Hukum Membunuh Begal

Setiap manusia memiliki naluri untuk mempertahankan dirinya ataupun orang lain, harta benda, dan kehormatannya dari perbuatan jahat atau melawan hukum. Naluri pembelaan diri tersebut terkadang menjadi salah di mata penegak hukum negara Indonesia. Seperti dalam kasus yang terjadi 2020 lalu, di Kabupaten Malang seorang siswa SMA dijatuhi hukuman sosial berupa pembinaan selama satu tahun di salah satu pondok Kabupaten Malang (BBC Indonesia (1/20)). Dia dijatuhi hukuman tersebut dikarenakan membunuh begal yang hendak merampok telepon genggam dan dompetnya serta akan memperkosa teman perempuannya.

Setahun sebelumnya, terdapat juga kasus di Bekasi (5/19), seorang pemuda 19 tahun dibebaskan dari semua tuduhan dan bahkan diberi penghargaan oleh Polres Metro Bekasi setelah membunuh begal yang menyerang dan merampoknya. Selain itu, pada 2022 lalu  di NTB (4/22), tepatnya Lombok Tengah terdapat kasus pembunuhan begal. Awal mulanya, seorang pria berumur 34 yang menjadi korban dijadikan tersangka pembunuhan dan ditahan sementara. Akan tetapi setelah kasus diambil alih oleh Polda NTB, pria tersebut akhirnya dibebaskan dengan alasan pembelaan terpaksa.

Baca juga: Kritik Allah kepada Bani Israil yang Membunuh para Nabi Terdahulu

Fenomena begal menjadi suatu tren kejahatan dilihat dari pola dan modusnya yang bersifat khusus. Korban begal tidak hanya kehilangan barang yang dimiliki, akan tetapi juga mengalami luka psikologis, luka fisik dan bahkan ada yang sampai kehilangan nyawa. Lalu bagaimanakah hukum melawan atau bahkan membunuh begal dalam pandangan Alquran dan Hukum Negara?

Pembelaan diri dari begal dalam pandangan Alquran

Dalam Islam, begal atau kejahatan dengan menyerang jiwa, merampas harta dengan kekerasan di jalanan dinamakan Qutha’ut thariq. Menurut ulama, jika terdapat begal menyerang kita, maka diperbolehkan melawan aksinya dimulai dengan cara yang paling sedikit menimbulkan bahaya. Namun, jika begal tersebut tidak bisa dihentikan kecuali dengan cara membunuh, maka kita diperbolehkan membunuhnya.

Hukumnya diperbolehkan untuk membunuh begal dalam keadaan sangat terdesak adalah ketika mereka akan merampas harta dan kehormatan diri. Jika begal tersebut terbunuh, maka dia akan masuk ke dalam api neraka. Sebaliknya, jika kita yang terbunuh maka kita syahid karena telah membela kehormatan diri atau harta. Membela harta dan kehormatan dalam Islam hukumnya wajib. (Rachmad Risqy, Hukum Membunuh Begal Dalam Perspektif al-Qur’an, 8)

Sebagaimana dalam firman Allah Q.S. Albaqarah [2]:194.

اَلشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمٰتُ قِصَاصٌۗ فَمَنِ اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوْا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

“Bulan haram dengan bulan haram, dan (terhadap) sesuatu yang dihormati berlaku (hukum) kisas. Oleh sebab itu, siapa yang menyerang kamu, seranglah setimpal dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”

Abu Ja’far dalam kitab tafsirnya Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an menafsirkan  فَمَنِ اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوْا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ (famani’ tada ‘alaikum fa’tadu ‘alaihi bimitsli ma’tadu ‘alaikum) dengan  mengambil pendapat al-Mutsanna yang diantaranya berbunyi:

“Oleh karenanya Allah memerintahkan kepada umat Islam agar membalas kejahatan mereka dengan kejahatan yang sama, bersabar, atau memaafkan, dan ini yang lebih baik.” (Terjemah Tafsir jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an (jilid 3, 234)

Membunuh Begal dalam perspektif hukum negara

Peraturan tentang perlindungan hukum terhadap korban yang melakukan tindak pidana karena keadaan terpaksa atau pembelaan darurat telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 48 dan 49 ayat (1) dan (2). Namun dalam praktik di lapangan, pasal-pasal ini belum terelasiasikan dengan maksimal.

Aturan hukum yang seharusnya bertujuan untuk menciptakan ketertiban, melindungi hak orang yang terzalimi, dan mencegah perbuatan melawan hukum malah terkadang berbalik menghakimi orang yang tidak bersalah, orang yang melindungi nyawa, serta harta bendanya dari orang lain. Seseorang yang menjadi korban bisa berbalik menjadi tersangka.

Dalam kasus pembegalan, seorang korban tidak dapat dipidana ketika terpaksa harus membunuh pelaku begal jika memenuhi beberapa syarat tertentu. Syarat tersebut meliputi; 1) harus ada serangan yang sifatnya melawan hukum dan terjadi tiba-tiba, 2) serangan tersebut perlu dilakukan pembelaan diri yang sifatnya keharusan, terpaksa, dan melindungi diri sendiri atau orang lain, kehormatan dan benda.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Macam-Macam Pembunuhan dan Pidananya

Dengan demikian, sejatinya, membunuh begal dapat diperbolehkan dan bukan merupakan suatu kejahatan jika dalam kondisi tertentu sebagaimana tersebut di atas. Baik dari sudut pandang Islam maupun hukum negara, melakukan perlawanan saat diserang dan ‘dalam kondisi darurat’  serta ada unsur ‘keterpaksan’ adalah suatu keharusan. Artinya, jika membunuh begal menjadi jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri, maka tindakan ini tidak semestinya mendapat hukuman. Akan tetapi, jika memungkinkan dan dapat menjaga pertahanan, melawan dengan cara selain membunuh tetap harus didahulukan, mengingat pembunuhan adalah kejahatan berat.  Wallahu a’lam[]

Muhammad Thoriqul Hanum
Muhammad Thoriqul Hanum
Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya. Peminat bidang kajian tafsir dan investasi.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...