Salat bukanlah semata hubungan antara manusia dengan Allah, tetapi juga berpengaruh pada hubungan dengan sesama manusia. Karena esensi dari salat adalah aplikasi nilai salat dalam kehidupan sosial. Hikmah salat sebagai kontrol sosial telah dijelaskan dalam dalam Surah Al-Ankabut [29] ayat 45, yang berbunyi:
اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Tafsir Surat Al-Ankabut Ayat 45 Salat Sebagai Kontrol Sosial
Dalam Tafsir al-Maraghi dijelaskan bahwa pada ayat ini Rasulullah diberi tuntunan oleh Allah untuk memperteguh jiwa dalam melakukan dakwah dengan selalu membaca, merenungkan dan memahami isi dari wahyu dan hendaknya mendirikan salat secara sempurna seraya mengharapkan keridaannya dengan khusyu dan tawadhu.
Menurut Quraish Shihab, salat adalah permohonan yang ditujukan oleh pihak yang rendah lagi membutuhkan kepada pihak yang lebih tinggi dan Maha Segalanya. Salat menggambarkan kelemahan manusia dan kebutuhannya kepada Allah sekaligus menggambarkan keagungan dan kebesaranNya.
Baca Juga: Membangun Resiliensi Diri dengan Sabar dan Salat
Imam Jalaluddin al-Suyuthi menuturkan bahwa secara syariat seharusnya salat bisa menjadi benteng bagi seseorang dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar, selagi dia benar-benar mengerjakannya. Sama halnya menurut Ibnu Katsir dalam salat itu mengandung dua hikmah, yaitu dapat menjadi pencegah diri dari perbuatan keji dan perbuatan munkar. Maksudnya dapat menjadi pengekang diri dari kebiasaan melakukan kedua perbuatan tersebut dan mendorong seseorang untuk dapat menghindarinya.
Menurut Buya Hamka salat ibarat pintu menuju ke hadapan Ilahi di mana cahayanya masuk melalui lima pintu itu, secara berangsur kegelapan yang terdapat dalam diri seseorang akan menjadi hilang hingga akhirnya ruang hatinya hanya dipenuhi oleh cahaya.
Para mufassir sama-sama bersepakat bahwa salat mengandung dzikrullah yang merupakan rukun terbesar, karena itulah disebutkan dalam ayat diatas: “Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar.” (Al-‘Ankabut: 45). Hal yang paling penting atau substansi dari pada salat adalah dengan mengingat Allah. Artinya jika seseorang dalam melaksanakan salat tidak mengingat Allah maka sesungguhnya seseorang itu tidak dapat dikatakan salat.
Abul Aliyah mengatakan, sesungguhnya di dalam salat itu terkandung tiga pekerti, setiap salat yang tidak mengandung salah satu dari ketiga pekerti tersebut belum menjadi salat yang sempurna; yaitu ikhlas, khusyu’, dan mengingat Allah. Ikhlas akan mendorong seseorang untuk mengerjakan perkara yang baik, khusyu’ akan mencegahnya dari mengerjakan perbuatan munkar, dan dIkrullah’ akan menggerakkannya untuk amar makruf dan nahi munkar.
Nasihat Abdullah bin Alwi al-Haddad Tentang Salat dan Sosial
Fenomena saat ini, banyak dari kita yang melaksanakan salat tetapi masih merasa khawatir, gelisah, selalu kurang, rakus, tidak bersyukur hingga akhirnya melakukan perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar yang merugikan di kehidupan sosial, sebab menurut Imam al-Haddad salat itu tidak dikerjakan dengan dzikrullah atau menghadirkan Allah dalam kesadarannya.
Telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya bahwa subtansi salat adalah mengingat Allah, seharusnya salat dijalankan dengan penuh penghayatan dan kesadaran hati. Karena hudur dan khusyu’ itu akan membuahkan sifat-sifat Ilahi dalam diri musholli yang akan tercermin dalam kehidupan sosial.
Ibarat pergaulan yang pasti berdampak terhadap diri kita, dimana dan dengan siapa kita duduk akan mempengaruhi sifat dan perilaku kita sehari-hari karena seringnya interaksi tersebut. Jika kita membiasakan diri untuk ‘bergaul’ kepada Rabb yang Maha Pengasih dan Penyanyang khususnya dalam salat maka dapat dipastikan salatnya dapat mencegah dirinya dari berbuat keji dan mungkar karena ia selalu takhallaqu bi akhlaqillah (berakhlak dengan akhlakNya).
Baca Juga: Ibrah Surah Alfil: Iri dan Dengki Penyebab Kehancuran
Imam al-Haddad mewanti-wanti kita untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam memperhatikan khususnya salat lima waktu, yakni dengan menyempurnakan kondisi berdirinya, bacaan-bacaannya, kekhusyu’annya, rukuknya, sujudnya dan memperhatikan kesempurnaan rukun-rukun yang lain serta sunah-sunahnya. Bahkan sebelum memasuki salat beliau berpesan untuk dapat mengahdirkan hati dan merasakan kemaha-kebesaran-Nya.
Oleh karena itu hendaknya kita terus-menerus berupaya memperbaiki ibadah salat kita dan sadar bahwa hakikat salat adalah mengingat Allah dan melaksanakannya demi Allah semata. Sebab salat yang dilaksanakan sesuai pedoman Quran dan Sunnah terjamin akan membentuk karakter positif individu serta mampu mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap selaras dengan nilai dan norma sosial. Wallahu a’lam.[]