BerandaTafsir TematikTadabur Alquran: dari Adab ke Metode

Tadabur Alquran: dari Adab ke Metode

Tadabur yang semula menjadi adab dalam berinteraksi dengan Alquran kini menjadi sebuah metode dalam menginternalisasi nilai qur’ani dalam diri pembaca. Sebagai sebuah adab, konsepsi tadabur Alquran dapat ditemukan dalam dua kitab induk Ulumul Qur’an: Al-Burhān dan Al-Itqān pada bab adab membaca Alquran. Sementara sebagai sebuah metode memahami, kecenderungan ini pertama kali ditemukan pada kitab Qawā’id Tadabur karya Abdurrahman Habannakah.

Melalui kitab ini Habannakah kemudian mengaplikasikan kaidah tadabur dalam proses tafsir yang kemudian disebut sebagai tafsīr tadaburī. Hasilnya adalah kitab tafsir yang disusun secara kronologis yang berjudul Ma’ārij at-Tafakkur wa Daqā’iq at-Tadabur.

Karya Habannakah disinyalir menjadi titik balik revitalisasi tadabur Alquran di era kontemporer. Hal ini dapat ditunjukkan dari dua poin: pertama, harapan Habannakah di penutup karya kaidah tadabur. Kedua, kitab ini menjadi rujukan para pengkaji tadabur di era setelahnya.

Harapan Habannakah tercantum dalam akhir karyanya, dia berkata: “Semoga kaidah tadabur ini dapat memandu para pelaku tadabur sekaligus menjadi pembuka bagi fondasi dari bangunan disiplin “ilmu tadabur”. Adapun yang kedua, definisi Habannakah tentang tadabur banyak dikutip oleh penulis kitab tadabur seperti, Abdul Muhsin Al-Mutiri (Mabādi’ Tadabur Alquran) dan Khalid Ustman Tsabat (Khulāsah fi Tadabur Alquran). Ulasan kitab tadabur kontemporer akan dijelaskan dalam artikel saya yang lain, insyaallah.

Baca Juga: Tadabur Alquran pun Ada Kaidahnya

Revitalisasi tadabur didukung oleh hadirnya empat ayat yang menunjukkan kedudukan yang tinggi dari aktivitas tadabur Alquran. Artikel ini mengurai empat ayat dan konteks yang berkaitan dengan tadabur dalam Alquran.

Tadabur Sebagai Tujuan Alquran

Ayat pertama termaktub dalam QS. Sad [38]: 29 berbicara tentang tadabur sebagai tujuan dari diturunkannya Alquran:

كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Artinya: “(Alquran ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menadaburi ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (Terjemahan Kemenag 2019)

Ayat ini menjadi dalil Habannakah dalam “mewajibkan” tadabur Alquran. Diturunkan di Mekkah melalui Nabi Muhammad untuk kemudian ditadaburi oleh umat manusia. Artinya tujuan Allah menurunkan Alquran tidak lain hanya untuk menjadi objek tadabur. Bagi Habannakah tadabur bukan hanya pemahaman konseptual semata, melainkan butuh perenungan, pengingat dan pelajaran dalam beramal. (Qawā’id Tadabur)

Tadabur secara bahasa berdekatan dengan tafakur. Lebih detail, kata tadabur berarti akhir atau punjak dari sesuatu. Definisi khas tadabur oleh Habannakah adalah tafakur yang menyeluruh dan membawa pelakunya memahami makna kalimat dan kedalamannya.

Tadabur Sebagai Perintah Alquran

Tiga ayat selanjutnya berisi perintah melakukan tadabur dalam QS. Al-Mukminun [23]: 68, QS. An-Nisa [4]: 82, QS. Muhammad [47]: 24. Perintah tadabur dalam ayat ini dalam konteks pendengarnya adalah orang mukmin dan orang munafik.

اَفَلَمْ يَدَّبَّرُوا الْقَوْلَ اَمْ جَاۤءَهُمْ مَّا لَمْ يَأْتِ اٰبَاۤءَهُمُ الْاَوَّلِيْنَ ۖ

Artinya: “Maka, tidakkah mereka menadaburi firman (Allah) atau adakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka terdahulu?”

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ ۗ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا

Artinya: “Tidakkah mereka menadaburi Alquran? Seandainya (Alquran) itu tidak datang dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya.”

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا

Artinya: “Tidakkah mereka menadaburi Alquran ataukah hati mereka sudah terkunci?

Tiga ayat di atas berisi pertanyaan sindiran (istifhām inkarī) kepada para mukmin dan munafik di masa Nabi yang bertujuan sebagai perintah untuk melakukan tadabur. Bentuk perintah dengan menggunakan negasi tidakkah menunjukkan penegasan atas perintah. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah)

Pada QS. An-Nisa [4]: 82 ayat turun di Madinah kepada mereka yang pura-pura beriman. Mereka adalah yang mengumumkan keimanan dan keislaman; menghadiri majlis Rasulullah akan tetapi hati mereka abai dan menolak. Dengan kondisi mereka yang seperti inilah sindiran ini melesat kepada hati mereka untuk menghayati Alquran. Karena Alquran merupakan satu kesatuan yang tak akan bertentangan satu sama lain.

Sementara pada QS. Muhammad [47]: 24, juga dengan redaksi yang sama, menunjukkan bahwa mereka mengabaikan tadabur Alquran. Satu faktor yang membuat mereka meninggalkan tadabur adalah hati yang terkunci. Karena Alquran adalah suci dan mulia, maka hati yang terkunci dan kotor tak akan mampu menjangkaunya. Kunci utama untuk membukanya adalah dengan membersihkan diri dari segala sifat rendah dan akhlak tercela. (Makarim Syirazi, Tafsir Al-Amtsal)

Baca Juga: Anjuran Menghayati Bacaan Alquran hingga Menangis

Catatan Reflektif

Perkembangan tadabur dari adab menjadi metode internalisasi Alquran menjadi momen penting. Mengingat, kebutuhan akan internalisasi akhlak Alquran lebih dibutuhkan ketimbang sekadar pemahaman di kepala. Momen ini menjadi titik balik menghidupkan Alquran di dalam diri pembaca. Jika Nabi Muhammad disebut sebagai Alquran yang berjalan karena akhlaknya serasi dengan kandungan Alquran, maka dengan tadabur para pembaca dapat menyicil serpihan akhlak untuk disusun dalam dirinya menjadi bangunan akhklak yang utuh.

Keempat ayat tadabur memperkuat pentingnya tadabur bagi para pembaca Alquran. Melalui tadabur pembaca menaikkan level bacaannya dari sekadar membaca untuk memahami, menghayati dan mengamalkan nilai qur’ani dalam kehidupannya.

Menadaburi Alquran sejalan dengan tujuan agung diturunkannya Alquran dengan syarat mempersiapkan kesucian diri untuk membuka hati yang tertutup dan kotor. Semoga tulisan ini dapat membawa kebermanfaatan serta kesadaran untuk mengamalkan nilai qur’ani dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud menjalankan perintah tadabur.

Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Mahasiswa pascasarjana IAT UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bisa disapa di @azzaranggi atau twitter @ar_zaranggi
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...