Diriwayatkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad tentang kisah Hatim al-Asham, tepatnya tentang delapan ilmu yang dengannya sudah cukup untuk menjadi bekal dalam menjalani kehidupan. Beliau merupakan salah satu murid dari Syaqiq al-Bakhli. Pada suatu hari beliau ditanya oleh gurunya tentang ilmu yang diperolehnya. “ Wahai anakku, setelah kau berguru kepadaku selama tiga puluh tahun, ilmu apa saja yang kau peroleh selama ini?” Demikian tanya sang guru. Hatim al-Asham menjawab, “Ada delapan hal.”
Mendengar jawaban muridnya itu, Syaqiq al-Bakhli kaget, “Ku habiskan waktuku bersamamu dan kau hanya mendapatkan delapan macam ilmu?” Sang-murid itu langsung menjelaskan bahwa beliau memang hanya mendapat delapan pelajaran, namun menurutnya, hal itu sangat berharga dan sudah mencukupi kebutuhanya serta dapat menjadi jalan keselamatannya. Delapan intisari ilmu yang berharga itu sebagai berikut.
Baca Juga: Tiga Aspek dalam Kandungan Ayat Alquran
- Menjadikan amal saleh sebagai kawan sejati
Setiap manusia pasti memiliki kecintaan terhadap sesuatu. Hal yang paling utama untuk dicintai oleh seseorang adalah kawan yang dapat menyertainya di dalam kubur. Hatim al-Asham berkomentar tentang hal ini, “Aku tidak mendapati hal itu selain pada amal saleh. Maka aku menjadikan amal saleh sebagai kawan yang paling aku cintai dan gandrungi, supaya dia menjadi cahaya penerang di dalam kuburku, pendamping yang menemaniku dan tidak meninggalkanku sendirian di sana.”
Komentar Hatim senada dengan hadis Nabi yang menyatakan bahwa tiga hal yang akan menyertai orang yang meninggal, dua hal akan kembali meninggalkan janazah lagi, yaitu keluarga dan hartanya, sedangkan yang satu tetap bertahan bersama orang yang meninggal, yaitu amal saleh. (HR Bukhari dari Anas Ibn Malik).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya juga menjelaskan tentang keutamaan amal saleh, tepatnya ketika menafsirkan surah Al-Mu’minun ayat 100. Beliau mengilustrasikan hal tersebut dengan ulasan bahwa seorang hamba pasti akan merasa menyesal di saat meregang nyawanya. Dia meminta agar usianya diperpanjang sekali pun sebentar, hanya untuk bisa berbuat baik, karena pada saat itu, dia baru sadar bahwa hanya amal saleh yang bisa menjadi teman yang memberikan kebahagiaan di alam kuburnya.
2. Menyelisihi dan menundukkan hawa nafsu
Terkait hal ini, al-Asham mengutip sekaligus merenungi ayat 40-41 surah an-Naziat “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.”
Menurut Al-Asham, seseorang yang takut kepada Allah, harusnya dia juga menuruti semua perkataanNya, termasuk dalam menyelisihi dan melawan keinginan nafsunya. Hawa nafsu sejatinya bisa dibiasakan, seperti halnya membiasakan berbuat baik, awalnya pasti sulit dan berat, namun jika ia sungguh-sungguh dan berusaha, maka hawa nafsunya akan terbiasa dan tunduk dalam ketaatan kepada Allah.
3. Tabungan amal untuk akhirat
Pelajaran ketiga yang diperoleh oleh Hatim al-Asham yaitu beliau peroleh dari kandungan surah an-Nahl ayat 96. “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl [16]: 96)
Berdasar pada ayat tersebut, seharusnya manusia mendermakan kenikmatan dunia untuk mencari rida Allah semata. Hatim al-Asham terkenal sebagai orang yang sangat dermawan, beliau membagi-bagikan hartanya kepada orang-orang miskin. Hal ini dilakukannya untuk menjadi tabungan pahala di sisi Allah.
Baca Juga: Memaknai Kandungan al-Quran dan Perintah Iqra’
4. Ketakwaan sebagai satu-satunya kemuliaan
Jika sebagian orang mengira bahwa kemuliaan dan kehormatan terletak pada banyaknya pendukung, berlimpahnya harta dan jabatan. Hatim al-Asham justru tidak meyakini hal tersebut, kemuliaan itu terletak pada ketakwaan seseorang. Sebagaimana firman Allah, “…Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa ” (QS. al-Hujurat [49]: 13)
5. Rida atas rezeki yang Allah berikan
Al-Asham melihat sebagian manusia mencela sebagian lainnya. Sebagian manusia menggunjing sebagian lainnya. Pangkal dari semua itu tidak lain adalah iri dengki dalam urusan harta, jabatan dan ilmu. Lalu ia merenungkan firman Allah, surah az-Zukhruf ayat 32, “…Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia…”
Kita telah mengetahui bahwa setiap manusia sudah mempunyai bagiannya masing-masing, mulai dari rezeki dan nasib mereka. Semua telah ditetapkan oleh Allah sejak zaman azali. Oleh karenanya jangan pernah merasa iri kepada siapapun dan kita harus ridha dengan pembagian jatah dariNya.
6. Satu-satunya musuh adalah setan
Pelajaran keenam ini berdasar pada surah Fatir [35] ayat 6, “Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.”
Kita menyaksikan betapa banyak manusia satu sama lain saling menzalimi, saling bertikai, itu karena mereka menganggap orang lain sebagai musuh. Padahal manusia adalah saudara yang satu dengan yang lain (ukhwah basyariyah), sebagaimana Hatim al-Asham yang merenungkan firman Allah di atas, bahwa sejatinya yang patut dimusuhi oleh manusia adalah setan, karena ia mengajak kepada jalan kemungkaran.
Baca Juga: Makna Ihsan dalam Alquran
7. Tekun ibadah dan tidak tamak terhadap dunia
Hatim al-Asham berkata, “Aku melihat setiap orang bekerja keras, membanting tulang demi memenuhi kebutuhan hidup, sampai-sampai terjatuh dalam perkara syubhat dan haram, menghinakan dirinya dan merendahkan harga dirinya. Maka aku merenungkan firman Allah, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya..”(QS. Hud [11]: 6)
Kita pun sadar bahwa rezeki berada di tangan Allah dan Dia telah menjaminnya. Oleh karena itu tidak sepantasnya kita mengharap kepada manusia dan jauh dari harapan kepada Allah.
8. Bersandar kepada Allah semata
Pelajaran terakhir dari Hatim al-Asham, beliau melihat setiap orang bersandar kepada harta, pangkat, dan makhluk-makhluk Allah yang lain. Padahal dalam al-Quran jelas-jelas disebutkan bahwa jika seorang hamba berserah diri kepada Allah semata, maka Dia-lah yang mencukupi segala kebutuhannya dan Allah adalah sebaik-baik tempat bersandarnya manusia yang lemah.
Sebagaimana firmanNya, “Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusanNya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. at-Talaq [65]: 3)
Wallah a’lam.