Artikel sebelumnya sudah dibahas mengenai pengertian “nur” atau cahaya menurut para mufasir. Cahaya bagi mereka adalah esensi Ilahi atau perwujudan Allah Ta’ala. Sebagaimana Nabi Ibrahim as. saat mencari Tuhan, ia melihat matahari dan menganggapnya sebagai Tuhan. Tapi, setelah matahari itu terbenam, Nabi Ibrahim as. menolak keyakinannya sendiri sebab, Tuhan tidak akan pernah tenggelam atau redup cahayanya.
Namun, penting dicatat bahwa meskipun para mufasir menyebut “nur” sebagai penyifatan Allah, akan tetapi, selamanya zat Allah tidak sama dengan cahaya itu sendiri. Sebagai peringatan, Abdul Qadir Syaibah mengatakan bahwa tidak dapat diserupakannya Allah dengan apapun adalah suatu keniscayaan. Cahaya, dalam sains, adalah yang dilihat mata, sinar yang ditangkap mata. Ini juga berkaitan dengan kata مَثَلُ نُورِهِ setelahnya.
Baca Juga: Tafsir Surah Alnur [24]: 35; Cahaya Sebagai Esensi Ilahi (Bagian 1)
Pendapat Mufasir
مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ (Cahaya Petunjuk)
Kata “matsal” bukan berarti Allah menyerupai sesuatu, tapi hal itu hanya sebuah perumpamaan dari perwujudan kekudusan-Nya. Pada dhamir (kata ganti) “ha’” dalam kata di atas, Ibnu Abbas berpendapat bahwa dhamir itu kembali kepada Allah. Maksudnya, Allah adalah petunjuk bagi orang mukmin. Di sisi lain, Ubay bin Ka’ab berpendapat bahwa dhamir itu kembali kepada orang mukmin. Maksudnya, seperti cahaya orang mukmin yang dalam hatinya seperti lubang tembus yang di dalamnya pelita besar. (Abdul Qadir, Tafsir Ayat al-Ahkam, 271)
Sedangkan kata “مِشْكَاةٍ” dan “مِصْبَاحٌ” di atas ada beberapa perbedaan dalam mengartikannya, sebagaimana berikut: pertama, Abi Bakar Jabir al-Jazairi; misykat adalah lubang kecil di dinding (tempat lampu). Kedua, al-Zamakhsyari; lubang kecil di dinding sebagai tempat lampu yang besar dan luas dan benderang cahayanya.
Ketiga, Abdul Qadir Syaibah; misykat dalam bahasa arab berarti lubang kecil tanpa jendela di dinding, dalam perihal ratapan (rasa sakit) berarti doa seorang yang mengharap susu dan air. Keempat, Imam Jalalain; Misykat adalah lubang atau cerobong kecil pada sebuah lampu. Kelima, al-Maraghi; adalah sebuah tanda kebesaran Allah yang telah menciptakan gemintang (yang cahayanya) bertebaran di angkasa raya. Tanda yang menjadi petunjuk akan kekuasaan Allah Swt.
Perbedaan penafsiran di atas sebenarnya tidak menafikan tujuan ayat, yaitu petunjuk dan pertolongan Allah bagi mereka yang beriman. Petunjuk tersebut diibaratkan dengan obor, misalnya, yang dibawa oleh seseorang pejalan kaki di malam hari. Cahaya dari obor tersebut menjadi petunjuk atau penerang terhadap jalan yang ada di depannya.
Dalam ayat tersebut, lampu yang dimaksud diumpakan dengan seindah mungkin; الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌ, artinya, Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara. Ayat ini adalah ungkapan bahwa betapa agungnya cahaya Tuhan itu. Lampu yang ibarat mutiara dan mutiara yang diibaratkan gemintang di angkasa. Sebuah pemilihan kata yang tepat, begitu menyentak kalbu. Dalam hal ini, para mufasir juga menunjukkan perbedaan penafsiran mereka dalam tafsirnya, di antaranya yakni Abi Bakar Jabir, yang berpendapat bahwa lampu dalam zujaj itu adalah bak mutiara di lautan dan zujaj itu perwujudan bintang, maka cahanya keduanya (lampu dan zujaj) menyatu bagai permata yang jernih dan murni.
Kemudian, al-Zamakhsyari dan al-Maraghi berpendapat, cahaya yang berada dalam sebuah lampu yang bersih dan berwarna hijau. Adapun lampu itu sinarnya seperti bintang zahrah. Dan, Imam Jalalain berpendapat bahwa pada kata “دُرِّيٌّ”, jika dal dibaca kasrah atau dlammah maknanya adalah menolak kegelapan. Jika dal di-dhammah-kan dan ra di-tasydid maka dinisbatkan kepada mutiara.
Baca Juga: Misykat Al-Anwar: Tafsir Ayat Cahaya dalam Perspektif Al-Ghazali
يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ (Pelita Berbahan Bakar Zaitun)
Zaitun adalah sebuah pohon yang sangat bermanfaat bagi kehidupan, baik kayu, daun, buah minyak yang dikandungnya bahkan sampai abunya pun bisa berguna. ((Abdul Qadir, Tafsir Ayat al-Ahkam, 272)
Pohon ini diberkati oleh 70 Nabi, di antaranya Nabi Ibrahim dan Muhammad Saw. Karena minyaknya yang dapat menyembuhkan penyakit basir. Pohon zaitun tumbuh di tempat yang baik, yaitu di tanah lapang dengan cahaya matahari yang menyinarinya sepanjang hari. Tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin, al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain al-Muyassar)
Hal itu disebabkan karena letaknya yang tidak di daerah timur, yang tertutup dari matahari saat terbenam. Dan juga tidak terletak di daerah barat, yang tertutup dari matahari yang baru terbit. Letaknya berada di tengah-tengah, dimungkinkan berada di atas gunung di padang luas. Jadi, tak akan ada gunung yang menghalangi matahari. Atau, bisa jadi di tengah kebun yang luas dengan sinar matahari yang bagus, menyinarinya sepanjang hari. Dengan cahaya matahari yang sempurna, jelas itu sangat berpengaruh besar bagi kualitas pohon zaitun. Minyak yang dihasilkannya pun, bersih dan murni, bahkan tidak dinyalakan dengan api pun, ia sudah sudah berkilau karena kejernihannya.
“Cahaya di Atas Cahaya”
“Nur ala nur” secara harfiyah bermakna “cahaya di atas cahaya”. Namun, al-Jazairi menafsirkannya dengan cahaya yang pertama dari api dan cahaya yang kedua dari minyak zaitun. Jika dirunut dari awal, mulai misbah, zujajah, kaukab, hingga zaitun, maka dapat diketahui bahwa tingkatan dari berbagai cahaya itu berbeda, namun menyatu dalam cahaya yang sinarnya tak berhingga. (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Aysar al-Tafasir Li Kalam al-‘Aliy al-Kabir, 572)
Baca Juga: Tafsir Surat An-Nur Ayat 35: Allah Sang Maha Cahaya
Abdul Qadir mengatakannya sebagai perumpamaan akan kemurnian syariat Islam, dengan mengutip hadis Nabi Saw. yang berbunyi, “Aku tinggalkan kalian pada titik tengah yang putih bersih, saat malam seakan tak jauh beda dengan siang”. Imam Jalalain menafsirkan berbeda dengan mengatakan bahwa “nur ala nur” adalah cahaya/petunjuk dari Allah kepada hamba-Nya yang beriman.
Terakhir, secara keseluruhan ayat Alnur [24]: 35 dapat diambil kesimpulan, bahwa di dalamnya terdapat penjelasan luas mengenai bagaiman manusia dapat memperbaiki kehidupan, hukum, norma dan etikanya. Dengan ayat ini pula, menjadi jelas bahwa Allah adalah cahaya bagi semesta. Dalam artian, Dia adalah petunjuk bagi hamba yang bersungguh-sungguh dalam ibadah, takwa dan iman. Pun, dengan ayat ini, Allah ingin menunjukkan tanda-tanda kebesaran-Nya dan keluasan sifat-sifat-Nya.
Wallahu a’lam.