BerandaTafsir TematikMakna dan Hikmah Salat Wustha Menurut Syekh Asy-Sya’rawi

Makna dan Hikmah Salat Wustha Menurut Syekh Asy-Sya’rawi

Dalam agama Islam, salat merupakan ibadah yang menjadi salah satu dari rukun Islam yang lima. Saking pentingnya ibadah salat tersebut, sampai Allah Swt. berfirman,

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الوُسْطَى

“Peliharalah semua salat(mu), dan (periharalah) salat wustha. Berdirilah untuk Allah Swt (dalam salatmu) dengan khusyuk”. (QS. al-Baqarah [2]: 238).

Dalam ayat tersebut, selain memerintahkan memelihara salat, Allah Swt. juga memerintahkan manusia untuk memelihara atau menjaga ‘salat wustha’. Lalu, salat mana yang sebenarnya dimaksud dengan salat wustha tersebut?

Baca Juga: Urgensi Salat dan Beda Pendapat tentang Makna Salat Wustha

 Makna dari salat wustha

Dalam karya tafsirnya, Tafsir Juz ‘Amma (hal. 521-524), Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi memaparkan bahwa ternyata ulama berbeda pendapat tentang makna salat wustha pada ayat tersebut. Apakah ia adalah salat asar, magrib, isya, subuh ataukah zuhur?

Pembahasan mengenai hal tersebut, menurut Syekh asy-Sya’rawi, merupakan pembahasan yang mendalam, dimana makna dari salat wustha dapat dimungkinkan pada seluruh salat yang lima waktu itu. Hal tersebut -menurut beliau- terjadi karena sesuatu apapun tidak dapat disebut sebagai wustha (di tengah), kecuali bila ia berada pada dua posisi yang berseberangan.

Apabila ditinjau dari awal mula pensyariatan ibadah salat, yakni salat zuhur, maka salat yang berada di tengah (wustha) adalah salat magrib. Selain itu, alasan lain yang mendukung alasan tersebut adalah karena salat magrib berjumlah tiga rakaat. Ia adalah bilangan pertengahan antara dua (salat subuh) dengan empat (shalat zuhur, asar, dan isya).

Adapun pendapat yang memahami salat wustha adalah salat isya, mereka beralasan karena salat isya berada di antara dua salat yang tidak boleh di qashr (salat magrib dan subuh).

Pendapat yang memahami salat wustha adalah salat subuh beralasan karena salat subuh berada di tengah antara dua salat malam (salat magrib dan isya) dengan dua salat siang (salat zuhur dan asar).

Pendapat yang memahami salat wustha adalah salat zuhur, mereka beralasan karena waktu siang adalah puncak dari kerja manusia, sedangkan salat zuhur adalah lambang dari pertengahan hari (siang hari).

Sedangkan pendapat yang memahami salat wustha adalah salat ashar, mereka berlandaskan pada hadis Nabi Muhammad Saw. saat Perang Khandaq, yang berbunyi:

حَبَسُوْنَا عَنْ صَلاَةِ الوُسْطَى حَتَّى غَابَتْ الشَّمْشُ، مَلأَ اللّهُ قُبُوْرَهُمْ وَبُيُوْتَهُمْ -أَوْ أَجْوَافَهُمْ- نَارًا

“Mereka telah memblokir kita hingga kita tidak dapat melaksanakan salat wustha hingga matahari tenggelam. Kita doakan semoga Allah Swt. memenuhi kuburan atau rumah, atau perut mereka dengan api”. (HR. Bukhari: 4169).

Selain itu, alasan lain yang mendukung hadis tersebut adalah karena salat asar adalah pertengahan antara salat subuh dan zuhur dengan magrib dan isya. (Tafsir Juz ‘Amma, 521-524).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat tentang Salat Fardu yang Paling Utama

Hikmah dirahasiakannya makna dari salat wustha

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai manakah yang dimaksud dengan salat wustha di atas, Syekh Mutawalli asy-Sya’rawy, masih dalam kitab yang sama, kemudian memberi sebuah kesimpulan bahwasannya Allah Swt. menyamarkan suatu istilah tertentu demi terwujudnya suatu faedah.

Hal ini karena dengan penyamaran tersebut, manusia akan lebih semangat untuk meraih faedah pada setiap waktu salat, beserta dengan praduganya bahwa salat yang dilaksanakannya (kelima waktu salat) adalah waktu salat wustha yang dikehendaki dalam firman-Nya tersebut.

Sehingga, seakan-akan selagi perbedaan pendapat mengenai manakah yang dikehendaki dari salat wustha tersebut masih berkutat dan perintah salat tersebut di ulang dua kali, pertama, secara umum; yakni pada firman-Nya:

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوَاتِ

Kedua, secara khusus; yakni pada firman-Nya:

والصَّلاَةِ الوُسْطَى

Maka, peliharalah semua salat mu, pada setiap waktu salat.

Baca Juga: Salat dan Amar Makruf Nahi Mungkar, Adakah Kaitannya? Simak Tafsirnya

Lebih jauh, beliau juga memaparkan bahwa ketika Allah Swt. menyamarkan kapan masa lailatulqadar pada saat sepuluh akhir bulan Ramadan. Tujuannya adalah agar setiap muslim bersemangat untuk melakukan salat malam sepanjang malam-malam tersebut. Pun juga Allah Swt. menyamarkan masa dikabulkannya doa pada hari Jumat, agar seorang mukmin bersemangat untuk menjaga setiap detik di hari Jumat, yakni mengisinya dengan berbagai bentuk ibadah. (Tafsir Juz ‘Amma, 521-524).

Dari ketiga contoh tersebut, semakin jelas bahwa disamarkannya masa atau istilah suatu syariat dalam Islam adalah demi suatu faedah yang mulia dan agung.

Wallahu a’alm bish shawab.

Muhammad Ryan Romadhon
Muhammad Ryan Romadhon
Wisudawan Angkatan Pertama Ma’had Aly Ponpes Al-Iman Bulus Purworejo Jawa Tengah Takhassus Tafsir wa Ulumuhu dan Redaktur Bilqolam Al-Iman Bulus
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...