BerandaTafsir TematikMemaknai Kandungan al-Quran dan Perintah Iqra’

Memaknai Kandungan al-Quran dan Perintah Iqra’

Layaknya ujung jarum dicelupkan ke dalam samudera kemudian diangkat, seperti itulah perumpamaan pengetahuan manusia terhadap isi kandungan al-Quran. Ilmu manusia hanyalah tetesan yang jatuh dari ujung jarum sedangkan Kalam Allah (Al-Quran) adalah samudera. Perumpamaan itu dapat kita baca dalam al-Kahfi [28]: 109 berikut

قُل لَّوْ كَانَ ٱلْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَٰتِ رَبِّى لَنَفِدَ ٱلْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِۦ مَدَدًا

“Katakanlah; andai lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh niscaya habislah lautan sebelum kalimat-kalimat Tuhanku habis (ditulis), meskipun Kami datangkan (lautan) sebanyak itu pula.”

Baca Juga: Inilah Lima Fadilah Membaca Al-Qur’an Menurut Hadis-Hadis Sahih

Lalu siapakah yang di antara manusia yang paling mengetahui kandungan al-Quran beserta penafsirannya? Siapa lagi kalau bukan seseorang yang kepadanya al-Quran diturunkan. Adalah hikmah terdalam Rasulullah saw. tidak menafsirkan al-Quran ayat per ayat, akan tetapi semua tafsiran al-Quran telah tertuang pada tindak-tanduk beliau saw.

“Akhlak beliau saw. adalah al-Quran,” begitulah jawab Aisyah r.a. kala ditanya seperti apa akhlak Rasul (H.R. Muslim). Maka bisa disimpulkan bahwa semua perilaku hidup Rasulullah saw. adalah sebenar-benar tafsir terhadap kandungan al-Quran.

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah saw. itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (datangnya) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (al-Ahzab [33]: 21)

Bahkan apa yang ditafsirkan Rasulullah saw. melalui hadits-hadits beliau, tidak lebih banyak, dari apa yang tidak beliau tuturkan secara langsung. Apabila pada diri Rasulullah saw. telah dihiasi dengan al-Quran, maka suluk beliau merupakan sebuah tafsir atas al-Quran.

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ 3 إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحَىٰ 4

“Dia (Muhammad) tidak pernah bertutur menuruti hawa nafsunya, melainkan apa yang telah diwahyukan.” Al-Najm [53]: 3-4. Dengan kata lain. Semua perilaku Rasulullah adalah representasi pesan al-Quran, baik ucapan, diam maupun gerak beliau saw.

Sebagai uswah, maka perilaku beliau saw. ditiru oleh para sahabat. Mereka meniru segala yang dilakukan Rasulullah semampu mereka. Mereka juga tidak berusaha untuk menafsirkan al-Quran, baik perkalimat maupun per ayat. Akan tetapi mereka berusaha keras untuk istifadah mencari petunjuk dalam al-Quran dan berusaha agar al-Quran menjadi akhlak mereka, semampunya.

Mereka menjadikan al-Quran sebagai imam dan tongkat penunjuk jalan hidup yang terjal. Mereka tidak pernah melakukan studi teoritis terhadap kandungan al-Quran, melainkan mereka menjadikan al-Quran sebagai petunjuk hidup, bahkan sebagian mereka tidak menghafalkan satu ayat pun, sebelum ia mengamalkan ayat tersebut.

Iqra’! Bacalah!

Dr. Abdul Halim Mahmud menjelaskan dalam al-Quran fi Syahr al-Quran, bahwa Q.S. Al-Alaq 1-5, wahyu pertama yang diturukan Allah kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantara Jibril adalah ayat yang mengandung makna yang sangat kaya.

Diriwayatkan dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, pada suatu ketika, datanglah malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw yang sedang ber-tahannuts di gua Hira. Jibril merengkuh Nabi sambil mengatakan: “Iqra’, bacalah!”

Maa ana bi qaari-in, aku tidak bisa membaca.”

“Bacalah!” kata Jibril mengulanginya lagi. Nabi Muhammad mengulangi jawaban yang sama. Lalu Jibril menarik dan mendekap Nabi Muhammad saw. cukup kuat sampai menyulitkan beliau bernafas. Jibril melepaskan Nabi dan mengulangi perintahnya lagi dan dijawab dengan jawaban yang sama. Kejadian itu berulang hingga tiga kali. Pada kali ke empat, Nabi Muhammad Saw. kemudian mengucapkan kalimat suci itu (al-Alaq [96]: 1-5).

Riwayat di atas dilanjutkan oleh Dr. Abdul Halim, usai Jibril menghilang, Nabi Muhammad saw. bergegas pulang dengan tubuh yang menggigil. Keringat mengucur dari sekujur tubuhnya. Sesampainya di rumah beliau segera menemui Khadijah. Kata Nabi, “Selimuti aku, selimuti aku..” Lalu Khadijah segera menyelimuti Nabi Muhammad dan menenangkannya hingga hilanglah rasa takut pada diri Nabi.

“Aku takut,” tutur Nabi kepada Khadijah. Dengan welas asih Khadijah berkata, “Tidak, Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu. Engkaulah yang akan menyambung tali persaudaraan, memikul derita orang lain, bekerja untuk mereka yang tak punya, menjamu tamu, dan menolong orang-orang yang tertindas karena kebenaran.”

Kemudian Khadijah menemui putra pamannya, Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul ‘Uzza. Ia adalah seorang pemuka Nasrani, fasih berbahasa Ibrani hingga menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Ibrani atas kehendak Allah. “Duh, putra paman, dengarkan sepupumu ini.” Lalu Rasulullah menceritakan semua kejadian yang beliau alami.

Waraqah adalah seorang Nasrani yang tahu betul tanda-tanda nabi akhir zaman, dan sosok itulah yang ia tunggu-tunggu. “Muhammad, itulah Namus yang pernah diturunkan Allah kepada Musa. Duhai, andaikan aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu.” Nabi bertanya, “Akankah mereka mengusirku?” Waraqah menjawab, “Benar. Tak ada seorang pun yang diberi wahyu sepertimu kecuali ia dimusuhi orang. Andai aku menemui hari itu, aku akan menolongmu sekuat-kuatnya.” Tak lama berselang setelah itu, Waraqah meninggal dunia.

Iqra’, Spirit Literasi al-Quran

Iqra’ adalah satu kata berjuta makna. Bukan hanya dari lafalnya saja makna-makna itu datang, akan tetapi juga datang dari apa yang diisyaratkan kata itu sendiri.

Dr. Abdul Halim menyebutkan bahwa redaksi iqra’ memberi isyarat kepada manusia untuk membaca—yang merupakan wasitah terpenting untuk mencapai pengetahuan—realitas di dalam segala hal, baik pernak-pernik kehidupan, fenomena alam, hal terkecil yang luput dari jangkauan akal hingga penciptaan alam semesta.

Dalam lima ayat pertama yang Allah turunkan, ada dua kata iqra’ di dalamnya. Sedangkan kata al-‘ilm disebutkan tiga kali dalam bentuk kata kerja (alladzi ‘allama bil qalam. ‘allamal-insaana ma lam ya’lam). Lalu disebutkan kata al-qalam. Setelah lima ayat tersebut, Allah kemudian menurunkan ayat yang dimulai dengan huruf Nun, dan mengawali sumpahNya di dalam al-Quran dengan kata al-qalam yang berarti pena, artinya aktivitas membaca tak bisa lepas dari menulis (Al-Qalam [68] 1-2).

Rasulullah juga telah diperintah untuk memohon kepada Allah supaya ditambahkan ilmu. “Dan katakanlah (wahai, Muhammad) “Rabb, tambahkanlah ilmu kepadaku,” (Thaha [20]: 114). Doa ini merupakan ajaran Rasulullah saw. terindah dalam tarbiah.

Ia bersumber dari insan kamil sekaligus utusan Allah yang paling sempurna,yang menjelaskan kepada umat bahwasanya manusia, setinggi apapun derajat dan kedudukannya, tetap akan berkurang pengetahuannya. Rasulullah saw.—makhluk yang paling sempurna—saja mengharap kepada Allah agar ditambah kan ilmu, apalagi masing-masing dari umatnya?

Bukanlah syak bahwa iman merupakan suatu hal tertinggi dalam kehidupan manusia. Dan untuk mencapai ketetapan iman, maka seseorang harus memiliki ilmu dan selalu menambahnya. Sangat jelas bahwa yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama (Fathir [35]: 35).

Baca Juga: Membaca Ummatan Wasatan Sebagai Pesan Moderasi dalam Al-Quran

Tidak ada di antara anak turun Adam yang sampai pada inti keimanan kecuali orang yang memiliki ilmu. Lihatlah bagaimana Allah menyertakan mereka yang berilmu bersama para malaikat dalam penyaksian ke-esa-an Allah. “Allah menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah). Para Malaikat dan orang yang berilmu (juga menyaksikan yang demikian itu)..” (Ali Imran [3]: 18). Inilah tinjauan al-Quran terhadap ilmu yang menjadi titik awal Islam sejak kata iqra’.

Lebih jauh, surah Al-‘Alaq mengisyaratkan bahwa yang utama dalam praktik membaca bukan soal objek, akan tetapi cara dan tujuan: bismi rabbika, yaitu membaca dengan dan untuk kebenaran. Wallahu a’lam.

Khoirul Athyabil Anwari
Khoirul Athyabil Anwari
Khoirul Athyabil Anwari, Santri Pondok Pesantren Al-Imdad, Bantul, Yogyakarta. Minat pada kajian keislaman. Bisa disapa di Twitter (@ath_anwari)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...