BerandaTafsir TematikUrgensi Salat dan Beda Pendapat tentang Makna Salat Wustha

Urgensi Salat dan Beda Pendapat tentang Makna Salat Wustha

Islam agama yang dibangun dengan lima pondasi penting; mengucapkan dua kalimat syahādat, mengerjakan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah. Tidak sedikit ayat-ayat Al-Quran maupun sunnah yang telah menjelaskan tentang ini. Begitu juga dengan salat. Salat merupakan pembahasan yang tidak akan pernah terlepas dari Al-Quran dan Sunnah. Bahkan, terdapat satu salat fardu yang dianggap paling utama, yang disebut dengan salat wustha dalam Al-Quran.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Ke Manakah Kita Mengarahkan Pandangan Mata saat Salat?

Al-Quran mengajarkan pola hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam di sekitarnya. Jika hubungan dengan sesama manusia merupakan hubungan horizontal, maka salat adalah hubungan manusia dengan Allah secara vertikal dan ini merupakan titik sentral dan sebagai pondasi utama atau tiang dalam beragama Islam. Kedudukan salat bagi orang mukallaf hukumnya wajib.  Karena pentingnya melaksanakan dan  memelihara salat ini orang-orang muslim tidak boleh meninggalkannya meski dalam keadaan bagaimanapun, dalam suasana kehawatiran terhadap jiwa, harta, atau kedudukan. Dalam keadaan udzur salat dapat dilakukan menurut cara yang mungkin dilakukan, baik dalam keadaan berjalan kaki, berkendaraan, atau sakit, jelas Hasbi As-Shaddiqi dalam bukunya “Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran”. Allah Swt telah berfirman dalam QS. Al-‘Ankabut[29]: 45,

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ

Dan irikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.

Dalam ayat di atas menjadi landasan bahwa salat merupakan prioritas. Bisa dicermati bahwa dalam lafazh aqim     merupakan sighat amr yang mengandung makna perintah, dan amr pada asalnya mengandung hukum wajib/ (اَلْأَصْلُ فِي الْأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ). Rasulullah Saw juga menjelaskan betapa pentingnya salat, sehingga salat adalah amal yang pertama kali di-hisab pada hari kiamat. Dijelaskan dalam Kitab Riyādhus Shālihīn, Kitāb al-Fadhāil, Bab 193 tentang perintah menjaga salat wajib dan larangan serta ancaman yang sangat keras bagi yang meninggalkannya. Dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda:

إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا.

“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, “Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah”. Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan.) [HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

Begitu juga Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah[2]: 238,

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthā. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.

Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan dalam tafsirnya Marah Labid (Juz I hlm 236) bahwa memelihara semua shalat di dalam ayat tersebut adalah shalat lima waktu dengan menunaikannya secara tepat waktu memenuhi semua rukun dan persyaratannya. Pada lafazh “hafidzu” di sana merupakan shigat fi’il amr dari tsulātsi mazhīd 1 huruf dengan bina li al-musyārakah (saling), artinya ketika dikatakan kepada hamba “Peliharalah salat agar Tuhan yang memerintahkanmu untuk salat memeliharamu.” Selain itu, adakalanya diartikan dengan hal yang berkaitan antara hamba yang bersangkutan dan salatnya, misalnya dikatakan kepadanya, “Peliharalah salat agar salat memeliharamu.” Ini memberikan kepada kita sebuah refleksi tentang esensi dari prioritas menjaga dan memelihara salat tersebut.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Hukum Salat Malam bagi Nabi Muhammad Saw

Lalu dalam ayat berikutnya, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan (Dan periharalah salat wustha) yakni salat yang mempunyai kelebihan. Ini menjadi sebuah pertanyaan besar, “ada apa dengan salat wustha?”. Menurut pendapat ‘Ali Ra, Umar Ra, Ibn ‘Abbas, Jabir, dan Abu Umamah al-Bahili yang berasal dari kalangan para sahabat; Tawus, ‘Ata’ ‘Ikrimah, dan Mujahid yang berasal dari kalangan tabi’īn; dan Imam Syafi’i, salat yang dimaksud adalah salat Shubuh. Mereka berasumsi bahwa ini disebabkan karna permulaan waktunya jatuh ketika cuaca masih gelap sehingga menyerupai salat malam hari, sedangkan pengujung waktunya jatuh ketika hari sudah terang, sehingga menyerupai salat siang hari. Selain itu, disebabkan salat shubuh terpisah, tidak bergandengan dengan waktu salat lainnya dan salat shubuh disaksikan karena ditunaikan dihadapan malaikat malam hari dan malaikat siang hari.

Akan tetapi menurut pendapat lain, salat yang dimaksud di sini yakni salat Ashar sebagaimana dikatakan di dalam riwayat dari ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan Abu Hurairah. Ini disebabkan bahwa salat itu terletak di antara salat yang mempunyai rakaat genap dan salat yang mempunyai rakaat yang ganjil. Selain itu waktu Ashar merupakan waktu salat yang paling samar, masuk waktunya tidak begitu jelas, kecuali dengan pandangan yang teliti dan memerlukan pemikiran untuk memutuskan masuk waktunya melalui keadaan bayangan sinar matahari. Karena untuk mengetahui waktunya diperlukan energi yang lebih atau agak berat, sehingga keutamaan yang dimilikinya lebih banyak.

Baca juga: Menelusuri Sejarah Kewajiban Puasa Menurut Para Mufasir

Ini juga erat kaitannya dengan penjelasan dalam QS. Al-‘Ashr [103]:1 bahwa waktu ashar di mana pada waktu sangat banyak sekali keajaiban. Menurut Wahbah az-Zuhaily dalam tafsirnya al-Munir (Juz 15 hlm 662) menjelaskan bahwa maksud ‘ashr di dalam ayat ini adalah salat Ashar atau waktunya, demi mengagungkan dan karena kemuliaan dan keutamaan waktu Ashar tersebut. Oleh karena itu, ash-shalat al-wusthā ditafsiri dengan ayat tersebut menurut kebanyakan ulama. Dalam ayat ini juga terdapat isyarat bahwa, sisa umur dunia adalah antara Ashar sampai Maghrib.

Sebagian ulama fiqih mengatakan bahwa Ashar memang pertengahan, tetapi yang disebutkan di dalam Al-Quran bukanlah salat Ashar. Terlepas dari itu semua, segolongan ulama memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan salat wushtā adalah salah satu dari salat yang lima waktu itu, tetapi tidak ditentukan.

Ini memberikan indikasi kepada kita semua bahwa Allah dengan sengaja menyamarkan untuk memberikan semangat kepada para hamba agar memelihara semua salat sebagaimana Dia menyembunyikan lailatulkadar pada bulan Ramadhān, menyembunyikan saat doa diijabah pada hari Jum’at, dan menyembunyikan Ism al-A’zam-Nya di dalam semua asma agar mereka memelihara semuanya. Selain itu, Dia menyembunyikan waktu kematian pada semua waktu agar orang mukallaf merasakan takut sehingga terus-menerus melakukan amal shalih dan taat kepada-Nya.

Wallahu ‘alam bisshawwab.

Safira Malia Hayati Rz
Safira Malia Hayati Rz
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN SUKA Yogyakarta. Peminat kajian tafsir kontemporer dan hermeutika Al-Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...