BerandaUlumul QuranMengenal Tafsir Feminis: Motif dan Paradigma Dasarnya

Mengenal Tafsir Feminis: Motif dan Paradigma Dasarnya

Tafsir feminis menjadi tren aliran tafsir saat kesetaraan gender menjadi proyek global. Tren ini merupakan salah satu upaya pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) selain agenda yang dilakukan oleh lembaga atau yayasan pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Lalu, sebenarnya apa motif yang melatari muncul dan masyhurnya aliran ini? Dan bagaimana paradigma dasarnya? Berikut jawaban sederhana dari dua pertanyaan tersebut.

Baca juga: Surat Al-Baqarah Ayat 187: Isyarat Relasi Kesetaraan Antara Suami dan Istri

Motif kemunculan

Tafsir feminis merupakan aliran tafsir yang berupaya membaca ayat-ayat relasi laki-laki dan perempuan dengan perspektif gender. Sebagaimana yang dituturkan Eni Zulaikha dalam Tafsir Feminis, aliran ini muncul sebagai kritik terhadap tafsir-tafsir klasik yang dinilai bias terhadap perempuan.

Hal ini memang nyata adanya. Sebagai satu bukti, tatkala kita cermati tafsir Surat An-Nisa ayat 34 tentang qiwamah (kepemimpinan), pada tafsir klasik – Jami’ul Bayan, al-Kasysyaf, Mafatihul Ghayb, al-Jalalayn, dan lain sebagainya- semua sepakat berpendapat bahwa ayat itu menunjukkan kedudukan laki-laki sebagai pemegang kuasa atas perempuan di ruang domestik sekaligus berwenang mendidiknya.

Pendapat mereka ini berdiri atas argumentasi bahwa laki-laki memiliki kekuatan (al-quwwah/al-qudrah) yang lebih besar daripada perempuan. Baik itu kekuatan fisik, maupun intelektual. Di titik ini dapat kita pahami, dua konsep berbeda yang disebut dengan seks dan gender masih abu-abu, tidak ada pembedaan yang dilakukan mufassir klasik itu.

Baca juga: Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu dan Kontribusinya dalam Studi Al-Quran

Maka kemudian, mulai akhir abad 19 muncul tokoh tafsir feminis di berbagai penjuru negeri. Sebut saja, at-Tahtawi (w. 1873) Qasim Amin (w. 1908) dari Mesir, Amina Wadud dari Amerika, Asma Barlas dari Pakistan, dan lain sebagainya. Dari Indonesia juga lahir banyak pemikir tafsir feminis seperti Zaitunah Subhan, Musdah Mulia, Husein Muhammad. bahkan, tafsir feminis juga melembaga di Indonesia. Yayasan Puan Amal Hayati, salah satunya. Mengutip Farid Muttaqin dalam Feminist Interpretation of The Quran, yayasan yang berdiri sejak 21 tahun silam ini selain memiliki misi untuk mengawal pesantren dan madrasah dalam menciptakan sarana pendidikan yang setara gender, juga untuk mengenalkan perspektif feminis dalam memahami teks agama, Al-Quran dan Hadis.  Dari Puan ini kemudian Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) lahir sebagai lembaga yang concern pada pembacaan Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan feminis.

Baca juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender

Munculnya tafsir feminis berikut gerakannya ini dilatari oleh kesadaran atas kesetaraan gender. seperti yang dikatakan Amina Wadud dalam Women in Quran dan begitu pun Asma Barlas dalam Believing Women in Islam, tafsir-tafsir yang kemudian menjadi kiblat mayoritas masyarakat muslim, tidak mewakili pengalaman perempuan dan terkesan eksklusif karena ditafsirkan oleh laki-laki.

Selain itu juga karena tafsir klasik yang berbentuk tahlili, menurutnya kurang utuh dalam menuangkan maksud Al-Quran. Tafsir bentuk ini memang bersifat atomistik, karena disusun secara tartib mushafi, sehingga ayat-ayat yang setema terpisah. Kecenderungan tafsir klasik pada analisis bahasa, sampai terkesan abai pada pesan universal ayat, turut menjadi motif munculnya tafsir feminis. Atas dasar motif-motif tersebut, tokoh tafsir feminis dengan kesadaran kesetaraan gendernya kemudian merumuskan tafsir menggunakan teori mereka masing-masing.

Paradigma tafsir feminis

Paradigma secara sederhana berarti kerangka berpikir yang mapan. Artinya, mengutip Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions, paradigma ini bisa kita artikan dengan teori, hukum, pendekatan, instrumen, aplikasi, atau apa pun itu yang bisa disebut sebagai cara menyelesaikan masalah, yang ditelah disepakati oleh sekelompok orang.

Bila dikaitkan dengan tafsir feminis, maka paradigmanya antara lain berupa pijakan dasar dalam membaca ayat-ayat relasi laki-laki dan perempuan dengan perspektif feminis. Menurut Nasaruddin Umar dalam Argumentasi Kesetaraan Gender, pijakan dasar ini ialah dengan melakukan pembedaan konsep seks dan gender. Seks dipahami sebagai sesuatu yang tak bisa dirubah dalam diri manusia, yaitu sesuatu yang bersifat biologis –jenis kelamin, misalnya-. Sementara gender terbentuk oleh konstruksi sosial –sederharanya bisa kita artikan dengan peran-. Pada yang kedua ini, tafsir feminis tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan.

Baca juga: Laleh Bakhtiar dan Kontribusinya Dalam Kajian Tafsir

Selanjutnya, ayat-ayat yang berhubungan dengan relasi laki-laki dan perempuan dibaca secara komprehensif dengan metode tematik dan pendekatan kontekstual –seperti yang populer dilakukan mufasir kontemporer). Pendekaran ini beraneka ragam istilah. Tiap tokoh bahkan memiliki istilah sendiri. Misalnya, Amina Wadud dengan hermeunitika tauhidik, Asma Barlas menggunakan anti-patriarchal approach, yang terbangun dari argumentasi sejarah dan hermeunitika Fazlur Rahman, Zaitunah Subhan dengan suspicious exegesis-nya, Faqihuddin Abdul Kodir dengan Qiraah Mubaadalah-nya, dan masih banyak lagi tentu saja.

Meski memiliki beraneka istilah, tafsir feminis secara umum memegang prinsip yang relatif sama. Prinsip ini disarikan dari Al-Quran, yang antara lain ialah keadilan (al-‘adalah), kesetaraan (al-musawah), kemaslahatan (al-mashlahah), kepantasan (al-ma’ruf), dan musyawarah (as-shura). Dan, tujuannya pun juga sama, menghasilkan tafsir yang setara gender, yang menjadi salah satu langkah penting untuk menghentikan tindak kekerasan terhadap perempuan melalui jalan kritik ideologi patriakhi yang masih menjadi common sense di sebagian masyarakat. Wallahu a’lam[]

Halya Millati
Halya Millati
Redaktur tafsiralquran.id, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

skenario di balik pewahyuan Alquran

Skenario Tuhan di Balik Pewahyuan Alquran

Pewahyuan Alquran merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah peradaban manusia. Lebih dari sekadar kitab suci, Alquran yaitu mukjizat yang mencakup dimensi spiritual, sosial, dan intelektual. Pewahyuannya...