Dalam kajian ushul fikih, salah satu dalil hukum yang digunakan ulama dalam proses istinbath al-ahkam adalah sadd al-dzariah. Secara bahasa, Sadd berarti menutup, sedangkan al-dzariah berarti perantara. Abdul Karim Namlah mendefinisikanya sebagai media yang berpotensi mengantarkan kepada kerusakan. [Al-Muhadzzab fi ‘Ilm Ushul Fiqh al- Muqarin, juz 3, hal. 1016]
Dengan demikian, sadd al-dzariah adalah usaha untuk menutup media-media atau perantara-perantara yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau tindakan yang dilarang. Ia merupakan upaya preventif yang dilakukan untuk mencegah akibat yang timbul dari suatu perkara.
Baca juga: Mengenal Tiga Kitab Nazam Ulumul Quran dan Ushul Tafsir
Dalam kajian fikih misalnya ada larangan menjual senjata tajam kepada pencuri yang diyakini akan digunakan untuk kejahatan. Contoh lain misalnya menggali sumur dibelakang pintu rumah. Pasalnya pada waktu malam, itu berpotensi menyebabkan setiap orang yang keluar dari rumah tersebut terjatuh ke dalam lubang. Sebenarnya penggalian lubang diperbolehkan, akan tetapi penggalian yang dilakukan pada kondisi tersebut akan mendatangkan mafsadah.
Ulama ushul fikih mengkategorikan sadd al-dzariah sebagai al-adillah al-mukhtalaf fiha (dalil-dalil yang eksistensinya masih diperselisihkan). Kalangan yang mengakui eksistensi sadd al-dzariah sebagai dalil hukum adalah kalangan Malikiah dan Hanabilah. Walau demikian, ulama yang tidak mengakui formalitas dari konsep ini tetap mengakui dan bahkan mengaplikasikan spirit sadd al-dzariah dalam beberapa keputusan hukumnya.
Landasan Konsep Sadd al-Dzariah
Diantara Argumentasi yang digunakan untuk melegitimasi sadd al-dzariah sebagai salah satu dalil hukum atau pertimbangan hukum adalah firman Allah Swt. Q.S. Alan’am: 108.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tanpa pengetahuan…” Q.S. Alan’am [6]: 108.
Dalam ayat ini, Allah Swt. melarang umat Islam menghina dan mencaci maki sesembahan kaum musyrik Arab pada waktu itu. Hal ini dilarang sebab dapat dipastikan bahwa mereka akan mencela Allah Swt. sebagai balasan atas tindakan umat Islam tersebut. Akibatnya, mereka akan semakin ingkar dan memusuhi agama Islam, yang justru mengandung mafsadah lebih besar.
Imam al-Qurthubi dari kalangan Malikiah menjelaskan bahwa ayat ini merupakan landasan berlakunya konsep sadd al-dzariah. [Tafsir al-Qurthubi, juz, 7, hal. 61]
Baca juga: Mengenal Tafsir Maqashidi: Penafsiran Berbasis Pendekatan Maqashid Syariah
Mencela sesembahan orang kafir sejatinya tidak masalah dalam syariat. Akan tetapi, karena ia berpotensi menimbulkan aksi pembalasan dari mereka yang mengandung mafsadat yang lebih besar maka mencela sesembahan mereka tidak boleh.
Selain ayat Alquran, terdapat beberapa hadis Nabi saw. yang dapat dijadikan dasar keabsahan sadd al-dzariah, diantaranya adalah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim mengenai larangan tentang mencaci orang tua orang lain khawatir orang tersebut membalas cacian terhadap orang tuanya. Beliau saw. bersabda:
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ
“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknak kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang, wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya? Rasulullah menjawab: seseorang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga dicaci maki orang itu, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicaci maki oleh orang itu.” (H. R. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Dalam kasus lain, Rasulullah saw. melarang membunuh orang munafik. Meskipun terdapat maslahat, mafsadah yang ditimbulkan justru lebih besar. Diantaranya akan tercorengnya agama Islam dengan anggapan bahwa Rasulullah saw. membunuh sahabatnya. Lebih dari itu, ia akan berimplikasi menimbulkan phobia terhadap orang-orang yang belum masuk Islam.
Baca juga: Muhammad Abu Zahrah: Pakar Fikih Penulis Kitab Zahrah al-Tafasir
Dengan spirit sadd al-dzariah ini, kita diharapkan mampu bersikap bijak dan mempertimbangkan segala hal yang kemungkinan akan dialami. Terkadang kita harus rela melepaskan hak yang semestinya kita peroleh manakala berpotensi buruk terhadap diri sendiri, orang lain dan agama. Dalam Tafsir al-Munir, Syaikh Wahbah al-Zuhaili bahkan menjelaskan bahwa suatu ketaatan atau kebaikan harus dikesampingkan manakala menimbulkan bahaya yang lebih besar ketika dilakukan. [Tafsir al-Munir, juz 7, hal. 325]
Dari paparan di atas, sadd al-dzariah merupakan satu dari sekian dalil-dalil hukum yang eksistensinya masih diperdebatkan oleh ulama. Namun, spirit dari konsep sadd al-dzariah kerap kali diaplikasikan oleh mayoritas ulama karena ia memiliki landasan berupa Alquran dan hadis. sekian.