn disebut sebagai paradigma.
Thomas Kuhn menggunakan istilah paradigma untuk menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan (sains) berawal dari teori-teori yang sebelumnya pernah digunakan oleh para ilmuan, kemudian menjadi acuan dalam praktik ilmiah melalui pengujian-pengujian oleh para ilmuan setelahnya. Sehingga paradigma yang lama masih tetap dipakai sebagai konsep dasar secara keseluruhan dan menghasilkan keyakinan paradigma baru. Karena itu, menurut Thomas Kuhn, dalam sejarah perkembangannya, ilmu pengetahuan mengalami pergeseran paradigma dari paradigma lama menjadi paradigma baru.
Sekilas Biografi Thomas S. Kuhn
Thomas Samuel Kuhn adalah seorang fisikawan sekaligus filsuf asal Amerika. Perjalanan intelektual Thomas Kuhn diawali ketika dia mendalami ilmu fisika di Universitas Harvard pada tahun 1943 dan kemudian menyelesaikan gelar Ph.D-nya pada tahun 1949. Baru ketika tahun 1948, Kuhn mulai berkenalan dengan persoalan ilmu yang dilihat dari aspek sejarah dan memberikan perhatiannya pada sejarah ilmu pengetahuan (Sonjoruri, “Thomas Kuhn dan Tradisi-Inovasi dalam Langkah Metodologi Riset Ilmiah”, Jurnal Filsafat, 2008). Ketertarikan Kuhn pada bidang filsafat ilmu mengantarkannya mendapat kesempatan mengajar di Universitas Pricenton dan menerima anugerah gelar Professor di sana.
Salah satu karya monumentalnya pada bidang filsafat ilmu dan paling menggemparkan yang menjadi argumen penolakannya terhadap positivisme poperian adalah The Structure of Scientific Revolution. Buku ini terbit tahun 1962 yang banyak menjelaskan sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan dengan teori besarnya tentang paradigma dan revolusi ilmu pengetahuan. Karya Kuhn ini banyak mendapat perhatian oleh para ilmuan dan menjadi rujukan utama para ilmuan tahun 1960-an hingga perkembangan dunia keilmuan kontemporer.
Pergeseran Paradigma Thomas S. Kuhn
Pergeseran paradigma dapat didefinisikan sebagai perubahan keyakinan atau presepsi terhadap keyakinan lama menuju keyakinan baru. Sebuah produk keilmuan diyakini selamanya tidak pernah final kebenarannya. Kuhn mengatakan para ilmuan pada awalnya meyakini sebuah kebenaran yang sudah mapan nantinya akan menjadi penerus penemuan ilmiah sebelumnya (Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, 79). Jadi, para ilmuan dalam perkembangan seterusnya melakukan berbagai inovasi-inovasi baru hingga menemukan pengetahuan normal (normal science).
Akan tetapi pengetahuan dalam perkembangan zamannya, akan sampai pada posisi tidak lagi mampu menjawab persoalan-persoalan yang timbul. Pada masa ini ilmu pengetahuan berubah menjadi anomaly atau penyimpangan dari yang sudah ada. Karena banyaknya timbul keraguan-keraguan terhadap validitasnya di masyarakat, maka paradigma ilmu pengetahuan tersebut akan memunculkan krisis, sehingga para ilmuan akan melakukan penelitian-penelitian baru agar dapat diterima sebagai kebenaran ilmiah dan menggugurkan paradigma yang lama. Tahapan-tahapan ini disebut sebagai revolusi ilmu pengetahuan oleh Thomas Kuhn.
Baca juga: Mengenal Tafsir Feminis: Motif dan Paradigma Dasarnya
Pergeseran Paradigma Pendekatan Tafsir Alquran
Layaknya ilmu-ilmu lain, tafsir Alquran sebagai salah satu disiplin ilmu juga mengalami perkembangan. Sejak munculnya usaha umat Islam untuk menafsirkan kalam ilahi, para ulama generasi awal mencoba merumuskan dasar-dasar metode untuk menafsirkan Alquran. Tidak hanya sebatas di situ, ilmu tafsir ternyata juga berkembang seiring penemuan ilmu pengetahuan baru oleh para ilmuan kontemporer yang berusaha menkonsepkan pendekatan tafsir Alquran sesuai zamannya. Fakta ini akan koheren jika dikaitkan dengan teori paradigma Thomas Kuhn dalam revolusi ilmu pengetahuan.
Menurut Farid Esack, problem penafsiran Alquran selama ini dihadapkan pada dua hal; Pertama, produksi tafsir yang diperuntukkan bagi generasi terdahulu. Kedua, secara kritis dan selektif mengambil pemahaman tradisional untuk menafsirkan ulang Alquran sebagai bagian dari tugas merekonstruksi masyarakat (Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism, 50).
Alquran yang diyakini memuat petunjuk, tidak hanya menjadi jawaban persoalan ketika Alquran diturunkan di Arab 14 abad yang lalu. Keyakinan bahwa Alquran adalah sahih li kulli zaman wa makan (relevan sepanjang masa dan di setiap tempat), mengandung pengertian bahwa petunjuk Alquran ini juga menjadi pedoman bagi umat muslim sekarang dan seterusnya. Karena itu, penafsiran Alquran tidak pernah final dan tidak ada penafsiran Alquran yang paling benar. Sebab, setiap penafsiran dipengaruhi oleh konteks di sekitar penafsir ketika teks itu ditafsirkan (prior text) (Amina Wadud, Qur’an and Women, 2).
Meskipun para ulama klasik menganggap penafsiran yang bersumber dari riwayat (bil ma’tsur) adalah yang paling otoritatif, tetapi terkadang penafsiran yang dilakukan seperti ini cenderung menghasilkan produk tafsir yang bersifat pengulangan (repetitif) dan lebih literal terhadap konteks ketika ayat diturunkan. Oleh karena itu, para ilmuan tafsir Alquran dalam menjawab persoalan dan tantangan era kontemporer ini terus berusaha mencari model, metode, dan teori penafsiran yang lebih cocok serta efektif pada zamannya.
Misalnya, Sahiron Syamsuddin yang mengenalkan pendekatan penafsiran ma’na cum maghza sebagai hasil rekonstruksinya terhadap metode interpretasi (hermeneutika Alquran) yang telah ada. Pendekatan yang Sahiron gunakan ini adalah bentuk pengembangan dari hermenutika Double Movement Fazlur Rahman dan pendekatan kontekstual Abdullah Saeed. Menurutnya, pendekatan kedua teori penafsiran tersebut belum mampu menafsirkan seluruh ayat Alquran secara komprehensif dan hanya mampu digunakan pada ayat-ayat hukum.
Sahiron juga mengkritik beberpa aliran pendekatan penafsiran yang tidak memberikan perhatian yang sama antara makna literal (ma’na al-ashli) dan signifikansi (maghza) dalam menginterpretasi ayat Alquran.
Pergeseran paradigma kajian Alquran akan terus berkembang, sebagaimana yang dikatakan dalam Thomas Kuhn bahwa paradigma yang diyakini telah mapan akan mengalami anomaly dan menjadi crisis seiring berkembangnya ilmu pengetahuan. Selanjutnya paradigma lama ini akan diganti dengan paradigma baru yang dapat diterima sebagai validitas kebenaran.
Begitu juga dalam paradigma metode dan pendekatan tafsir Alquran. Bisa saja teori yang digaungkan oleh Sahiron melalui ma’na cum maghza ini sekarang dianggap sebagai paradigma baru dalam pendekatan tafsri era kontemporer. Kemudian seiring berkembangnya zaman dan penemuan-penemuan persoalan baru, teori tersebut akan dikritik oleh para ilmuan tafsir Alquran agar mendapatkan teori dan pendekatan tafsir Alquran yang lebih sempurna dari sebelumnya. Sehingga terciptalah paradigma baru lagi dalam pendekatan kajian tafsir Alquran. Hal ini yang menjadikan dinamika paradigma studi tafsir Alquran akan terus mengalami perkembangan.
Baca juga: Mengenal Sahiron Syamsuddin, Pelopor Kajian Hermeneutika Tafsir di Indonesia