Secara umum, budaya merupakan buah pikir dan batin manusia yang berkesadaran dalam bentuk kepercayaan, kesenian, maupun adat istiadat. Budaya kerap kali berkaitan erat dengan agama seiring berkembangnya peradaban manusia. Berkumpulnya dua entitas tersebut menghasilkan keragaman dan corak bagi keduanya.
Toleransi terhadap kebudayaan dalam Islam dapat dilihat melalui teks Alquran itu sendiri. Sebagai wahyu, Alquran diturunkan dengan keistimewaan yang melekat dengan budaya masyarakat Arab kala itu, yakni bahasa. Dahulu masyarakat Arab memiliki tradisi lisan yang kental. Masyarakat Arab terbiasa dengan menghafal, dan bersyair. Kala itu, kontes syair sering diselenggarakan dalam waktu tertentu di sebuah tempat yang disebut pasar Ukaz.
Pemilihan Bahasa Arab sebagai sarana penyampai wahyu dikarenakan manusia sebagai makhluk tidak dapat menerima pesan tuhan. Untuk itu diperlukan media perantara berupa bahasa yang dalam hal ini Bahasa Arab. Allah berfirman dalam Q.S Az-Zukhruf [43]:3
اِنَّا جَعَلْنٰهُ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَۚ
Sesungguhnya Kami menjadikannya sebagai Al-Qur’an yang berbahasa Arab agar kamu mengerti
Tafsir kemenag menjelaskan, pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa Alquran berkaitan erat dengan objek dakwah Rasulullah kala itu yakni masyarakat Arab. Melalui bahasa Arab, tidak ada alasan lagi bagi orang-orang kafir tidak dapat memahami Alquran.
Baca Juga: Mimpi Imam Hamzah dan Kemuliaan Penjaga Alquran
Merujuk pada tulisan Nasr Hamid, Alquran diturunkan dengan mengikuti budaya manusia. Dengan kata lain, teks Alquran merupakan produk dari budaya Arab yang ada kala itu. Artinya Alquran diturunkan sesuai dan mengikuti konteks turunnya ayat. Tujuannya tidak lain untuk memudahkan manusia memahami pesan Tuhan (Tekstualitas Alquran, hlm. 19).
Lebih dari itu, Alquran juga menjadi produsen kebudayaan baru dan ilmu pengetahuan. Nasr hamid memahami produsen budaya dalam arti Alquran menjadi acuan teks-teks yang diproduksi setelahnya (Tekstualitas Alquran, hlm 20). Hal ini dapat dilihat pada perkembangan Islam pasca Rasul yang banyak melahirkan disiplin keilmuan baru dari Alquran.
Contoh kecil ketika kekhalifahan Abu Bakar, Umar merekomendasikan kodifikasi Alquran. Meski sempat mendapat pertentangan, akhirnya disetujui. Melalui peristiwa ini, Alquran dapat dipelajari melalui teks dan pada perkembangan berikutnya terus mengalami modifikasi sehingga menjadi Alquran yang kita temui sekarang.
Abdullah Saeed menambahkan dalam keseharian masyarakat Alquran juga memunculkan tradisi baru. Dalam konteks ini, tradisi baru bukan berupa teks melainkan perbuatan, prilaku sehari-hari. Ia mencontohkan seperti pembacaan ayat-ayat tertentu pada acara pribadi maupun publik. Pada aspek yang lain ia menuliskan bahwa setidaknya terdapat satu mushaf Alquran di tiap rumah seorang muslim (The Quran An Introduction, hlm. 84-87).
Di Indonesia sendiri terdapat beragam adat yang bercorak Islami. Beberapa budaya tersebut antara lain, mendoakan orang meninggal sesuai perhitungan 7, 40, 100 dan 1000 hari. Baju koko yang di identikkan dengan pakaian muslim. Bedug dan kentongan sebagai sarana penanda waktu salat dikala pengeras suara belum ada, namun kini masih banyak masjid yang menggunakan keduanya sebagai budaya warisan.
Terkait tradisi yang berkenaan dengan Alquran, Ahmad Rafiq menggunakan istilah Pembacaan yang Atomistik terhadal Alquran. Pembacaan yang menganggap setiap bagian dari Alquran memiliki makna tersendiri yang terlepas dari konteks maupun bagian lainnya. Dalam akademik, tulisan ini merupakan awal dari munculnya istilah Living Quran.
Meski toleran terhadap kebudayaan, dalam beberapa hal Alquran memiliki batas toleransi terhadap budaya. Kebudayaan yang berlawanan dengan syariat tidak dapat diterima oleh Islam. Sebagai gantinya, Islam memberi solusi baru atas kebiasaan yang kliru tersebut. Sebagai contoh, masyarakat Arab pra Islam menempatkan perempuan pada posisi yang rendah.
Status tersebut memunculkan serangkaian adat kebiasaan yang menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan seperti perempuan tidak berhak mendapat hak waris, janda yang ditinggal mati suaminya menjadi harta warisan. Bahkan beberapa kabilah memiliki adat mengubur bayi perempuan (Pendidikan Karakter Anak Pra Akil Balig Berbasis Al-Qurán, hlm. 29).
Dalam tradisi masyarakat Jawa, Slametan adalah bukti konkret modifikasi tradisi Hindu-Budha ke tradisi Islam. Sebelum Islam, Slametan berdoa kepada para dewa dan roh di suatu tempat yang dianggap sakral seperti pohon, gunung, sungai dengan menyuguhkan sesaji. Tradisi ini masih banyak dilestarikan sampai saat ini (Slametan: Perkembangannya Dalam Masyarakat Islam-Jawa Di Era Mileneal, hlm. 4).
Baca Juga: Mushaf Kuno dan Ekonomi Kreatif
Ketika Islam masuk, tradisi Slametan tetap dipertahankan dengan menghilangkan praktik kesyirikannya(Islam abangan & kehidupannya, hlm. 87). Doa yang semula ditujukan kepada dewa, kini diganti dengan pembacaan wasilah (fatihah). Sesaji kini diganti dengan tumpeng atau makanan yang dimakan oleh orang-orang yang mengikuti upacara Slametan.
Akhir kata, Islam, Alquran tidak menolak adanya pluralitas budaya. Turunnya Alquran menjadi bukti bahwa Islam tidak dapat terlepas dari konteks budaya. Lebih dari itu, Islam juga turun menjadi produsen budaya. Meski demikian, batas toleransi Islam terhadap budaya ketika sudah menyimpang dari ketentuan hukum syar’i. Pada praktiknya, budaya yang bertentangan dengan Islam tidak semata dihilangkan. Ada kalanya penyebar Islam hanya menghilangkan unsur-unsur yang bertentangan tanpa menghilangkan corak tradisi yang telah ada. Wallahu A’lam.