Perbedaan adalah kenyataan. Langit dan bumi, siang dan malam, hitam dan putih, laki laki dan perempuan, adalah contoh nyata perbedaan. Perbedaan tampak nyata, tetapi tetap dalam buana yang sama. Makro dan mikrokosmos sebagai kreasi Allah al-Khaliq (Sang Pencipta) mendorong kesadaran pada manusia bahwa dirinya dan dunia di luar dirinya memiliki rona dan ciri yang berbeda. Berbeda pasti menegaskan ciri masing-masing. Namun, perlu diingat bahwa hakikatnya ia ada dalam kebersatuan kealaman yang tercipta.
Penyebutan laki-laki (dzakar) dan perempuan (untsa), dapat ditegaskan maknanya pada Q.S. Alhujurat: 13;
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”
Dalam Tafsir Kementerian Agama (2019) dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa). Allah menjadikan mereka berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemooh, tetapi supaya saling mengenal dan menolong.
Allah tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan, atau kekayaannya karena yang paling mulia di antara manusia pada sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya. Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu selalu ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan. Padahal menurut pandangan Allah, orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling takwa kepada-Nya.
Baca juga: Isyarat Alquran tentang Relasi Silih Asah Asih Asuh antara Suami Istri
Kedua jenis manusia disebutkan secara jelas pada kata dan makna yang berbeda. Yang satu punya ciri yang berbeda dengan yang lainnya. Penyebutan kata dzakar dan untsa dengan kata sambung waw (dan) menentukan perbedaan individu yang disebut di antara kata sambung ini. Berarti, ada dua hal yang berbeda. Dua hal ini bersatu dan secara generatif akan menghasilkan fenomena sosial berupa bangsa dan suku (syu’ub wa qaba’il). Karena banyaknya kedua hal ini, redaksi yang disebutkan dalam bentuk jamak.
Dzakar dan untsa disebutkan dalam bentuk singular sementara syu’ub dan qaba’il disebutkan plural. Secara sederhana, yang banyak berasal dari penyatuan sesuatu yang sedikit kemudian bersatu dan berkembang.
Pasangan yang berawal dari berbeda ini akhirnya bersatu dalam ikatan suci dengan perintah-Nya. Tak dipungkiri keduanya berasal dari karakteristik yang berbeda. Keduanya memiliki perbedaan dalam struktur jasmani, konasi, tampilan diri, hingga hubungan sosial. Namun, Allah berikan satu potensi yang mengarah pada penyatuan, dengan kehendak saling menyayangi dan generatif.
Fenomena pasangan ini, sekaligus menjadi bukti dari tanda kekuasaan-Nya. “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Arrum: 21).
Pernikahan menjadi contoh substantif dari penyatuan pasangan yang di dalamnya terdapat perbedaan. Karena berpasangan, hendaknya masing-masing memahami perbedaan sehingga perbedaan bukan untuk memisahkan. Perbedaan menjadi pengikat dalam kesatuan. Kesatuan dalam penciptaan yang sama oleh-Nya, visi hidup, dan potensi generatif untuk masa depan.
Baca juga: Surah Arrum [30] Ayat 21: 3 Tujuan Pernikahan Menurut Alquran
Kalau kita perhatikan, reaksi kimia akan terjadi biasanya apabila komponen zatnya berbeda. Ia menyatu menghasilkan jenis tertentu. Hidrogen bereaksi dengan oksigen, akan menghasilkan air (H2O). Natrium dan klorida bereaksi menghasilkan NaCl, yang disebut dengan garam. Apa yang ada di kosmos ini, bersatu yang berawal dari sesuatu yang berbeda. Pun, demikian, laki laki dan perempuan sesuai tuntutan-Nya bersatu, menikah, dan menghasilkan keturunan.
Kalau kita lihat pemahaman Q.S. Arrum: 21 yang populer dihubungkan dengan pernikahan, pengikat perbedaan menjadi penyatuan adalah sakinah, mawadah, dan rahmah. Ketiga komponen ini satu sama lain saling berkaitan meskipun secara definitif dapat dijelaskan perbedaan masing-masing. Sakinah menjadi suasana ketenangan dalam penyatuan kehidupan bersama. Mawadah merepresentasikan perasaan cinta pada pasangan. Mawadah menjadi daya untuk generatif. Hasrat bersatu dalam potensi seksualitas menjadi pendorong dalam melahirkan generasi. Rahmah sebagai wujud kasih sayang di antara dua belah pihak, saling melindungi, saling mengayomi, dan saling menjaga.
Pernikahan yang samawa (sakinah, mawadah, dan rahmah), menjadi contoh yang digariskan oleh-Nya, untuk dijadikan bahan untuk tafakur, yang tentunya oleh manusia yang berkehendak untuk memahaminya.
Tafakur mengantarkan pemahaman yang mendalam. Sebab, kata tafakur yang berasal dari kata dasar fikr, diartikan berfikir yang di dalamnya menghubungkan satu konsep pada konsep yang lain. Penyebutan beberapa konsep pada Q.S. Arrum: 21 seperti sakinah, mawadah, dan rahmah, masing-masing punya konsep dan karena ada pada satu pernyataan ayat, semuanya memiliki ketersambungan konsep. Keempat konsep ini berbeda dalam kata dan makna, tetapi tetap bersatu dalam maksud ayat.
Baca juga: Childfree dan Tujuan Pernikahan dalam Tafsir Surah Arrum Ayat 21