BerandaTafsir TematikKitab Taurat dalam Alquran: Diturunkan kepada Nabi Musa dan Dipisahkan darinya

Kitab Taurat dalam Alquran: Diturunkan kepada Nabi Musa dan Dipisahkan darinya

Secara garis besar barangkali kita mengerti definisi bahwa Taurat adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Bagaimana Taurat digambarkan dalam Alquran tentu akan menjadi topik yang menarik. Ini karena dalam Alquran ketika menyebut perihal Nabi Musa a.s. yang menerima kitab maka kitab di ayat itu adalah sifat dari Taurat seperti al-furqan. Nabi Musa a.s. dan kata Taurat tidak disandingkan di satu ayat yang sama dalam Alquran.

Kata Taurat sendiri disebut sebanyak enam belas kali dalam Alquran. Lima kali di surah Ali Imran, enam kali di surah al-Maidah, sekali di surah al-A’raf, at-Taubah, al-Fath, as-Shaf, dan al-Jumu’ah. Penyebutan kata Taurat justru membahas tentang Alquran dan Nabi Isa a.s. atau Injil yang turun setelah kitab tersebut untuk membenarkannya, selain juga bani Israil yang lalai darinya, sama sekali disandingkan dengan kisah Nabi Musa a.s.

نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِما بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْراةَ وَالْإِنْجِيلَ

Dia menurunkan Kitab (Alquran) kepadamu (Muhammad) dengan hak yang membenarkan (kitab-kitab) sebelumnya, dan Dia menurunkan Taurat dan Injil.

Al-Qurtubi menyebutkan bahwa kata Taurat bermakna sinar dan cahaya. Ibn Asyur Menyebutkan bahwa Taurat adalah isim dari bahasa Ibrani Thura yang bermakna petunjuk. Imam al-Razi menyebut bahwa jika kata Taurat ini berasal dari bahasa Ibrani ia tidak perlu di-tasrif dengan gramatikal Arab.

Baca juga: Bagaimana Sikap Kita terhadap Ajaran dalam Kitab Taurat dan Injil?

Adapun Al-Qurtubi menyatakan demikian berdasarkan ayat 48 surah al-Anbiya’

وَلَقَدْ ‌آتَيْنا ‌مُوسى ‌وَهارُونَ ‌الْفُرْقانَ وَضِياءً وَذِكْراً لِلْمُتَّقِينَ

Dan sungguh telah kami berikan kepada Musa dan Harun sebagai al-Furqan, sinar, dan pengingat bagi orang-orang yang bertakwa.

Meski berdalil dengan ayat Alquran, dapat dikatakan pendapat Al-Qurtubi tersebut kurang kuat. Hal ini karena yang disebut dalam ayat tersebut adalah al-furqan yang merupakan sifat dari Taurat begitu juga dhiya atau cahaya, bukan kata Taurat itu sendiri.

Mayoritas mufasir mulai dari al-Tabari hingga al-Qurtubi sendiri mengutip Ibn Zaid bahwa yang dimaksud al-furqan yakni al-nashr atau pertolongan dari musuh. Hal ini berdasarkan ayat

وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ

Dan apa yang kami turunkan kepada hamba kami pada hari al-furqan

Mayoritas mufasir memaknai hari al-furqan pada ayat tersebut adalah perang Badar ketika Allah memberi pertolongan kepada Nabi Muhammad saw. dan kaum Muslimin. Sehingga menurut al-Tsa’labi makna al-Anbiya’ ayat 48 di atas yakni sungguh kami telah memberikan kepada Musa dan Harun pertolongan dan Taurat yang merupakan cahaya dan peringatan bagi orang-orang yang bertakwa.

Baca juga: Kaidah ‘an-Nadhar asy-Syumuli’ (Pandangan Holistik) dalam Memahami Alquran

Imam al-Razi menjelaskan lebih jauh mengapa al-nasr atau pertolongan dapat dikatakan sebagai al-furqan atau pemisah-pembeda. Hal ini tidak lain karena sebelum al-nasr datang terdapat dua golongan yang berselisih antara yang mengusai dan yang dikuasai. Ketika al-nasr tiba maka menjadi jelas yang menang dari yang kalah, dapat dibedakan antara kehendak yang benar dan kehendak salah nan bengis.

Selain al-nasr, menurut imam al-Razi terdapat dua opsi makna lain dari al-furqan. Pertama, ia dapat pula dimaknai sebagai mukjizat yang diberikan kepada Nabi Musa berupa tangan yang bersinar dan tongkat yang dapat memisah antara kebenaran dan kebatilan. Kedua, al-Razi mengutip Qutrub yang menyatakan bahwa al-furqan adalah pemisahan laut oleh Nabi Musa a.s.

Selain itu menurut Ibn Asyur, al-furqan dapat juga dimaknai sebagai syariat atau hukum. Hal ini berdasarkan surah al-Maidah ayat 44,

إِنَّا ‌أَنْزَلْنَا ‌التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلمُوا

Sesungguhnya kami menurunkan Taurat. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya yang dengannya para nabi yang selamat berhukum dengannya.

Sifat lain dari kitab Taurat selain al-furqan adalah al-kitab al-mustabin yang disebut dalam surah al-Shaffat ayat 117,

وَآتَيْناهُمَا الْكِتابَ الْمُسْتَبِينَ

Dan kami berikan kepada keduanya al-kitab al-mustabin

Baca juga: Hukum Menyantap Jamuan Nonmuslim

Al-Zamakhsyari menyebut al-mustabin pada ayat ini sebagai al-baligh fi bayanih atau yang sangat bagus penjelasannya. Al-Razi memaknai al-mustabin di sini yakni sebagai kitab yang memuat gabungan ilmu untuk kemaslahatan dunia dan agama.

Penyebutan kata al-kitab pada al-Shaffat ayat 117 di atas secara gramatikal cukup berbeda dengan yang tertulis pada surah al-Baqarah ayat 53

وَإِذْ ‌آتَيْنا ‌مُوسَى ‌الْكِتابَ وَالْفُرْقانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan ingatlah ketika kami berikan kepada Musa al-Kitab dan al-Furqan agar kalian mendapatkan petunjuk.

Pada al-Shaffat ayat 117 kata al-kitab al-mustabin tidak dipisahkan oleh huruf wawu, sehingga jelas bahwa kata al-mustabin adalah sifat dari al-kitab. Sementara sebelum kata al-furqan terdapat huruf wawu yang memisahkannya dengan kata al-kitab sehingga al-furqan tidak dapat secara langsung disebut sebagai sifat dari al-kitab karena sifat tidak dapat mengikuti mausufnya dengan athaf.

Baca juga: Gelar dari Allah Swt. kepada Nabi Musa: Kalimullah

Ibn Asyur menyebut bahwa al-furqan merupakan sifat yang athaf kepada sifat lain Taurat yakni al-kitab. Dengan kata lain, al-furqan pada ayat di atas tidak dapat disebut sebagai athaf-nya sifat kepada mausuf karena al-kitab bukanlah mausuf melainkan termasuk sifat dari Taurat itu sendiri.

Sampai di sini dapat dipahami bahwa kata al-kitab yang diberikan kepada Nabi Musa a.s. adalah sifat dari Taurat. Adapun setiap ayat yang mengisahkan Nabi Musa a.s. yang menerima kitab tidak sama sekali menyebutkan Taurat, meskipun para mufasir memaknainya sebagai Taurat.

Mubham atau tidak disebutkannya kata Taurat saat Alquran menyebut Nabi Musa a.s. dapat dimaknai sebagai perbedaan Taurat yang dulu dengan yang sekarang. Hal ini dikuatkan dengan surah al-Baqarah ayat 79.

فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ ‌الْكِتابَ ‌بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً

Maka celakalah orang-orang yang menulis Kitab dengan tangan mereka kemudian mereka mengatakan ini dari sisi Allah untuk mereka dapat menjualnyanya dengan harga murah.

Ibn Asyur mengisahkan bahwa Taurat yang diperintahkan oleh Nabi Musa a.s. untuk disimpan di dalam Tabut dan hanya perlu dikeluarkan setiap tujuh tahun sekali untuk menjaganya dari kerusakan. Nabi Sulaiman a.s. meletakkan Tabut dalam Haikal atau tempat ibadah mereka.

Baca juga: Laknat Isa kepada Yahudi Perspektif Alquran dan Injil

Ketika terjadi serangan yang dilakukan oleh Bukhtanasshar atau Nebukadnezar pada masa sebelum Nabi Isa a.s., Raja tersebut membakar kota dan Haikal tempat disimpannya Tabut yang berisi Taurat. Sejarah ini menurut Ibn Asyur menjadi dasar para ulama untuk manyatakan bahwa di dalam Taurat telah terjadi perubahan, penambahan, dan penghapusan.

Makna lain dari tidak disebutnya kata Taurat saat sifat kitab ini diterangkan bersama dengan Nabi Musa a.s. yakni bahwa implementasi akan kitab suci akan menghadirkan sifatnya yang mulia. Oleh karenanya ketika disebutkan sifat dari kitab Taurat maka makna dari sifat tersebut tidak lepas dari Taurat itu sendiri.

Sementara ketika disebut Taurat, tetapi pembacanya nihil implementasi akannya, maka sifat kitab tersebut tidak akan pernah muncul. Tanpa pengamalan dan penghayatan, Taurat hanya jadi kitab yang tidak digubris, dipunggungi, dan tidak terpakai. Seperti yang termkatub dalam al-Baqarah ayat 101 dan al-Jumu’ah ayat 5.

Semoga keterangan terkait kitab Taurat ini menjadi ibrah bagi kita untuk senantiasa memegang semangat Alquran. Jika belum bisa sepenuhnya jangan sampai kita membelakangi dan sama sekali tidak menggubrisnya. Hasbalah, semoga Allah memberi kekuatan untuk segenap kaum Mukmin. Wallahu a’lam.

Muhammad Fathur Rozaq
Muhammad Fathur Rozaq
Mahasiswa Doktoral Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...