“Menjadi seorang guru adalah menjadi teladan”. Demikianlah ungkapan singkat namun penuh makna. Peran guru sebagai sosok digugu dan ditiru sampai kapanpun takkan pernah terganti. Begitu sentralnya peran seorang guru, sehingga mampu mempengaruhi karakter seorang murid. Oleh karena itu, pada artikel kali ini, kita akan mengulas lima pokok kriteria memilih guru bagi seorang pelajar menurut Al-Quran. Simak ulasannya.
Memiliki Kemampuan Manajerial yang Matang
Dalam Kurikulum 2013, memiliki kemampuan manajerial yang matang disebut kompetensi pedagogik. Kompetensi ini meniscayakan kemampuan guru dalam merancang pelaksanaan pembelarajan, mengelola kelas, memahami karakter peserta didik dan mampu mengembangkan kemampuan peserta didik. Kemampuan manajerial atau pedagogik ini tergambar dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 70, 71, 72, 75, 76, dan 78.
قَالَ فَاِنِ اتَّبَعْتَنِيْ فَلَا تَسْـَٔلْنِيْ عَنْ شَيْءٍ حَتّٰٓى اُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا ࣖ فَانْطَلَقَاۗ حَتّٰٓى اِذَا رَكِبَا فِى السَّفِيْنَةِ خَرَقَهَاۗ قَالَ اَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ اَهْلَهَاۚ لَقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا اِمْرًا قَالَ اَلَمْ اَقُلْ اِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا
Dia berkata, “Jika engkau mengikutiku, janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang apa pun sampai aku menerangkannya kepadamu.” Kemudian, berjalanlah keduanya, hingga ketika menaiki perahu, dia melubanginya. Dia (Musa) berkata, “Apakah engkau melubanginya untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh, engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar.” Dia berkata, “Bukankah sudah aku katakan bahwa sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku?”
Baca Juga: Pentingnya Membangun Nalar Argumentatif
Kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir di atas dapat menjadi pelajaran penting bagi seorang guru untuk dapat memiliki kompetensi pedagogik secara matang. Nabi Khidir sebenarnya sudah memahami karakter Nabi Musa yang “agak bebal”. Oleh karenanya, ia menanyakan kepadanya, “apakah engkau mampu mengikutiku?”. Lantas Nabi Musa menimpali, “ya, aku bersedia”. Namun di tengah perjalanan, Nabi Musa gerah dan tak tahan untuk tidak mempertanyakan kelakukan gurunya, Nabi Khidir yang menurutnya “nyeleneh”.
Nah, di sinilah letak ketegasan sang guru. Dengan nada tegas, Nabi Khidir berkata “jika engkau mengikutiku, jangan banyak bertanya”. Kalimat tersebut ia tegaskan beberapa kali. Namun, karena karakter Nabi Musa yang penasaran sekali, ia tak tahan untuk tidak mengomentari kelakuan “nyeleneh” gurunya. Puncaknya, Nabi Khidir dengan tegas berkata “Inilah waktu perpisahan antara aku dan engkau. Aku akan memberitahukan kepadamu makna sesuatu yang engkau tidak mampu bersabar terhadapnya”, sebagaimana terlukiskan dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 78.
Dari kisah tersebut, ada dua hikmah yang dapat diambil. Pertama, bagi seorang guru harus tegas dalam mendidik, ia harus paham betul mengenai batasan-batasan dalam mengajar. Yang kedua, bagi seorang peserta didik, ia harus menaati perintah sang guru selama tidak melanggar ketentuan syariat dan bersabar untuk tidak meluapkan segala pertanyaannya kecuali dipersilahkan oleh gurunya.
Dapat menjadi Teladan
Bagi seorang pelajar, patut kiranya memilih guru yang dapat menjadi teladan yang baik (uswah hasanah). Atau dalam kurikulum 2013, teladan yang baik merupakan bagian dari kompetensi kepribadian. Dan ini harus dimiliki oleh seorang guru. Rasul saw sendiri mencerminkan sosok guru yang dapat menjadi teladan bagi para keluarga, sahabat dan umatnya sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Ahzab [33]: 21,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah. (Q.S. al-Ahzab [33]: 21)
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menafsirkan kata uswah atau iswah berarti teladan. Shihab menjelaskan makna uswah dengan menyitir penafsiran al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf bahwa ada dua kemungkinan tentang maksud keteladanan yang terdapat dalam diri rasul itu. Pertama, dalam arti kepribadian beliau secaa totalitasnya adalah teladan. Kedua, dalam arti terdapat dalam kepribadian beliau hal-hal yang patut diteladani. Pendapat pertama lebih kuat dan merupakan pilihan banyak ulama. Lanjut Shihab, pakar tafsir dan hukum, al-Qurtubi, mengemukakan bahwa dalam soal-soal agama, keteladanan itu merupakan kewajiban, tetapi dalam soal-soal keduniaan maka ia merupakan anjuran.
Selain menjadi teladan, bagi seorang guru wajib memiliki karakter yang penyantun dan penyayang terhadap peserta didik, baik peserta didik yang taat maupun sebaliknya. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam Q.S. al-Taubah [9]: 128,
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin. (Q.S. al-Taubah [9]: 128)
Tidak cukup di situ, di dalam Al-Quran surah Thaha ayat 44, guru juga hendaknya berbicara lembut (tidak kasar) dan menenangkan sekalipun kepada peserta didik yang dianggapnya bebal dan menjengkelkan. Kata Allah, “faqula lahu qaulan layyina la’allahu yatadzakkaru au yakhsya” (maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”).
Mudah Memaafkan dan Suka Bermusyawarah (Hablun Minannas)
Kriteria ketiga yang harus diperhatikan seorang pelajar dalam memilih guru adalah pilihlah guru yang mudah memaafkan dan suka bermusyawarah atau berdikusi bersama. Dalam kurikulum 2013, kriteria ketiga ini disebut juga kompetensi sosial. Hal ini dilukiskan Allah swt dalam Q.S. Ali Imran [3]: 159,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (Q.S. Ali Imran [3]: 159)
Ahli di Bidangnya
Kriteria keempat berikutnya adalah pilihlah sosok guru yang memiliki ekspertasi di bidangnya sehingga ia memiliki kompetensi dan pemahaman yang mendalam, tidak sepotong-potong. Atau kalau di dalam istilah kurikulum 2013, kompetensi semacam ini disebut kompetensi profesional seperti yang dinyatakan Allah swt dalam Q.S. Al-Anbiya’ [21]: 7, “bertanyalah kalian kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui”.
Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Epistemologi ‘Irfani dalam Pendidikan Islam
وَمَآ اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad) melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 7)
Memiliki Kedekatan dengan Allah SWT (Hablun Minallah)
Terakhir, pilihlah seorang guru yang memiliki kedekatan yang baik dengan Allah Swt sebab ia akan selalu dalam bimbingan Allah dan kecil kemungkinan akan terperdaya oleh hawa nafsu. Inilah yang kami sebut dengan kompetensi spiritual. Betapa banyak fenomena guru belakangan ini yang mencabuli anak didiknya, bersikap keras, memukuli dan mencemooh (bully) anak didiknya sendiri, bisa jadi disebabkan renggangnya hubungan dia dengan Allah swt. Karenanya, kedekatan yang baik kepada Allah akan memberi nilai tambah sehingga ilmu yang dipelajari benar-benar memberi kemanfaatan bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. al-Sajdah [32]: 16,
تَتَجَافٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ
“Lambung (tubuh) mereka jauh dari tempat tidur (untuk salat malam) seraya berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut (akan siksa-Nya) dan penuh harap (akan rahmat-Nya) dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (Q.S. al-Sajdah [32]: 16
Bentuk kedekatan kepada Allah swt salah satunya, menurut ayat di atas, adalah mendirikan shalat malam dengan memohon ampun kepada Allah dan menginfakkan sebagian rizki yang dimiliki untuk orang lain, dan tidak memperkaya diri sendiri. Wallahu A’lam.