Kita mafhum bahwa Alquran tidak diturunkan sekali jadi, melainkan secara bertahap dalam unit-unit ayat atau surah selama kurang lebih 23 tahun. Begitu juga, mushaf yang kita pegang hari ini memiliki susunan yang berbeda dengan kronologi penurunan Alquran. Dua kondisi ini memancing rasa penasaran para ulama klasik hingga kontemporer, tradisional dan modern untuk mencari susunan surah berdasarkan urutan penurunannya; dimulai dari al-‘Alaq (96): 1-5 hingga wahyu terakhir yang diperdebatkan oleh para ulama.
Rekonstruksi kronologi di masa modern
Di masa modern, sebagian sarjana muslim mengajukan kronologinya sembari dengan periodisasi yang didasarkan pada kesamaan tema dan makna. Dua yang paling terkenal adalah al-Tafsir al-Hadits karangan Muhammad ‘Izzat Darwazah, yang menjadi bahan disertasi Dr. Aksin Wijaya; dan Fahm al-Qur’an al-Hakim karangan Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Keduanya dibaca secara luas oleh pengkaji studi Alquran di Indonesia.
Satu penulis yang memberikan alternatif kronologis yang luput dari perhatian tradisi akademik di Indonesia adalah Mehdi Bazargan, seorang insinyur dan cendekiawan asal Iran, yang mungkin lebih dikenal dalam studi politik internasional.
Baca juga: Tafsir Tartib Nuzul: al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad ‘Izzat Darwazah
Hal ini disebabkan oleh karir politiknya lebih berkilau dari karir intelektualnya: ia pernah menjabat sebagai pembantu Menteri pada masa jabatan Mohammad Mosaddegh (1952-1953), sebagai Perdana Menteri pertama Republik Islam Iran (1979) dan anggota legislatif Iran (1980-1984).
Di Iran, Bazargan dikenal sebagai pemikir Islam-modernis yang prolifik dalam menulis. Tulisannya beragam, mulai dari hukum termodinamik, tanggapan terhadap Eric Fromme, hingga isu-isu sosial politik yang ramai di masanya seperti relasi Islam dan komunisme, kenabian dan ideologi, hingga bukunya yang akan kita bahas, tentang kronologi penurunan Alquran, yaitu Sayr-e Tahavvul Alquran (ditulis pada 1965-1966, namun diterbitkan pada 1977).
Perkembangan wacana Alquran
Aktivitas politik Bazargan bersama figur pro-demokrasi yang oposan terhadap kekuasaan tirani Syah Reza membuat ia diadili secara militer dan dipenjara pada tahun 1962. Ia dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun. Namun, justru dari tempat inilah lahir tulisan-tulisannya tentang pemikiran Islam, dan di antaranya adalah buku Sayr-i Tahavvul Alquran.
Melalui buku ini, Bazargan mengkritik kesarjanaan muslim awal dan klasik yang ia rasa tertinggal dalam menyusun narasi kesejarahan Alquran dibanding para orientalis, yang diamini juga oleh Morteza Karimi-Nia. Ia mempertanyakan dikotomi Makki-Madani yang berkembang dalam tradisi Ulumul Alquran yang ia anggap tidak konsisten dan tidak memuaskan.
Untuk mampu mendapatkan pemahaman yang baik akan makna ayat-ayat Alquran, menurut Bazargan, perlu membandingkan dan melakukan kerja munasabah dengan ayat dan surat yang turun berikutnya maupun sebelumnya secara tematis.
Bazargan menjadikan kronologi Blachere, yang hampir mirip dengan kronologi Weil maupun Noldeke-Schwally, serta Alquran terbitan Dinasti Qajar (1895), yang memberikan susunan turunnya surah yang diperiodisasi berdasarkan tahun-tahun kenabian, sebagai titik tolak dalam kerja rekonstruksinya.
Baca juga: Tiga Model Penafsiran Alquran Menurut Ibnu Taimiyah
Sementara itu, Blachere menggunakan periodisasi Weil, yang memodifikasi kronologi Makki dan Madani menjadi empat fase: (1) Mekah awal, (2) Mekah tengah, (3) Mekah akhir, dan (4) Madinah. Dalam susunan suratnya yang bisa dilihat di bukunya, Blachere sedikit berbeda dengan susunan Weil maupun Noldeke-Schwally.
Berbekal pengalamannya dalam rumpun ilmu sains, Bazargan menggunakan matematika dan statistik untuk membantunya dalam kerja tersebut. Teknik kerja seperti ini banyak digunakan dalam studi kritik sastra atau lingustik terapan yang dikenal dengan stilometri.
Dalam disiplin ini, gaya penulisan dan bahasa dalam satu teks atau lebih menjadi objek kajian yang diteliti untuk mengevaluasi otentisitas teks, identitas penulis maupun pertanyaan lainnya.
Bazargan merasa bahwa teknik ini memiliki ketelitian yang lebih baik dan mampu memberikan hasil yang lebih definitif dibanding spekulasi historis-intelektual yang banyak ditemukan dalam tradisi ilmu Alquran.
Namun ia juga menolak mengatakan bahwa hasil penelitiannya merupakan yang paling benar dan tidak mungkin keliru. Behnam Sadeghi (2011: 215) dalam jurnalnya yang memodifikasi kronologi Bazargan, mengutip perkataannya bahwa “his proposed chronology should not be taken as rigid because it is statistical in nature and because statistical methods sustain firm conclusions about averages of aggregates rather than individual items.”
Bazargan membagi 114 surah Alquran menjadi 194 blok; ada sebagian surah yang utuh menjadi satu blok, ada lagi yang dipisah menjadi beberapa blok. Misal, Q.S al-Muddatsir (74) dibagi menjadi empat blok, yakni ayat 1-7, 8-10, 11-30 dan 32-56, serta 31. Atau Q.S al-Takatsur (102) yang dibagi menjadi 2 blok, yakni 1-2 dan 3-8.
Baca juga: Menyoal Metode Terjemah Harfiah dalam Penerjemahan Alquran
Dalam pembagiannya tersebut, Bazargan memperhatikan kesatuan tema, pola rima, riwayat dan sejarah, dan, yang berbeda dari biasanya, distribusi panjang ayat yang ia dapat dari grafis kurva karakteristik di semua surah dan blok.
Dari setiap bloknya, ia lakukan perhitungan statistik sampai mendapatkan hasil statistik panjang dasar (base length). Berdasarkan penelitian yang ia lakukan sebelumnya pada surah-surah yang memiliki informasi jelas kapan diturunkannya, ia menemukan panjang dasar setiap surah mengalami kenaikan, artinya, ayat-ayat yang turun di akhir cenderung lebih panjang dan memiliki jumlah kata yang lebih banyak dibanding yang diturunkan sebelumnya.
Menggunakan dasar yang sama, ia menyusun blok-blok tersebut berdasarkan panjang dasarnya, mulai dari yang paling kecil yakni Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5 hingga al-Ma’idah (5): 1-6.
Untuk kebutuhan penyederhanaan grafik yang digunakan, Bazargan mengelompokkan blok-blok tersebut menjadi 23 grup, yang koresponden dengan tahun kewahyuan. Dengan demikian, Bazargan menyusun kronologinya sesuai dengan urutan tahun-tahun kenabian Muhammad s.
Namun demikian, sekali lagi perlu ditekankan bahwa ayat yang ia masukkan ke, sebagai contoh, tahun kedua kenabian, bisa jadi keliru sekitar dua hingga tiga tahun dari pewahyuan yang sesungguhnya.
Penelitian Lanjutan
Behnam Sadeghi memiliki jasa yang besar dalam memperkenalkan kronologi Mehdi Bazargan dan metodologi yang ia gunakan melalui tulisannya berjudul The Chronology of the Qurʾān: A Stylometric Research Program. Sadeghi juga memodifikasi hasil penelitian Mehdi Bazargan dan membuat pengelompokkan yang lebih besar namun tetap menggunakan metode yang sama, agar sampling error-nya lebih sedikit.
Penelitiannya memantik perhatian banyak sarjana studi Alquran di Eropa dan Amerika Utara, di antaranya ialah Marianna Klar (2017: 65-88) yang mengeksplor konsekuensi kronologi Bazargan dalam pemahaman tentang struktur surah.
Di Malaysia kerja stilometri berdasarkan surah-surah yang mengandung sumpah (qasam) dalam Juz ‘Amma juga dilakukan, oleh Ahmad Alqurneh, Aida Mustapha (2014: 14-18). Sayang sekali, di Indonesia nampaknya metodologi ini masih terasa asing dalam studi Alquran. Semoga tulisan ini mampu memantik diskusi serupa. Allahu a’lam.