BerandaTafsir TematikTafsir AhkamMenelusuri Sejarah Kewajiban Puasa Menurut Para Mufasir

Menelusuri Sejarah Kewajiban Puasa Menurut Para Mufasir

Tradisi atau ibadah puasa bukanlah hal baru dalam sejarah manusia. Tradisi ini dapat ditemukan pada sebagian besar ajaran agama-agama dunia atau setidaknya pada agama-agama abrahamik. Maka tak heran Al-Qur’an menyebutkan kewajiban puasa tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam, yakni umat nabi Muhammad saw, melainkan juga umat-umat nabi terdahulu (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 183)

Inti dari ibadah puasa adalah menahan diri, mengendalikan syahwat hewani seperti makan, minum, dan kebutuhan seks serta menjauhi segala perbuatan dosa. Hal ini penting dilakukan, sebab nafsu hewani sering kali memperdaya manusia sehingga mereka dikuasai nafsu tersebut. Dalam konteks ini, puasa dapat membekali seseorang untuk mengendalikan nafsunya.

Imam Al-Bushiri dalam Burdah-nya menerangkan bahwa nafsu itu harus dikendalikan, sebab ia seperti anak kecil yang selalu meminta susu kepada ibunya sampai disapih. Artinya, nafsu akan senantiasa menuntut manusia untuk memenuhi keinginannya yang tak terbatas, selalu ingin lebih dan baru berhenti ketika manusia menyapihnya – salah satunya – dengan ibadah puasa.

Kendati puasa telah dikenal oleh hampir seluruh umat beragama sebelum Islam seperti Kristen, Yahudi, dan Majusi, bahkan masyarakat Arab – khususnya Quraisy – yang sering melaksanakan puasa pada hari-hari tertentu, namun perintah kewajiban puasa dalam Islam baru ditegaskan pada tahun kedua Hijriyah di Madinah, tepatnya pada tanggal 10 Sya’ban (Tarikh Tasyri al-Islami).

Baca Juga: Mengulik Makna Shiyam Istilah Puasa Ramadhan dalam al-Quran

Menurut Waryono Abdul Ghafur, penulis buku Persaudaraan Agama-Agama Millah Ibrahim, kewajiban puasa ditetapkan pada tahun kedua Hijriyah bertujuan sebagai persiapan pembangunan masyarakat madani. Baginya, puasa adalah modal utama nabi Muhammad saw dalam mewujudkan kehidupan masyarakat Madinah yang bermoral dan memiliki solidaritas tinggi.

Tradisi atau ibadah puasa dalam Islam – menurut penulis – dapat dibagi ke dalam tiga periodisasi, yakni: Pertama, puasa sebagai tradisi atau kebiasaan. Kedua, perintah puasa dan kebolehan memilih penggantinya bagi yang merasa berat. Ketiga, munculnya kewajiban puasa secara mutlak. Ketiga periodisasi merupakan gaya Islam dalam mewajibkan sesuatu, yakni dengan berangsur-angsur agar mudah diterima masyarakat.

Sedangkan menurut Ibnu Katsir, periodisasi ibadah puasa terbagi kepada 3 tahap: Pertama, kaum muslimin melaksanakan puasa selama 3 hari dalam sebulan sebagaimana yang pernah dipraktikkan nabi. Kedua, puasa hanya dilakukan selama bulan Ramdhan dengan ketentuan yang ketat di mana pada malam hari kaum muslimin tidak boleh makan, minum dan jimak jika telah tidur. Ketiga, selama bulan Ramdhan dengan ketentuan sebagaimana saat ini.

Pada awal kedatangan Islam, tidak ada kewajiban puasa bagi umat Islam, yang ada hanya kebiasaan berpuasa masyarakat Arab, termasuk kebiasaan baginda muhammad saw. Hal ini telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang sanadnya bersambung kepada Aisyah. Di sana dijelaskan bahwa masyarakat Quraisy pada masa jahiliah biasa melaksanakan puasa pada hari Asyura atau 10 Muharram (Sahih al-Bukhari).

Imam al-Thabari dalam kitabnya, Jami’ al-Bayan, menerangkan bahwa nabi Muhammad saw memiliki kebiasaan berpuasa pada hari Asyura dan tiga hari setiap bulannya. Di samping itu, beliau juga sering berkhalwat selama sebulan dari setahun guna mendekatkan diri kepada Allah swt. Hal ini merupakan hal wajar dalam tradisi kesalehan bagi masyarakat Arab sebagai bagian tradisi ’irano semitic.

Tradisi puasa semacam ini berlangsung cukup lama, tepatnya dari sebelum kenabian hingga tahun kedua Hijriah di mana puasa diwajibkan. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa pada periode pertama belum ada kewajiban puasa dan puasa merupakan sebuah kebiasaan yang sudah mengakar di masyarakat Arab. Dengan kata lain, kala itu tidak ada tuntutan bagi umat untuk berpuasa (Nurul Yaqin: 28).

Kemudian, pada tahun kedua Hijriah turun surah al-Baqarah [2] ayat 183 dan 184 yang menjadi tanda mulai adanya kewajiban puasa:

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,  (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2] ayat 183 dan 184).

Surah al-Baqarah [2] ayat 183 dan 184 adalah penanda awal datangnya kewajiban puasa. Hanya saja, kewajiban puasa periode kedua ini boleh tidak dilaksanakan bagi mereka yang berat melakukan puasa. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhim, “orang bermukim yang sehat namun kesulitan melaksanakan puasa boleh menggantinya dengan fidyah. Jika ia ingin berpuasa maka berpuasa, jika tidak, maka tidak mengapa.”

Fidyah yang dimaksud di sini ialah memberi makan fakir miskin banyak hari puasa yang ditinggalkan. Sebagai contoh untuk memudahkan, kalau seseorang tidak puasa selama 7 hari, berarti ia harus memberi makan fakir miskin sebanyak 7 kali. Pandangan ini disampaikan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Imam Mujahid, Thawus, Muqatil bin Hayyan dan sebagian ulama salaf.

Kewajiban puasa secara mutlak baru dilaksanakan ketika surah al-Baqarah [2] ayat 185 turun:

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.”

Menurut al-Suddi, kalimat “Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah” menandakan bahwa kewajiban puasa diperuntukkan secara mutlak bagi seluruh umat Islam. Pada periode ketiga ini pengecualian atau kemudahan pelaksanaan puasa hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kesulitan seperti orang sakit dan musafir atau bisa juga orang tua ibu hamil jika dikiaskan.

Pelaksanaan puasa pada mulanya juga terhitung cukup berat. Sebab, pada malam hari puasa para sahabat hanya boleh makan, minum dan berhubungan intim sebelum tidur. Apabila mereka telah tidur, baik sengaja ataupun tidak, maka kesemuanya itu tidak boleh lagi dilakukan sampai waktu berbuka pada keesokan harinya. Dengan demikian, waktu puasa lebih lama dan pelaksanaannya lebih berat dibandingkan saat ini.

Ada kisah perjuangan sahabat berkenaan pelaksanaan puasa pada periode ini, yakni kisah Qais bin Shirmah yang pingsan akibat berpuasa. Dikisahkan bahwa suatu hari ia sedang berpuasa dan pada siang itu ia sibuk mengurus pohon kurma. Ketika waktu berbuka telah sampai, ia lantas mendatangi istrinya guna menanyakan apakah ada makanan yang disiapkan untuk berbuka hari itu.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Wajibkah Qadha Puasa Bagi Mualaf Semasa Ia Non Muslim?

Mendengar pertanyaan Qais, istrinya menjawab, “belum ada makanan dan aku akan segera mencarinya.” Ketika menunggu istrinya mencari makanan, rupanya Qais tertidur karena kelelahan. Akibat dari tindakannya ini ialah ia tidak bisa makan lagi hingga waktu berbuka esok hari. Namun naas, di tengah hari berikutnya Qais pingsan karena tidak kuat menahan lapar (Tafsir Al-Qurthubi).

Kisah ini kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad saw dan rupanya banyak peristiwa serupa yang terjadi di kalangan sahabat di mana mereka tertidur sebelum makan, minum atau menggauli istri. Sebagian sahabat ada yang tetap taat dengan melaksanakan kewajiban puasa sebisa mungkin sebagaimana Qais dan ada pula yang melanggar pantangan puasa di malam hari seperti Umar bin Khattab.

Karena peristiwa tersebut, lalu turunlah surah al-Baqarah [2] ayat 187 yang menjelaskan tentang kebolehan menggauli para istri di malam puasa, sebab mereka adalah pakaian bagi para suami, begitu pula sebaliknya. Pada ayat ini juga ditegaskan bahwa puasa hanya dilakukan sejak fajar, yakni imsak, hingga tenggelamnya matahari. Itulah waktu puasa yang sebenarnya dan itulah pula yang dilakukan umat Islam hingga saat ini. Wallahu a’am.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...