Tafsir Surah Alnisa’ [4]: 135; Prinsip Keadilan dalam Akuntansi

Prinsip Keadilan dalam Akuntansi
Man judge is currently advising clients on their requests for legal proceedings and legal advice.

Akuntansi adalah sistem informasi yang memberikan laporan kepada pengguna informasi akuntansi atau yang memiliki kepentingan terhadap hasil kinerja dan kondisi keuangan perusahaan. Dalam bahasa bisnis, akuntansi juga disebut sebagai informasi bisnis yang dikomunikasikan kepada stakeholders melalui laporan akuntansi. Alurnya berawal dari transaksi bisnis yang akan dianalisis, dicatat dan akhirnya dilaporkan lewat laporan akuntansi yang merupakan media komunikasi akuntansi. (Hery, Cara Mudah Memahami Akuntansi: Inti Sari Konsep Dasar Akuntansi, 7)

Syakir Jamaluddin dan Mukhlis Rahmanto menyebutkan bahwa akuntansi memiliki 3 prinsip di dalam Alquran, yaitu pertama, prinsip pertanggungjawaban, kedua, prinsip keadilan, dan ketiga, prinsip kebenaran (Tafsir Hadis Ahkam: Ekonomi dan Bisnis, 156). Dalam tulisan ini pembahasannya difokuskan pada prinsip keadilan. Salah satu ayat yang membahas mengenai prinsip tersebut adalah  surah Alnisa’ [4]: 135.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan“.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 133-135

Sabab Nuzul Ayat

Asbath meriwayatkan dari as-Suddiy bahwa ayat ini turun pada Nabi Saw. berkenaan dengan adanya orang kaya dan orang miskin yang adu mulut, lalu mengadukan kepada Nabi Saw. Sementara, kecenderungan Nabi Saw. pada si fakir, karena dalam pandangan Nabi Saw. tidak mungkin orang fakir menganiaya orang kaya. Namun, Allah enggan dengan sikap semacam ini, melainkan Nabi Saw. harus memberikan keputusan berdasarkan pada keadilan mengenai urusan si kaya dan si miskin. (Al-Wahidi An-Nisaburi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Alquran, Terj. Moh. Syamsi, 286)

Sebab Kekacauan Karena Tidak Ada Lagi Keadilan

Hamka menafsirkan kata qawwamina dalam ayat ini dengan makna berdiri tegak, sadar dan membela. Artinya, tidak mau tunduk kepada siapapun yang hendak meruntuhkan keadilan yang ditegakkan. Keadilan ini dipakai juga pada kata al-qisti yang berarti jalan tengah dan tidak berat sebelah. Dalam menjadi saksi karena Allah, artinya berani mengatakan kebenaran. Sebab, keadilan dan kebenaran adalah dua arti dari maksud yang satu. Sesuatu itu adil, sebab ia benar dan sebaliknya. Oleh karena itu, hendaklah berani menyatakan kesaksian atas keadilan itu karena Allah. Dengan pertanggungjawaban kepada Allah, sehingga tidak lagi takut ancaman sesama manusia yang berusaha memungkiri keadilan itu.

Lebih lanjut, beliau menafsirkan ketika seseorang berani menegakkan keadilan meskipun mengenai diri sendiri adalah segala puncak dari segala keberanian. Selain itu juga, diminta menegakkan keadilan mengenai ibu-bapak dan keluarga. Memang berat jika menegakkan keadilan itu akan merugikan mereka, tetapi perlu diingat bahwa yang ditegakkan adalah keridaan Allah. Sehingga, yang berat akan jadi ringan.

Menghormati dan membela mereka dalam kebenaran dan keadilan tidak lain bertujuan agar masyarakat tidak kacau balau. Dengan demikian, janganlah membantu dalam kezaliman serta merampas hak orang lain. Sebab adanya kekacauan karena tidak ada lagi keadilan, dan dampak dari bahayanya akan menimpa semua orang, tanpa terkecuali yang berbuat zalim itu sendiri. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 1466-1467)

M. Quraish Shihab mengutip Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan bahwa penegakan keadilan serta kesaksian dapat menjadi dasar menampik mudarat yang dijatuhkan. Maka, wajar jika keadilan lebih diutamakan daripada menolak mudarat atas orang lain. Atau, karena penegakan keadilan membutuhkan kegiatan berbentuk fisik, sedangkan kesaksian hanya berupa ucapan yang disampaikan. Sehingga, tentu saja kegiatan fisik lebih berarti daripada sekadar ucapan. (Tafsir Al-Misbah, Jilid 2, 617)

Baca Juga: Islam Menyerukan Keadilan Sosial, Begini Penjelasan Para Mufassir

Keadilan Tetap Sama Dihadapan Si Kaya dan Si Miskin

Adapun keadilan dihadapan orang kaya maupun miskin adalah sama. Jadi, jangan sampai menegakkan keadilan karena terpengaruh kekayaanya ataupun kemiskinannya. Sebab, kesaksian adalah untuk Allah, bukan manusia. Keadilan adalah mizan illahi di muka bumi. Untuk membela yang lemah, jangan ada kesewenangan oleh yang kuat dan untuk mempertahankan yang jujur, jangan dicurangi oleh si pendusta. Dengan keadilanlah masyarakat diatur jadi baik. Jangan sampai hawa nafsu memalingkanmu dari kebenaran, sehingga keadilan tidak jadi ditegakkan.

Andaikata dalam pencarian kebenaran dan penegakan keadilan melibatkan hawa nafsu, dipastikan akan menambah kacau keadaan, sehingga pemeriksaan dan penyelidikan menjadi lama dan susah. Kebenaran akan tetap ada meskipun kecurangan menutupinya. Karena hakikat kecurangan itu tidak ada. Sehingga, berpaling dari keadilan karena dorongan hawa nafsu justru hanya mempersulit diri sendiri. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 1467-1468)

Menyebarkan Rahmat Butuh Keadilan

Dalam perkembangannya, akuntansi dipengaruhi banyak faktor, salah satunya adalah bentuk organisasi. Iwan menjelaskan bahwa organisasi tidak lain adalah amanah. Amanah menyebarkan rahmat (kebaikan, kesejahteraan, kemudahan) bagi seluruh alam (manusia dan makhluk lainnya). Tidak saja memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia (stakeholders), tetapi juga terhadap kesejahteraan (kelestarian) alam. Meskipun begitu, manusia dalam merefleksikan misinya bukan tanpa aturan, karena penerima amanah terikat pada aturan yang dikehendaki pemberi amanah (Surah Shad [38]: 26).

Allah menghendaki organisasi yang dikelola manusia harus dilakukan dengan cara-cara yang adil. Dalam hal ini, adil sebagai penerima amanat (manusia) dapat menggunakan potensi internal yang dimilikinya secara baik dan seimbang. Potensi itu adalah akal dan hati nurani. Dengan kedua potensi ini, diharapkan manusia mampu membaca kehendak Allah, baik yang dinyatakan secara verbal maupun non-verbal. (Iwan Triyowono, Akuntansi Syari’ah: Implementasi Nilai Keadilan dalam Format Metafora Amanah,12)

Lantip Susilowati menjelaskan dalam konteks akuntansi, keadilan itu bersifat fundamental dan berpijak pada nilai-nilai etika atau syariah dan moral. Sederhananya, adil dalam akuntansi adalah pencatatan dengan benar setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahaan. Seperti yang dijelaskan dalam Alquran surah Alsyu’ara [26]: 181-184. “Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, (181) dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. (182) Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan; (183) dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu. (184)“. (Lantip Susilowati, Tanggungjawab, Keadilan dan Kebenaran Akuntansi Syariah, 304-305).

Baca Juga: Semangat Filantropi dalam Al-Quran dan Keadilan Ekonomi

Kesimpulan

Dari pemaparan singkat di atas, dapat dipahami bahwa prinsip keadilan dalam akuntansi adalah penting. Prinsip-prinsip tersebut tidak lain adalah bahwa kekacauan akan datang manakala tidak ada lagi keadilan, karena sesuatu itu dikatakan adil apabila benar atau sebaliknya. Prinsip lainnya adalah antara si kaya dan si miskin itu sama dihadapan keadilan. Dengan begitu, kebenaran akan tetap ada meskipun kecurangan menutupinya. Prinsip terakhir yaitu, butuh keadilan dalam menyebarkan rahmat, karena tidak hanya kesejahteraan manusia (stakeholders), tetapi juga kesejahteraan (kelestarian) alam.

Wallahu a’lam bishshawab.