Kandungan Alquran Perspektif Ilmu Fikih

Kandungan Alquran Perspektif Ilmu Fikih
Kandungan Alquran Perspektif Ilmu Fikih

Kandungan Alquran sungguh sangat luas, bahkan jika lautan menjadi tinta untuk menuliskan kandungannya, niscaya lautan itu akan habis duluan sebelum kandungannya tertulis semua. (Q.S. Al-Kahfi [18]: 109). Untuk memudahkan manusia dalam mempelajari dan memahami kandungannya tersebut, cendekiawan muslim mencoba mengelompokkan kandungannya secara garis besar menjadi tiga hal. Ketiganya sangat berkaitan dengan tata cara manusia menjalankan kehidupan.

  1. Al-ahkâm al-i’tiqâdiyah, yaitu ketentuan-ketentua yang berhubungan dengan konsep tauhid yang terdiri dari keyakinan kepada Allah, malaikat, utusan dan seterusnya.
  2. Al-ahkâm al-khuluqiyah, yaitu aturan-aturan terkait dengan adab dan tata krama. Tujunnya agar manusia bisa berprilaku dengan akhlak yang baik dan melepaskan diri dari sifat-sifat tercela.
  3. Al-ahkâm al-‘amaliyah, yaitu ketentuan hukum yang berkaitan dengan prilaku dan kegiatan manusia sekaligus memberikan penilaian terhadapnya, apakah ia boleh dikerjakan atau tidak. Pada tahap berikutnya, bagian ini disebut dengan fikih yang proses ekstraksinya memerlukan instrumen ushul fikih. [Ushul al-Fiqh al-Islamiy, juz 1, hlm. 438].

Ketiga kategori ini kemudian menjelma menjadi kajian ilmu tersendiri dalam Islam, yakni ilmu tauhid, akhlak dan fikih.

Tulisan kali ini lebih banyak mengulas mengenai kandungan Alquran yang bernuansa fikih, yakni al-ahkâm al-‘amaliyah. secara umum, kandungan fikih dalam Alquran (maupun fikih secara umum) terpolarisasi menjadi dua bagian; ibadah dan muamalah.

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Fiqhi dan Kitab-kitabnya

Fikih ibadah bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan. Misal, salat dengan segala atributnya, puasa dan ritual-ritual ibadah lainnya yang bertujuan agar manusia menjadi manusia yang soleh secara spiritual. Sedangkan fikih muamalah diproyeksikan untuk mengatur hubungan antar sesama manusia dan makhluk lain. Tujuan disyariatkan fikih muamalah adalah agar manusia dapat membangun relasi yang harmonis dengan sesamanya dan diharapkan tercipta manusia-manusia yang saleh secara sosial.

Masing-masing dari fikih ibadah dan muamalah memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lain, meskipun keduanya dipertemukan dalam rumpun ilmu fikih. Ciri paling umum yang dimiliki fikih ibadah adalah sifatnya yang stagnan dan harus berlandaskan wahyu (baik Alquran atau hadis). Ini berarti, upaya untuk melakukan kreasi dan pembaruan dalam ibadah tertutup rapat. Hal inilah yang kemudian melahirkan sebuah kaidah ushul populer:

الأصل في العبادات الحظر االمنع

“Hukum asal dalam ibadah adalah haram.”  [Talqîh al-Afhâm al-‘Aliyah, juz 2, hlm. 1]

Berbeda dengan fikih ibadah yang kaku dan stagnan, fikih muamalah justru lebih fleksibel dan mampu beradaptasi dengan perubahan. Inovasi-inovasi dalam fikih muamalah terkadang merupakan suatu keniscayaan ketika situasi dan kondisi yang melatarbelakangi hukum tersebut berubah. Tidak seperti ranah ibadah yang harus didasari tuntunan dalil, dalm bermuamalah kita diberi kebebasan untuk berkreasi asalkan tidak melanggar dalil-dalil dan konsep umum yang sudah ada. Dari sinilah lahir sebuah kaidah yang berbunyi:

الأصل في العادات والمعاملات الإباحة والحل

“Hukum asal dalam masalah tradisi dan muamalah adalah boleh.” [Majmûah al-Fawâid al-Bahiyah, juz 1, hlm. 76].

Akan tetapi, seluwes-luwesnya fikih muamalah, ia masih memiliki konsep utama yang tidak dapat berubah dalam kondisi apapun. Alquran dan hadis menjelaskan beberapa hal terkait ketentuan bermuamalah yang tidak dapat diubah-ubah dan berperan sebagai prinsip utama dalam bangunan fikih muamalah. Misalnya, transaksi yang dilandasi unsur kerelaan, bebas gharar, riba, penipuan, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Kejelasan Dalil Surah Al Ikhlas sebagai Sepertiga Alquran

Klasifikasi fikih muamalah

Jika dalam fikih klasik, kita mengenal fikih muamalah terbagi menjadi tiga bagian (yaitu muamalah finansial, pernikahan dan pidana), maka diskursus fikih muamalah kontemporer telah mengklasifikasi fikih muamalah menjadi beberapa bagian. Pembagian ini didasarkan kepada objek yang bervariasi. Dintaranya:

  1. Ahkâm al-ahwâl al-syakhshiyah (hukum keluarga), berkaitan dengan masalah-masalah kekeluargaan dan rumah tangga serta mengatur hubungan antara suami-istri dan sanak famili. Terdapat sekitar 70 ayat dalam Alquran terkait masalah ini.
  2. Al-ahkâm al-madaniyah (hukum perdata/sipil), yaitu ketentuan hukum yang berkaitan dengan transaksi antar manusia dan bertujuan mengatur relasi finansial serta hak dan kewajiban antar masing-masing individu. Terdapat sekitar 70 ayat dalam Alquran terkait masalah ini.
  3. Al-ahkâm al-jinâiyah (hukum pidana), yaitu hukum-hukum yang mengatur masalah tindak kriminal dan segala yang berkaitan dengannya. Ia bertujuan untuk melindungi hak-hak manusia serta mengatur hubungan antara korban dan pelaku. Terdapat sekitar 30 ayat dalam Alquran terkait masalah ini.
  4. Al-ahkâm al-murafa’ât (hukum acara), berkaitan dengan pemutusan sengketa, pendakwaan, metode pembuktian dan semacamnya. Terdapat sekitar 13 ayat dalam Alquran terkait masalah ini.
  5. Al-ahkâm al-dusturiah (undang-undang), yakni ketentuan-ketentuan umum yang dijadikan pegangan oleh hakim dalam menghukumi suatu perkara serta menetapkan hak dan kewajiban bagi setiap individu. Terdapat sekitar 10 ayat dalam Alquran terkait masalah ini.
  6. Al-ahkâm al-dauliyah (hukum tata negara), yakni aturan-aturan terkait dengan ketatanegaraan, terutama menyangkut masalah relasi antara warga muslim dan non muslim serta mengatur hubungan dengan negara lain. terdapat sekitar 25 ayat al-Qur’an terkait masalah ini. [‘Ilm Ushul al-Fiqh Abd al-Wahab Khalaf, 31-32].

Dalam bidang muamalah inilah aktivitas ijtihad menemukan momentumnya. Selain karena proses pembacaa ayat juga membutuhkan proses ijtihad, ayat dan hadis yang tersedia juga terbatas sehingga untuk menjawab kasus-kasus baru yang tidak ditemukan penyelesaiannya dalam nas, dibutuhkan upaya ijtihad untuk merumuskan ketentuan hukum kasus tersebut. Ibnu Rusyd pernah berkata:

أَنَّ الْوَقَائِعَ بَيْنَ أَشْخَاصِ الْأَنَاسِيِّ غَيْرُ مُتَنَاهِيَةٍ، وَالنُّصُوصَ، وَالْأَفْعَالَ وَالْإِقْرَارَاتِ مُتَنَاهِيَةٌ، وَمُحَالٌ أَنْ يُقَابَلَ مَا لَا يَتَنَاهَى بِمَا يَتَنَاهَى.

Sesungguhnya, fenomena yang terjadi diantara manusia itu tidak terbatas, sedangkan nas al-Qur’an maupun hadis (baik hadis qauli fi’li atau taqriri) sangat terbatas. Perkara yang tak terbatas mustahil berhadapan dengan sesuatu yang terbatas. [Bidâyah al-Mujtahid, juz 1, hlm. 9].

Demikian penjelasan singkat terkait kandungan fikih yang ada dalam ayat-ayat Alquran. Semoga bermanfaat.