Alquran memiliki diktum sebagai kitab yang sālīhun likulli zamānin wa makānin (senantiasa relevan di setiap masa dan tempat). Akan tetapi pada kenyataannya, teks Alquran kerap kali dipahami secara parsial dan ideologis, menyebabkan ia seolah menjadi teks mati dan tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.
Inilah yang mendorong Muhammad Syahrur, salah seorang tokoh modern-kontemporer asal Syiria, mencoba menawarkan teori batas (hudūd) sebagai metode baru dalam menafsirkan Alquran.
Biografi Muhammad Syahrur
Muhammad Ibn. Da’ib Syahrur, lahir 11 Maret 1938 di Saliḥiyyah, Damaskus (Syiria). Ayahnya bernama Da’ib Ibn Da’ib Syahrur sedangkan ibunya bernama Siddīqah bint Ṣāliḥ Falyūn.
Pada tahun 1945-1957, Syahrur menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di lembaga pendidikan ‘Abd al-Rahmān al-Kawākibī di al-Midan, Damaskus. Pada usia ke-19 tahun, Syahrur melanjutkan studi sarjananya dalam bidang teknik sipil di Moscow Institute of Engineering di Saratow dengan beasiswa pemerintah, Maret 1959-1964.
Syahrur juga melanjutkan studi program Magister hingga memperoleh gelar Doktor di The National University of Ireland (NUI), Dublin, Irlandia mulai tahun 1968-1972 di bidang Teknik Pondasi dan Mekanika Tanah.
Baca juga: Muhammad Syahrur, Salafisme dan Hakikat al-Qur’an Shalih li Kulli Zaman wa Makan
Tahun 1972, Syahrur diangkat secara resmi sebagai dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dan mengampu mata kuliah Mekanika Pertahanan dan Geologi pada tahun 1982-1983. Selain itu, Syahrur bersama rekan-rekannya membuka biro konsultan teknik Dar al-Istisharah al-Handasiyah di Damaskus.
Selama masa studinya di Irlandia, ketertarikan Syahrur pada studi Islam dimulai karena pengaruh temannya, Doktor Ja’far Dakk al-Bab. Ia adalah seorang guru besar bidang ilmu bahasa. Syahrur dapat belajar banyak tentang ilmu bahasa dengan beberapa teori linguistik. Di Irlandia, Syahrur juga memiliki kesempatan menekuni bidang filsafat sehingga berkenalan dengan banyak pemikir yang membentuk pandangannya di kemudian hari (Epistemologi Tafsir Kontemporer, 129-104).
Konstruksi Logis Teori Batas
Teori batas (the theory of limits) adalah sebuah teori sains dalam matematika yang oleh Syahrur dimasukkan ke dalam metode penafsiran Alquran. Ia menjabarkannya dalam karyanya, al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Muʽāṣirah. Teori tersebut dibangun atas asumsi risalah Islam yang dibawa Nabi ﷺ bersifat mendunia dan dinamis, sehingga relevan sepanjang zaman (Shaḥrūr, al-Kitāb wa al-Qur’ān, 26).
Syahrur membagi teori batas ke dalam dua bagian. Pertama, batasan-batasan berkaitan ibadah ritual murni (al-hudūd fī al-ʽibādah). Dalam bagian ini tidak ada medan ijtihad, seperti bahwa tata cara salat saat ini sama seperti pada zaman Nabi ﷺ dulu. Ijtihad dalam hal ini justru dianggap bid’ah.
Kedua, batas-batas dalam hukum (al-hudūd fī al-aḥkām). Dalam aplikasinya, teori batas yang ditawarkan Syahrur menggunakan pendekatan analisis matematis (al-tahlil al-riyādli) (Shaḥrūr, al-Kitāb wa al-Qur’ān, 27).
Baca juga: Inilah Tiga Model Pendekatan Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Quran
Secara genealogis, teori ini dikembangkan oleh seorang ilmuwan bernama Issac Newton, terutama mengenai persamaan fungsi yang dirumuskan dengan Y=F(X), jika hanya mempunyai satu variabel dan Y+F(X,Z), jika mempunyai dua variabel atau lebih.
Memahami persamaan fungsi ini merupakan keniscayaan bagi seseorang untuk memahami ajaran Islam yang memiliki dua sisi berlawanan, tetapi saling berkaitan (interwined), yaitu al-istiqāmah yang bergerak konstan dan al-hanifiyyah yang bergerak dinamis. Hubungan ini digambarkan seperti kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks.
Kaitannya dengan metode ijtihad, wilayah ijtihad sesungguhnya berada pada kurva tersebut. Sumbu X menggambarkan zaman konteks waktu dan sejarah, sedang sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan Allah ﷺ. Dengan kata lain, dinamika ijtihad sesungguhnya berada dalam wilayah kurva (hanīfiyyah). Ia bergerak sejalan dengan sumbu X. Hanya saja gerak dinamis itu tetap dibatasi dengan hudūdullāh, yakni sumbu Y (kurva istiqāmah).
Baca juga: Mengenal Tafsir Maqashidi: Penafsiran Berbasis Pendekatan Maqashid Syariah
Aplikasi persamaan fungsi itu memiliki alternatif jawaban yang bervariasi, tetapi dapat disimpulkan menjadi enam prinsip batas, sebagai berikut (Mustaqim, “Teori Hudūd Muhammad Shaḥrūr”, Jurnal AL-QUDS, Vol. 1, No. 1, 2017, 13-22):
- Halāt hadd al-aʽlā, daerah hasil (range) dari persamaan fungsi Y=F(x) berbentuk garis lengkung yang menghadap ke bawah (kurva tertutup). Hanya memiliki satu titik balik maksimum, berhimpit dengan garis lurus, sejajar dengan sumbu X.
- Hālah Hadd al-Adnā, posisi batas minimal. Daerah hasil posisi ini mempunyai daerah hasil berbentuk kurva terbuka (parabola), memiliki satu titik balik minimum, berhimpit dengan garis sejajar sumbu X.
- Hālah hadd al-ʽalā wa al-adnā maʽan, posisi batas maksimal dan minimal ada secara bersamaan, daerah hasilnya berupa kurva gelombang yang memiliki sebuah titik balik maksimum dan minimum. Kedua titik balik tersebut berhimpit pada garis lurus sejajar dengan sumbu X.
- Hālah al-Mustaqīm. Daerah hasil posisi ini berupa garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Pada grafik ini nilai Y= f(X) adalah konstan untuk semua nilai X. Dengan kata lain, nilai maksimal dan nilai minimal tidak ada, karena nilai minimal, nilai maksimal dan nilai Y yang lain adalah sama.
Dengan demikian, didapati persamaan Y=N1 dengan bentuk grafik garis lurus mendatar. Pada kondisi ini, ayat hudūd tidak punya batas minimal maupun maksimal, sehingga tidak ada alternatif hasil dari penerapan hukumannya selain yang disebutkan dalam ayat tersebut. Dengan kata lain, hukum tidak berubah meskipun zaman berubah.
Baca juga: Mengenal Rashad Khalifa, Pelopor Teori Keajaiban Angka 19 dalam Alquran
- Hālah al-Hadd al-Aʽlā dūna al-Mamas bi al-Hadd al-Adnā abadan, posisi batas maksimal tanpa menyentuh garis batas minimal. Daerah hasil posisi ini berupa kurva terbuka dengan titik akhir cenderung mendekati sumbu Y, bertemu daerah yang tak terhingga (‘alā lā nihāyah). Sedangkan titik pangkalnya terletak pada daerah tak terhingga akan berhimpit sumbu X.
- Hālah al-Hadd al-A’lā Mūjab Mughlaq lāyajūz Tajāwuzuhu wa al-Hadd al-Adnā Sālib yajūz tajāwzuhu. Posisi batas maksimal positif, tidak boleh dilampaui, dan batas minimal negatif yang boleh dilampauinya. Daerah hasil posisi ini kurva gelombang dengan titik balik maksimum berada di daerah positip dan titik balik minimum berada di daerah negatif. Keduanya berhimpit garis lurus sejajar dengan sumbu X.
Demikian sedikit gambaran rumusan analisis matematis terhadap Alquran yang dikembangkan oleh Muhammad Syahrur. Terobosan baru dalam khazanah penafsiran ini tentulah masih sangat memerlukan tinjauan dari para pakar untuk menimbang relevansinya. Namun, setidaknya hal ini perlu diapresiasi sebagai usaha umat Islam dalam memahami kitab sucinya berbekal latar belakang keilmuan masing-masing.