Makna “al-Abtar” dalam Surah Alkautsar [108]: 3

Pada surah Alkautsar ayat ke-3 terdapat kata al-abtar, yang dalam sabab nuzulnya kata itu digunakan untuk menghina Nabi Saw., sebab Nabi Saw. tidak memiliki keturunan laki-laki. Hinaan tersebut dilontarkan oleh orang-orang kafir Quraish yang membenci Nabi Saw.

Dikisahkan bahwa ayat ini turun ketika Nabi Saw. sedang tidur sejenak, kemudian beliau sontak menengadahkan kepala lalu tersenyum. Sahabat penasaran dan bertanya, “Apa yang membuatmu tersenyum, wahai utusan Allah?” Nabi Saw. menjawab, “Telah diturunkan kepadaku satu surah,” lalu beliau membacanya: Sesungguhnya kami telah berikan kepadamu nikmat yang banyak (1) Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah (2) Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (kebaikannya) (3).

Beliau kemudian menjelaskan bahwa kautsar itu adalah sebuah danau atau telaga yang dipenuhi kenikmatan surgawi khusus kepada umat Islam yang iman dan taat. (Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 22, 519)

Beranjak dari respon Nabi Saw. yang tersenyum bahagia saat menerima surat ini, boleh jadi surah Alkautsar turun untuk menghibur Nabi Saw. yang saat itu tengah menjadi bahan gunjingan orang kafir Quraisy, sebagaimana termaktub dalam ayat ke-3:

إنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَر

Baca Juga: Surat Al-Kautsar: Asbabun Nuzul dan Riwayat Kematian Putra Nabi Saw

Sabab Nuzul

Mayoritas mufasir klasik menghubungkan ayat ini dengan kisah seorang bernama Ash ibn Wail as-Sahmi. Alkisah saat Rasulullah Saw. hendak keluar dari masjid, beliau berpapasan dengannya lalu keduanya berbicara. Selesai berbicara Wail masuk ke dalam menemui para pembesar Quraisy, ia pun ditanya, “Siapa yang kau ajak bicara?” Wail menjawab, “Itu yang tak punya keturunan (abtar).” (Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Jilid 24, 697)

Ar-Razi menambahkan bahwa ada enam pendapat yang menjadi sabab nuzul ayat ini. Pertama, kisah Ash ibn Wail tadi dengan sedikit tambahan saat ia menjawab pertanyaan kaum Quraisy, yaitu “Muhammad yang terputus, tidak punya anak yang bakal menjadi penggantinya. Ketika meninggal dilupakanlah dia,” dan putra beliau dari Khadijah memang baru meninggal kala itu, yakni Abdullah.

Kedua, kisah Ka’ab ibn Asyraf yang mendatangi sekelompok kafir Quraisy, mereka berkata, “Kami keluarga Siqayah dan Sadanah dan kau tuan penduduk Madinah. Kami lebih mulia, sedang Abtar ini (Muhammad Saw.) mengaku lebih mulia dari kita?”, Ka’ab menjawab, “Bahkan kalian yang lebih mulia darinya.”

Ketiga, Ikrimah dan Syahr ibn Hausyab berkata bahwa setelah Nabi Saw. menerima wahyu dan kaum Quraisy diajak masuk Islam, mereka malah memutus hubungan dan membangkang. Sebab itulah Mereka dijuluki mubtarun (orang-orang yang diputus kebaikannya).

Keempat, ayat ini diturunkan kepada Abu Jahal yang selepas meninggalnya putra Nabi Saw., ia membencinya dan mengumpatinya dengan julukan abtar. Untuk kelima dan keenam juga beranjak dari pernyataan paman Nabi Saw. sendiri, Abu Lahab dan Uqbah ibn Abi Muith. (Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 32, 132)

Memang dalam tradisi Arab, seseorang yang tidak mempunyai keturunan laki-laki atau tidak sama sekali, diistilahkan dengan abtar. Secara bahasa kata abtar merupakan sinonim dari kata al-qath’u yang berarti putus.

Dalam konteks pasangan suami istri, yang dimaksud putus adalah keturunanya, baik itu karena mandul atau anaknya meniggal. Penyandingan julukan abtar tentu tiada lain hanya sebagai hinaan dan celaan terhadap pasangan yang mendapat musibah tersebut.

Baca Juga: Hubungan Unik Surat Al-Maun dan Al-Kautsar

Tafsiran Ayat

Secara umum, semua mufasir sepakat mengartikan kata syaniun adalah musuh atau pembenci. Sedangkan kata abtar masih terjadi beberapa perbedaan pemaknaan. Secara lebih rinci, al-Thabari memaparkan beberapa kutipan ulama-ulama besar lainnya yang menunjukkan perbedaan tersebut. Di antaranya beliau mengutip dari Ibnu Hamid, bahwa Said ibn Jabir mengartikan ayat tersebut dengan musuhmu, Ash ibn Wail yang terputus (hubungan) dengan kaumnya.

Atau mengutip dari Abdul Ali, yang mengatakan bahwa Qatadah mengartikan kata abtar dengan sesuatu yang tidak memiliki akhir (tujuan); atau sesuatu yang rendah, hina, kotor dan tercela. Dari pada itu, al-Thabari kemudian mengambil sebuah kesimpulan yang lebih benar -hal ini memang gaya penafsiran al-Thabari- bahwa seorang yang membenci Rasulullah Saw. pasti hina dan tercela, dan sifat ini memang disandingkan kepada mereka yang suka membenci orang lain. (Ibnu Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Jilid 24, 800-801)

Lain hal dengan penafsiran yang dilakukan ar-Razi, menurutnya, ayat yang terakhir bermakna hinanya orang-orang kafir yang membenci, mencela serta menyifati Nabi Saw. dengan bermacam sifat buruk, adalah sebagai pujian kepada Nabi Saw. tentang berbagai keutamaan dan kenikmatan yang telah dianugerahkannya, sebagaimana jelas dalam ayat pertama.

Dengan al-kaustar yang kenikmatannya tidak dapat digambarkan dengan sesuatu, yang menampung semua kebaikan dunia dan akhirat, Allah kemudian memerintahkan sebuah ketaatan. Ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan badan, yakni salat dan zakat (kurban), serta ketaatan hati berupa tujuan ibadah yang lillah (karena Allah semata). (Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 32, 135)

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengumumkan Berita Kematian

Hikmah Ayat

Dalam Islam, siapa pun yang menghina orang lain, sesungguhnya ia menghina dirinya sendiri. Setidaknya begitulah maksud dari ayat ke-3 dari surah Alkautsar. Dengan ayat tersebut, Allah Ta’ala ingin menjelaskan bahwa setelah orang-orang kafir Quraisy menyifati Nabi Saw. dengan sifat buruk,  yakni abtar, seyogianya merekalah yang menyandang sifat itu, layaknya bumerang.

Sebab pemaknaan kata abtar dalam Alquran tidak berhenti sebagaimana dalam istilah yang dipakai orang Arab dahulu. Abtar secara lebih luas diinterpretasikan sebagai putusnya kebaikan, pertolongan, kekuatan dan semacamnya. Maka, hal tersebut sungguh terbukti, ketika kafir Quraisy mengklaim bahwa Nabi Saw. tidak mempunyai kekuatan dan penolong, sejarah berkata lain, Islam justru semakin meluas hingga ke berbagai penjuru dunia.

Wallaahu a’lam.